Bab 16

1299 Words
10 April 2016 Sloane “Aku tidak pernah benar-benar membencinya. Aku hanya tidak berpikir kalau dia mampu melakukan hal itu padaku,” ucap Sloane ketika duduk di ruangan tertutup dengan dua kursi yang disusun saling berhadap-hadapan dan sebuah lemari berisi tumpukan buku di belakangnya. Di seberang kursinya, Ian Marshall duduk sembari menyilangkan satu kakinya di atas kaki yang lain. Wajahnya terangkat, kedua matanya menatap lurus ke arah Sloane. Sejak kedatangan Sloane sekitar setengah jam yang lalu, laki-laki itu meletakkan seluruh perhatiannya pada Sloane. Tangannya telipat dengan santai di atas lutut sementara dadanya membusung dan nafasnya teratur. Ian, yang selama dua tahun terakhir bekerja disana sebagai guru konseling, terbiasa menerima murid-murid yang datang ke ruangannya pada jam-jam yang tidak menentu. Sejak kemunculannya disana, Sloane mendapati Ian Marshall berbeda dari guru konseling sebelumnya. Bukan hanya karena pembawaannya yang tenang, namun keberadaannya juga entah bagaimana membuat Sloane merasa lebih nyaman duduk di ruangan tertutup itu lebih dari yang sebelumnya. Fakta bahwa Amy seringkali mendatangi ruangan itu dan duduk berhadap-hadapan dengan orang yang sama membuat dadanya terasa sesak. Sloane jarang memiliki keinginan untuk datang kesana setidaknya sampai ia menemukan titik buta yang terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Sloane nyaris kehabisan akal dan satu-satunya nama yang muncul di kepalanya hanyalah Ian Marshall. Suatu hari laki-laki itu pernah melihatnya duduk sendirian di lorong sekolah, wajah Sloane tampak pucat dan Ian adalah orang pertama yang melihatnya. “Kau baik-baik saja Sloane?” “Ya, Pak..” “Panggil saja Ian,” ucap laki-laki itu sembari tersenyum. Sloane menatapnya sekilas, kemudian menunduk. Pikirnya Ian akan pergi dengan cepat, namun laki-laki itu justru berkata, “kau butuh bantuan?” Sloane menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku tahu aku orang baru disini dan kau mungkin belum terbiasa, tapi ketahuilah kalau aku akan menjadi orang pertama yang bersedia untuk mendengarkanmu. Kau tahu dimana harus menemuiku. Kapan saja.” Sloane tertegun. Ia menatap laki-laki itu sembari menelan liurnya, kemudian dengan kesadaran penuh Sloane mengangguk pelan. Ian tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu dan Sloane tidak pernah mengetuk pintu ruangannya. Ia - sebisa mungkin - menjauh dari ruangan itu sampai suatu ketika, ucapan yang disampaikan Ian terbesit dalam benaknya. Aku akan menjadi orang pertama yang bersedia mendengarkanmu. Kapan saja. Pada saat itulah Sloane – untuk pertama kalinya – mengerahkan diri untuk mengetuk pintu ruangan Ian. Obrolan pertama terasa lebih sulit. Sloane membutuhkan waktu sebelum ia benar-benar dapat bersikap terbuka pada Ian. Tapi percakapan berikutnya menjadi semakin mudah dan sekarang Sloane mendapati dirinya terjebak disana. Ia ingin menyudahi semua itu, tapi Ian sudah terlibat terlalu jauh dan Sloane tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak berbicara dengannya lagi. Sore itu, ketika mereka sudah dibebaskan dari tugas sekolah, mereka memutuskan untuk duduk di ruang konseling. Jam pelajaran sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu, nyaris seluruh murid telah bergerak pergi meninggalkan sekolah. Ford biru yang dikendarai ibunya juga belum terlihat di halaman parkir, jadi Sloane melihat celah untuk dapat berbicara dengan Ian. Ian, dengan pembawaannya yang hangat, seperti biasa menyambut Sloane dan memintanya untuk menempati kursi kosong di seberang. Selama hampir dua puluh menit duduk disana, laki-laki itu nyaris tidak mengatakan apa-apa kecuali meletakkan seluruh perhatiannya pada semua yang disampaikan Sloane. Tidak heran mengapa Amy suka datang mengunjungi Ian. Akhirnya Sloane dapat memahami suatu emosi yang dirasakan Amy ketika datang kesana; sebuah kelegaan karena didengar. Itulah yang diinginkan semua orang – keinginan untuk di dengar. Ian menyediakan tempat yang tepat bagi mereka yang membutuhkannya, membuat siapapun yang datang padanya merasa nyaman, dan hanyut dalam apa yang mereka sampaikan. Sloane punya firasat bahwa dengan mengungkapkan semua isi pikirannya pada Ian – orang asing yang bahkan baru dikenalnya – sama halnya seperti menceburkan dirinya dalam lautan yang luas dimana ombak bisa saja menelanya suatu saat dan tidak akan ada hal lain yang bisa menyelamatkannya. Meksipun begitu, kepercayaan Sloane terhadap Ian meningkat seiring dengan pertemuan-pertemuan mereka berikutnya. Ian benar tentang satu hal bahwa segalanya akan menjadi mudah seiring berjalannya waktu. “Itu aneh membicarakan ini denganmu, tapi terkadang aku merasa iri padanya..” “Tentang apa?” “Banyak hal.” “Sebutkan satu!” Sloane mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, menarik nafas panjang kemudian mengembuskannya perlahan selagi berkata, “aku merasa iri dengan keberaniannya. Dia adalah seseorang yang tidak takut untuk mengambil risiko. Dia terbiasa hidup dalam risiko, kurasa itulah sebabnya. Apa yang dia lakukan merupakan perwujudan dari pikiran intuitifnya. Dia tidak memusingkan hari esok atau hari-hari yang sudah berlalu.. dia hidup untuk apa yang dimilikinya saat itu dan hal itu juga yang menuntunnya untuk mengambil lebih banyak risiko – tanpa rasa takut. Dia hanya.. dia hanya berusaha untuk bertahan hidup, itu saja.” “Menurutmu kau tidak memiliki semua itu?” Sloane menggeleng. Kedua matanya kini menatap lurus ke arah nakas kecil di sudut ruangan. “Tidak, aku tidak memilikinya. Apa yang kulakukan sangat berbeda dengannya. Aku bukan orang seperti itu. Terkadang aku suka memikirkan diriku sebagai pengecut. Aku tidak berani untuk melakukan sesuatu diluar dari batasanku – aku terlalu takut untuk mengambil risiko, dan jelas bahwa aku bukan wanita dengan sifat yang menarik. Kurasa itulah mengapa Ethan lebih menyukainya. Amy, dia.. bebas. Dia berusaha untuk tidak terikat dengan siapapun dan dia akan menjauh ketika seseorang berpikir bahwa mereka sudah berhasil memilikinya. Satu sifatnya itu membuatku marah. Dia selalu menyebutku teman baiknya, tapi dia tidak pernah benar-benar mengizinkan aku untuk mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Bahkan hingga sekarang aku tidak bisa mengenalinya. Dalam beberapa minggu terakhir dia hanya terasa seperti.. orang asing. Sekali lagi, aku tidak pernah benar-benar membencinya.” “Menurutmu apa yang kau rasakan terhadapnya?” Ada keheningan yang panjang selagi Sloane mempertimbangkan emosi yang dirasakannya. Lebih sulit untuk menerjemahkan emosi itu secara lisan, tapi satu kata muncul di kepalanya tanpa diduga-duga. “Kurasa aku hanya.. kecewa.” Ian mengedipkan matanya, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. - Setelah percakapannya dengan Ian berakhir, Sloane baru saja meninggalkan ruang konseling itu ketika mobil ford milik ibunya tampak terpakir di halaman depan. Wanita itu terlihat sedang berdiri di samping mobilnya selagi mengamati Sloane meninggalkan ruang konseling. El tidak mengatakan apa-apa sampai Sloane menyelinap masuk ke pintu belakang dan duduk di kursi penumpang. Kini Sloane bisa merasakan bagaimana El menatapnya melalui spion dalam mobil sementara Sloane sebisa mungkin menghindari wanita itu dan malah menatap keluar jendela. Ketika mobil sudah bergerak di jalanan lurus yang menuju ke rumah mereka, barulah El bertanya, “kulihat kau menemui guru konselingmu? Apa ada masalah?” Sloane hanya menganggapinya dengan menggelengkan kepala. “Kau yakin tidak mau membicarakannya denganku?” “Tidak. Bukan apapun.” “Baiklah.” Wanita itu mengembuskan nafas kemudian meletakkan kembali perhatiannya pada jalanan kosong di depan. Sloane sudah punya firasat kalau El akan bertanya-tanya tentang kunjungannya. Tapi berbicara dengan ibunya setelah apa yang terjadi belakangan adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Sloane. Akhirnya, sisa perjalanan merekapun berlangsung dalam keheningan. Suara gemuruh mesin mobil mulai mendominasi. Sementara itu langit mulai gelap ketika siang bergulung. Cahaya matahari telah bergerak meninggalkan langit dan kabut tebal memberondong seisi jalan. Sloane menatap keluar jendela saat ford yang dikendarai ibunya melewati perbatasan, tepat dimana jasad Amy ditemukan beberapa puluh meter tak jauh dari sana. Garis kuning polisi masih terpasang disana. Sloane mengamati tempat itu dan mulai membayangkan hari mengerikan saat kejadian itu terjadi. Tempat itu gelap dan tidak tersentuh. Permukaan tanahnya diselimuti oleh hamparan dedaunan kering yang berguguran dimana-mana. Udaranyapun terasa lembap dan semak-semak yang tumbuh liar mampu menutupi kejahatan yang terjadi disana. Ada terowongan kecil di dekat sana. Sloane bertanya-tanya mungkinkah Amy melewati terowongan itu ketika berlari mencari pertolongan? Dengan nafas memburu dan wajahnya yang memerah, Sloane membayangkan Amy berjalan luntang-lantung tanpa alas kaki, menyeret tubuhnya yang kesakitan dan berteriak di tempat tertutup itu tanpa ada seorangpun yang mendengarnya. Tidak seorangpun kecuali Sloane - dan ia sudah mendengar teriakan itu berkali-kali dalam mimpinya. Mungkin itu merupakan sebuah pertanda, atau Amy hanya berusaha menghukumnya. Entahlah..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD