Bab 4

1250 Words
7 April 2016 Ian Tebing batu yang mengelilingi tempat itu seperti perangkap khusus yang sengaja dibuat alam untuk menunjukkan dominasinya. Cahaya matahari menembus masuk melewati sela-sela dahan perpohonan yang tinggi dan berakhir di atas permukaan batu yang halus. Batu-batu besar itu saling tersusun membentuk suatu undakan setinggi lima meter di atas permukaan tanah. Permukaan batunya yang pipih juga memungkinkan siapapun untuk menanjak naik ke puncaknya dengan sedikit usaha. Begitu sampai di atas sana, mereka dapat menyaksikan anak sungai yang mengalir tenang di bawah. Arusnya bergerak pelan dan teratur. Angin menyapu lembut tempat itu, membelai dahan pohon pinus dan membantu puluhan ekor burung berterbangan di atas sungai. Pada saat-saat tertentu, Ian Marshall datang ke tempat itu untuk menyendiri. Biasanya setelah berlari sejauh lima kilometer mengelilingi kawasan di pinggir hutan, Ian akan menepi ke tempat itu untuk sekadar duduk dan memandangi arus air sungai yang semakin surut saat memasuki musim kemarau. Pada pagi hari, tempat itu ditutupi oleh kabut tebal yang turun dari pegunungan. Kabutnya baru benar-benar hilang sekitar pukul delapan. Embun yang menyelimuti permukaan tanahnya dan hawa dingin di sekitar sana menyisakan tanah yang lembab. Suhu udara turun drastis pada saat-saat tertentu. Tempat yang cukup terisolasi itu dapat dikatakan sebagai persembunyian terbaik di seluruh kota. Dengan barisan pepohonan tinggi yang mengelilinginya, keheningan disana bisa terasa amat mencekik. Ian beberapa kali bertemu dengan Amy di tempat itu. Awalnya secara tidak sengaja, tapi pertemuan-pertemuan selanjutnya menjadi sesuatu yang lebih terencana. Ian mengingat persis tempat dimana Amy suka menyendiri. Ada dahan pohon oak besar yang tumbang di dekat sana. Gadis itu suka duduk dengan wajah menghadap langsung ke arah sungai. Mengenakan overall favoritnya dan jins sepanjang lutut. Amy duduk dengan punggung di tekuk, tatapan yang mengarah lurus ke sungai, dan juga rambut pirang yang dikuncir secara asal. Terkadang Ian menemuinya dengan sejumlah lebam di wajah, bekas memar yang menghitam, atau luka goresan di seputar lengan dan kakinya. Tapi Amy biasanya jarang membicarakan semua itu. Gadis itu hanya mengangkat wajah untuk menatapnya sekilas, kemudian kembali menatap kosong ke depan. Kalimat yang sering diucapkannya merupakan pengulangan kata yang sama setiap kali mereka berpapasan disana. “Hai.. Jangan tanya kenapa.” Selama beberapa saat Ian hanya memandangi gadis itu sembari tertegun, kemudian duduk menempati sisi dahan lain yang masih kosong. Ian memberi jarak sebisa mungkin agar gadis itu tidak merasa terintimidasi oleh keberadaannya. Aturan tentang privasi berlaku bagi siapapun, termasuk muridnya. “Kita sedang berada di luar sekolah, jadi bolehkah aku memanggilmu Ian?” tanya Amy sembari menatapnya. Ian menganggukkan kepalanya kemudian menyaksikan saat Amy menarik rahangnya yang terluka dan tersenyum pelan. “Kau butuh sesuatu, Amy?” tanya Ian. “Aku tidak tahu.. Aku menemui banyak orang jahat dalam hidupku, bagaimana aku tahu kau bukan salah satu dari mereka?” “Kau tidak akan tahu,” sahut Ian dengan pelan. Suaranya diredam oleh keheningan yang mengelilingi mereka. Sesekali ada kicauan burung camar, yang sedang memata-matai mereka atau derikan jangkrik yang bersembunyi di balik semak-semak. Amy menatapnya cukup lama, kelihatannya gadis itu sedang berusaha mencari jawaban dalam kedua mata Ian, tapi putus asa ketika tidak menemukannya. “Maaf?” “Kau merasakannya,” Ian melanjutkan. “Kau tidak akan tahu apa seseorang itu akan bersikap baik padamu atau tidak, tapi kau bisa merasakannya.” Amy tersenyum. Di tangannya gadis itu sedang memelintir sulur tanaman yang tampaknya dicabut secara paksa. “Kau benar.” “Kenapa kau disini, Amy?” “Ini tempat yang indah,” sahut Amy sembari menatap ke sekelilingnya. “Aku setuju. Tapi bukan itu jawabannya..” “Tidak, tolong..” kini gadis itu menatapnya dalam. “Aku tidak ingin terapi. Itu omong kosong.” “Menurutmu begitu?” “Ya, lalu apa lagi?” Ian mengangguk kemudian menundukkan kepalanya. Tatapannya kini menyapu tanah kering di bawah kakinya. Keheningan menjalar selama beberapa saat dan ketika ia mengangkat wajah, ia baru menyadari kalau gadis itu sedang mengamatinya. “Kenapa kau disini?” “Aku biasa berjalan di sekitar sini.” “Oh, aku tidak tahu itu. Tapi kau tahu maksudku. Bukan itu jawabannya.” Ian tersenyum lebar. Perlahan namun pasti, gadis itu ikut tersenyum. Ada kilat jenaka dalam kedua matanya yang gelap. Ian sudah bertahun-tahun menggeluti bidangnya, mempelajari segala sesuatu yang perlu diketahui tentang sisi psikologis manusia, dan bekerja selama kurang dari lima tahun sebagai seorang guru konseling untuk tahu kalau mata gelap itu menyembunyikan sesuatu. Seolah ada seseorang di dalam sana yang berusaha berteriak padanya dan meminta bantuan. “Anggaplah kita berada dalam situasi yang sama.” “Jadi kau juga merasa kesepian?” Ian tertegun, kemudian mengangguk. “Lucu sekali kita bisa merasa kesepian ketika berada di sekeliling orang-orang..” ucap Amy dengan kedua menatap lurus ke arah sungai yang tenang. Ian tidak melakukan apa-apa selain duduk disana untuk mengamatinya. Ia membiarkan gadis itu berbicara, setidaknya ia memberikan kesempatan bagi Amy untuk menerjemahkan isi pikirannya. “.. terkadang aku lupa jika aku memiliki keluarga – orang-orang yang terhubung denganku. Mereka semua tampaknya tidak nyata. Meskipun berada dekat, mereka terasa sangat jauh hingga aku mulai mempertanyakan eksistensiku sendiri. Maksudku.. apa semua ini nyata? Apa aku nyata?” “Ya, kau nyata.” Amy menatapnya, lagi-lagi tertegun. Kemudian, seolah ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya, air matanya mengalir jatuh pada memar di atas wajahnya. Jari-jarinya yang memuntir tanaman bergerak dengan tidak nyaman hingga sulur tanaman itupun terbelah menjadi dua. Ian memandangi buku-buku jari Amy yang memerah, kemudian dengan berani meletakkan satu tangannya disana. Ada getaran aneh yang ia rasakan dalam tubuhnya ketika menyentuh gadis itu – sebuah getaran yang tidak lazim dirasakan oleh seorang pria berusia tiga puluh dua tahun pada remaja berusia enam belas tahun – guru dan muridnya. Namun Ian mulai meyakini bahwa Amy merasakan hal yang sama. Itu adalah kali pertama mereka berbicara panjang. Biasanya di sekolah, mereka hanya akan berpapasan dan Amy lebih sering menghindarinya. Sementara lebam di wajah Amy bukan hal baru untuk Ian. Beberapakali, ia menangkap lebam itu ada disana, meskipun sejauh ini Ian hanya berusaha menebak apa yang menjadi penyebabnya. Namun bekas luka itu sekaligus yang membuat Ian meletakkan perhatian lebih pada Amy. Ian tidak mau berbicara jujur kalau pertemuan mereka kali ini merupakan kebetulan belaka. Ian harus berbohong tentang fakta bahwa ia telah mengawasi Amy beberapa minggu terakhir, beberapa kali membuntutinya sebelum akhirnya menemukan kesempatan untuk mendekatinya. Kalau Ian mengatakan semua itu, Amy tidak akan bersikap terbuka dan dengan begitu Ian tidak mendapat apa-apa. Saat kesadaran menyentaknya, matanya langsung menatap lurus ke arah dahan pohon yang masih berada di tepi sungai itu. Disanalah untuk kali pertama mereka berbicara secara terbuka. Amy mungkin belum memercayai Ian sepenuhnya saat itu, tapi keadaan berubah beberapa hari setelahnya. Setiap kali Ian berusaha mengenal gadis itu lebih jauh, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Siapa sebenarnya Amy Rogers? Bahkan hingga siaran berita lokal menayangkan kabar kematiannya, Amy Rogers masih menjadi sebuah misteri besar untuk Ian. Mungkin disanalah letak jawabannya, pikir Ian. Mungkin Amy tidak lebih spesial dari yang dipikirkannya dan mungkin semua gambaran yang terbentuk di kepalanya tidak lain hanyalah sebuah fantasi – skenario terbaik yang ia tulis sendiri untuk memuaskan rasa penasarannya. Dan meskipun Ian berusaha melupakan gadis itu, sesekali gadis itu akan muncul di kepalanya dalam gambaran yang begitu nyata; kedua alis saling bertaut, sepasang mata gelap yang menyipit sementara bibirnya menyunggingkan senyuman lembut. Suaranya seringan kapas saat gadis itu mendekatinya untuk berbisik, “rahasiamu aman bersamaku.” Amy Rogers merupakan iblis berkedok malaikat. Ian punya lukisan yang dapat menggambarkannya dengan jelas. Seharusnya ia mengikuti insting pertamanya untuk menjauhi gadis itu. Tapi sudah terlambat sekarang. Amy Rogers jelas sudah memengaruhinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD