Bab 15

2038 Words
9 April 2016 Dorothy Dorothy mengenali setiap sudut tempat di kota kecil itu. Mulai dari yang paling ramai hingga yang tidak tersentuh sedikitpun. Beberapa tempat dimaksudkan untuk dihuni, sedangkan beberapa yang lain tidak. Contohnya adalah jalur rel terbengkalai di tepi hutan. Dulunya tempat itu masih beroperasi. Puluhan pekerja sibuk mondar mandir sembari memapah dahan-dahan pohon dan batu bata di pundak mereka. Hingga akhirnya longsorpun menyapu rata kawasan itu dan orang-orang yang mencari kesibukan disanapun mulai pergi satu persatu. Mereka mencari tempat lain dimana mereka dapat menggali tambang emas atau membuka lahan baru. Cuacanya dapat dikatakan tidak menentu. Tidak seperti di kota, kawasan itu bergantung pada kecepatan angin untuk mengukur seberapa ekstrem cuaca yang akan melanda. Kemarau melanda disaat-saat yang tidak menentu sehingga panen-panenpun gagal. Meskipun begitu, pada musim hujan, ladang bisa menjadi sangat subur. Dan bisnis peternakannya-pun berjalan lancar. Dorothy sudah melewati semua itu berkali-kali sehingga ia bisa menghapal polanya. Ia dan suaminya, Michael memiliki ladang seluas tiga hektar, dan sebuah bisnis peternakan yang walaupun tidak selalu menghasilkan keuntungan, tetapi tetap bertahan hingga sekarang. Dorothy juga mengenal hampir seluruh penduduk disana. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang akan membayar untuk hasil panennya. Dorothy mungkin menjadi orang pertama yang tahu saat kabar buruk tercium. Tapi sejak usianya menginjak angka tujuh puluh, Dorothy mulai kehilangan kemampuannya untuk mencium sebuah pertanda bahaya. Ia lebih seringnya mengandalkan suatu pola-pola ganjil yang terjadi di alam: seekor gagak yang terbang mengitari ladang tiga kali lebih sering dari biasanya. Ayunan dahan pohon yang lebih cepat, atau bahkan permukaan tanahnya yang mengering. Tidak semua hal itu terjadi untuk mengindikasikan pertanda bahaya. Terkadang alam bekerja dengan cara misteriusnya. Hingga pada suatu pagi yang hening, saat kabut masih menyelimuti ladangnya, Dorothy mendengar suara serak seorang pria di radio memberitahukan penemuan jasad seorang gadis di hutan. Cara pria itu menggambarkan kondisi jasad saat ditemukan membuat Dorothy merinding: wajah yang terkubur di atas lumpur, tulang tengkorak yang hancur parah, dan bercak-bercak membiru di tubuhnya yang sudah membusuk. Baru-baru ini Dorothy tahu kalau jasad yang ditemukan itu adalah Amy Rogers, putra dari Billy Rogers dan mendiang Danielle Rogers. Dorothy hanya mengingat wajah gadis itu sekilas: sangat mirip dengan Danielle. Gadis itu memiliki rambut pirang bergelombang, sepasang mata biru, dan hidung yang kecil. Dulu gadis itu pernah berkeliaran di sekitar ladangnya dengan hanya bertelanjang kaki dan hanya mengenakan sebuah overall sepanjang lutut dan rambut berantakan yang dikuncir. “Ada yang bisa kubantu, Nak?” seru Dorothy dari terasnya. Gadis itu kemudian mengangkat wajahnya dan memperlihatkan bekas luka memerah di tulang pipinya yang tirus. Gadis itu terlalu kurus, pikir Dorothy, hingga hatinya terenyuh saat melihatnya. “Aku hanya sedang mencari anjingku. Kurasa dia lari dan bersembunyi di ladangmu.” “Anjingmu?” “Ya, dia masih kecil. Warna bulunya kecoklatan dan dia membawa lonceng kecil yang menggantung di lehernya.” “Aku tidak melihat anak anjing sejak tadi. Masuklah dulu! Tunggu di dalam saja, barangkali dia akan keluar nanti.” “Tidak.. kurasa aku akan kembali saja.” “Tidak apa-apa, Nak. Siapa namamu?” “Amy.” “Amy siapa?” “Amy Rogers.” “Oh? Kau putri Billy Rogers, kan?” “Ya.” “Aku tahu dia. Dia teman kerja putraku, Paul. Masuklah, Amy! Apa kau tidak lapar? Aku baru saja membuat biskuit jagung. Mungkin kau mau mencobanya?” Gadis itu tampak ragu-ragu tapi akhirnya menurut. Dorothy tidak bisa dikejutkan lagi dengan fakta bahwa seseorang mampu membunuh gadis malang itu. Amy tampak polos – atau mungkin itu hanya ingatannya saja yang kabur. Namun gadis itu kelihatan seperti orang terakhir yang mampu menyakiti orang lain. Meskipun sifat ayahnya dapat dikatakan bertolak belakang dengan Amy. Dorothy tidak tahu banyak tentang Billy kecuali dari cerita yang disampaikan Paul. Meskipun begitu ia merasa cukup yakin kalau Billy kemungkinan menjadi seseorang yang cukup tega menyakiti putrinya dan meninggalkan tubuh gadis itu di dalam lumpur. Seolah alam hendak menjawab seluruh pertanyaannya tentang gadis yang ditemukan tewas itu, sorenya Dorothy mendapat kunjungan tak terduga dari kantor polisi lokal. Dorothy sedang berdiri di teras, memandangi kasau jendelanya yang rusak akibat benturan benda keras ketika kemunculan sheriff O’Riley dan satu petugas bernama Jackson nyaris mengagetkannya. “Bu, maaf mengganggumu, tapi kami sedang mencari Paul,” ucap sang sheriff di bawah terik panas matahari yang menyorot langsung ke wajahnya. Laki-laki itu menyipitkan kedua mata kemudian mengangkat satu tangannya di atas kepala untuk menghalangi cahaya yang menusuk. “Apa dia ada?” Dorothy berjalan pelan ke ujung teras kemudian membungkukkan wajah dan menyipitkan kedua matanya saat memandangi laki-laki itu. “Aku sheriff O’Riley dan ini rekanku Jackson.” “Aku tahu itu kau, Sheriff. Aku sudah menduganya. Kau lebih tinggi dari yang kuingat.” “Ya, bu. Semua orang mengatakannya. Jadi, apa Paul ada?” “Kenapa tidak masuk dan mengobrol di dalam? Kecuali kalian sedang terburu-buru?” Dua petugas polisi itu saling bertukar pandang sebelum si laki-laki tinggi yang pertama melangkah menaiki tangga terasnya. “Kami tidak terburu-buru.” Aroma tajam cendana menguar di setiap sudut rumahnya. Karena mesin pengatur suhu udaranya rusak, aroma itu tinggal lebih lama dari yang diharapkan. Seolah-olah aroma itu terjebak di tengah ruangan sempit yang dipenuhi oleh barang-barang. Sobekan halaman koran tersebar di atas meja kayu bersama asbak dan sisa putung rokoknya. Petugas O’Rilley sedang memandangi bingkai foto yang dipajang di dinding ketika Dorothy menyingkirkan tumpukan kertas di atas meja dan kacamata bacanya ke tempat lain kemudian meletakkan sepiring penuh kue yang baru saja diangkatnya dari oven. “Cobalah! Ini kue jagung manis.” “Terima kasih.” Sang sheriff masih menatap bingkai foto di dinding itu ketika bertanya, “kau hanya tinggal disini bersama putramu?” “Ya, itu benar.” “Berapa lama?” “Sudah sejak lahir aku disini. Dulunya ini rumah milik keluargaku. Sejak saudariku meninggal, aku mengurusnya sendirian.” “Putramu.. Paul, apa dia tidak memiliki istri atau anak?” “Tidak, dan tolong jangan tanyakan hal itu padanya. Dia menjadi lebih sensitif beberapa hari terakhir.” “Kenapa?” “Karena orang-orang suka mengejeknya.” “Apa artinya itu?” “Orientasi seksualnya menyimpang, meskipun aku tidak suka menyebutnya menyimpang. Dia tetap anakku, dia layak untuk diperlakukan seperti orang normal.” Sang sheriff mengangguk. “Aku percaya begitu.” “Apa semua ini tentang gadis yang tewas di hutan itu?” “Ya.” “Sebuah kebetulan sekali! Aku baru saja memikirkannya.” “Kau kenal gadis ini?” “Tentu saja aku tahu. Namanya Amy Rogers, kan? Dia putri Billy Rogers. Paul berteman dengan Billy di pabrik tempat mereka bekerja.” “Jadi, apa yang kau tahu tentang dia, Bu?” “Dia gadis manis yang polos. Kurasa dia ketakutan.” “Ketakutan?” tanya sang sheriff. “Ya, itu jelas terlihat dalam wajahnya. Tidakkah kau melihatnya? Gadis itu.. aku mengundangnya sekali ke rumahku untuk mencoba biskuit jagung dan dia bilang.. ini enak. Tapi aku bisa melihat dari matanya – seolah tidak pernah ada seseorang yang memasak untuknya.” Dorothy berjalan ke arah kursi kayu yang diletakkannya di samping jendela kemudian duduk disana. Sepasang matanya yang sayup kini menatap ke arah perapian yang diselimuti oleh abu sisa kayu bakar. Dinding dan permukaan lantainya telah menghitam dan bau gosong kayu yang terbakar menguar ke setiap sudut ruangan. Di balik jendela, langitnya masih cerah. Ladang gandung terhampar seluas tiga hektar. Dan tak jauh disana ada pondok kayu tempat dimana peternakannya berada. Disanalah kali pertama Dorothy menemui gadis itu. “Ibunya meninggal diusia muda. Seingatku saat gadis itu masih balita dan jelas kalau Billy tidak mengurusnya dengan baik. Lihat saja tubuhnya. Dia kurus sekali. Dan luka di wajahnya.. bisa kau bayangkan bagaimana mungkin seorang ayah tega memukuli anak perempuannya sampai seperti itu? Itu kasar sekali.” Sang sheriff menyilangkan kedua tangannya ketika mendengarkan Dorothy. Rekannya, Jackson, sedang berdiri di dekat pintu untuk mengawasi teras yang masih kosong. Sementara itu mereka belum menyaksikan tanda-tanda keberadaan Paul. Rumah itu tidak besar. Bangunannya hanya terdiri dari dua ruangan dan dapur yang dibatasi oleh sekat dinding. Dengan banyaknya barang yang bertumpuk, bagian dalam rumah tampak sangat sempit. Di salah satu kamar, layar televisi masih menyala. Sheriff O’Riley melirik ke dalam sana sekali dan mendapati sebuah kemeja dan kaus polos dibiarkan tergeletak di atas kasur bersama tas hitam besar yang terbuka. “Saat dia datang, dia mengatakan beberapa hal tentang ibunya. Dia bilang ibunya terserang kanker paru-paru. Dia juga mengatakan kalau dia tinggal bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Aku bertanya apa dia memiliki sanak saudara atau orang terdekat lain, tapi dia bilang dia tidak tahu mereka semua. Ayahnya tidak pernah menceritakan siapapun keluarga yang terlibat bersama mereka. Aku juga sempat menawarkannya untuk pergi ke yayasan anak dimana dia akan dirawat lebih baik disana, tapi gadis itu menolaknya – bukan karena dia ingin..” “Apa maksudmu?” “Seperti kataku, Sheriff.. dia ketakutan. Billy mendoktrin gadis itu sejak usianya masih kanak-kanak dan membuatnya takut untuk pergi meninggalkan rumah. Kalau dia melakukannya, dia pikir dia sudah melanggar sesuatu.” “Apa persisnya yang dia katakan?” Dorothy mengerjapkan kedua matanya saat mengingat-ingat. Gadis itu: Amy Rogers, duduk di atas kursi kayu dengan potongan biskuit jagung yang masih tersisa di tangannya. Kepalanya menunduk dan nafasnya berembus keluar dari dadanya yang kurus. “Aku tidak bisa,” ucap gadis itu dengan suara bergetar. “Tentu saja kau bisa. Ayahmu tidak akan menghentikanmu. Petugas dinas sosial tahu apa yang harus mereka lakukan. Biarkan aku menelepon mereka untukmu, dan kau akan baik-baik saja. Disana ada makanan dan pakaian bersih. Kau juga masih bisa tetap bersekolah dan yang terpenting, ada banyak anak-anak seusiamu juga.” Gadis itu menggeleng, kali ini lebih keras. Kepalanya masih menunduk. “Aku tidak mau.” “Apa yang kau takuti, sayang?” Gadis itu tertegun kemudian seolah mendapat bisikan di telinganya, iapun berkata, “bukan apapun. Aku tidak takut pada siapapun.” “Dia bilang dia tidak takut pada siapapun..” ucap Dorothy sembari menyipitkan matanya. “Maksudku.. gadis kecil mana yang dapat berbicara seperti itu? Billy pasti sudah mengajarinya untuk mengatakan itu.” “Bagaimana dengan kakak laki-lakinya, Bu? Apa dia mengatakan sesuatu tentang kakak laki-lakinya?” “Ya, kurasa dia menyebut anak laki-laki lain tapi aku tidak bisa mengingat namanya..” “Cole.” “Ah ya! Cole.” “Apa yang dia katakan?” “Dia bilang Cole akan menjaganya. Tapi saat mengatakannya dia terdengar sangat tidak yakin, seolah dia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan bukannya memberitahu seseorang bahwa itulah yang akan dilakukan saudaranya.” Sang sheriff mengangguk, kemudian tertegun. Pada saat yang bersamaan Dorothy mengangkat wajah dan melayangkan tatapannya pada dua petugas polisi itu. “Tapi bukan karena itu kalian datang kesini, kan?” “Ya, Bu.” “Kenapa kalian mencari Paul? Apa hubungannya Paul dengan gadis itu?” “Kami menemukan jejak ban mobil Paul di sekitar hutan tempat jasad gadis itu ditemukan.” Wajah Dorothy tiba-tiba berubah pucat. “Kalian yakin itu milik Paul? Banyak sekali di kota ini yang memiliki truk sejenis itu.” “Ya, tapi hanya truk milik putramu yang tertangkap kamera cctv saat memasuki hutan pada hari kejadian.” “Tidak mungkin Paul menyakiti gadis itu.” “Paul mengenalnya juga kan?” “Ya, tapi untuk alasan apa Paul melakukannya?” “Kami belum sampai sejauh itu untuk menyimpulkan kalau putramu yang terlibat atas kematian Amy Rogers. Kami datang hanya untuk memastikannya. Apa kau tahu dimana dia sekarang?” “Dia mungkin bekerja lembur di pabrik dan baru akan kembali nanti malam.” “Well mungkin kami bisa datang lain kali.” “Tentu saja.” “Jika ada informasi lain yang ingin kau sampaikan tentang gadis itu, itu akan sangat membantu.” Sang sheriff berjalan mendekati pintu. Dorothy mengantarnya sampai di teras. Ketika laki-laki itu hendak memasuki mobilnya, Dorothy langsung menghentikannya dengan berkata, “sheriff! Aku mengenal putraku. Dan aku tahu dia bukan seseorang yang dapat melakukan hal sekeji itu pada seorang gadis polos.” Dari balik topinya, sang sheriff menyipitkan mata kemudian mengangguk pelan. “Kita akan lihat nanti, Bu. Selamat sore.” Mobil itupun pergi meninggalkan halaman rumahnya. Dorothy mengawasinya hingga mobil yang ditumpangi mereka hilang di ujung jalan. Saat itu ia berbalik kembali menuju meja kursinya kemudian menyulutkan api pada sebatang rokok selagi menunggu kemunculan Paul. Dorothy pernah menghadapi situasi yang sama tapi kali ini terasa tidak masuk akal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD