Chapter 2

1516 Words
Ketukan sepatu di lantai menggema. Rumah mewah yang sangat luas itu tampak sepi. Luar, maupun dalam. Justin berjalan menuju tangga, naik ke atas, kemudian berjalan di lorong yang akan membawanya ke sebuah kamar dengan dua pintu tinggi. Ia memelankan langkahnya. Diam beberapa saat di sana, kemudian membuka pintu itu dengan perlahan. Di dalam sana, tampak seorang wanita bertubuh kurus yang tengah bersandar pada kepala ranjang, sambil menatap kosong ke depan. Justin menghela napas. Ia menunduk lama di ambang pintu, sebelum akhirnya mulutnya berbicara. “Mom,” bisiknya pelan. Wanita paruh baya itu menoleh ke sumber suara, lantas bibirnya langsung membentuk senyuman bahagia. Ia menatap putranya lamat-lamat. “Kemana saja, kau, Nak?” tanyanya. Justin tidak menjawab. Alih-alih, ia mendekati ranjang ibunya, dan duduk di pinggir. Ia tatap mata yang balas menatapnya hampa. Tidak ada gurat kebahagiaan yang mampu Justin lihat lagi pada sosok ibunya. Perempuan itu hanya akan tersenyum dan mau berbicara padanya, entah kenapa. Setelah hampir satu tahun mediang  suaminya meninggal, Madeline Claybourne terus terbaring di ranjang. Melupakan dunia luar, dengan terus meratapi kesedihan. Dokter bilang, Madeline tidak sakit apapun, secara fisik. Mentalnya hanya sedikit terganggu akibat syok yang dialaminya karena ditinggal oleh orang yang dia cinta. Sedangkan Justin, anak tunggalnya, hanya beberapa kali berkunjung ke rumah. Lelaki itu bahkan sering tidak datang ketika ia sedang dalam kondisi kritis sekalipun. Terlalu sibuk. Hingga ia lupa arti penting sebuah keluarga. Ini bukan sekali atau dua kali Justin melalaikan kunjungan rutinnya, sering kali. Bahkan malam ini, Madeline kira anaknya itu tidak akan datang. Justin meraba seprai putih tempat ibunya berbaring. Ia tidak tersenyum, tidak juga balas menatapnya. Pria itu hanya duduk di sana, meresapi kesunyian yang ia ciptakan sendiri. “Bagaimana keadaanmu, Nak?” Madeline membuka suara. Ketika Justin mendongak, menatapnya dengan tatapan lelah. “Cukup baik sehingga aku bisa datang menjengukmu.” Sekalipun jawaban Justin terdengar begitu ketus, seakan dia terpaksa datang menjenguknya. Madeline tetap tersenyum dan menganggukkan kepala. Sedangkan Justin merasa tidak perlu untuk bertanya balik. Sebab semua catatan kesehatan ibunya setiap hari, selalu sampai pada meja kerjanya. Dan semakin hari, keadaan Madeline tidak semakin membaik. Wanita itu mengangkat tangannya yang keriput, bergetar, kemudian berlabuh pada puncak kepala putranya. Justin mendongak lagi. Tatapan dinginnya sedikit melebur ketika mata ibunya menatap sendu. “Aku senang kau baik-baik saja. Dan kuharap, kau akan selalu begitu.” Ketika mengucapkannya, mata Madeline berair, tidak lama ia pun berkaca-kaca. Justin ingin menjawab pernyataan ibunya dengan senyuman, namun bibirnya hanya terangkat sedikit, bahkan hal itu mungkin tidak sampai disebut sebuah senyuman. Ketika memorinya mengantarkannya pada ingatan yang tidak ingin ia ingat, adalah alasan yang membawanya kemari. “Aku bertemu dengannya, Bu.” Justin membuka suaranya pelan. Ia menjauhkan dirinya dari Madeline. Kepalanya lantas tertunduk menatap lantai, rambut gelapnya jatuh menutupi dahi. Awalnya Madeline tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Justin. Namun ketika bayangan sesosok gadis pada sepuluh tahun silam, muncul di ingatannya, ia tidak lagi bisa menahan senyum terharunya. “Kau menemukannya?” Madeline bertanya dengan suara hati-hati. Justin menggeleng. “Dia yang menemukanku.” “Ba-bagaimana bisa?” tanya Madeline lagi. Justin terlihat berpikir, seperti ada kecamuk besar di kepalanya. Dan ia pun menghembuskan napas panjang. Kemudian menatap ibunya dengan tatapan sendu. Justin menggeleng. “Aku… kurasa aku benar-benar tidak bisa melakukannya.” Madeline menatap putranya beberapa saat. Lalu didekatinya lelaki itu perlahan. “Apa yang membuatmu ragu? Bukankah kau bilang, bahwa kau mencintainya?” Justin mengangguk. “I was love her.” “Jadi sekarang tidak lagi?” Justin mengangguk. “Kenapa?” Justin sungguh ingin memberitahu perihal keluarga Fidelis pada ibunya, karena mereka adalah salah satu alasan Justin memutuskan untuk mengambil jalan yang akan dilaluinya nanti. Namun ia tidak memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal itu. Sebab keluarga Fidelis sangat dekat dengan mediang ayahnya. Ketika nanti Justin menyinggung, apalagi tentang John Fidelis, Madeline pasti akan langsung bernostalgia. Yang akan membuat kesehatannya semakin menurun. Jadi, Justin menatap ibunya sesaat, dengan senyum sumbang, dia pun berucap parau; “Kurasa, aku tidak akan menikah dengannya.” *** “La~ila~ha’illallah…” Gadis bercadar itu bersenandung pelan. Di tangannya, terdapat sebuah kertas yang telah tergores permukaannya dengan pensil, membentuk setangkai mawar dengan duri tajam. “Muhamma~darrashulullah~” “Sebenarnya, apa yang sedari tadi kau nyanyikan?” dengan ekspresi sinisnya, Ellina bertanya. Hana menoleh, menatap kakak perempuannya yang tengah berdiri di ambang pintu ruang santai. Hana pun tersenyum lebar. Ia tidak menghiraukan raut aneh yang tercetak pada wajah Ellina. “Itu bukan nyanyian, itu…” “Ya-ya. Apapun itu, aku tidak peduli.” Senyum di bibir Hana tak lagi tampak. Ia menatap Ellina sekali lagi, kemudian melanjutkan kegiatan menggambarnya tanpa mempedulikan sosok kakak yang tiga detik dan seterusnya masih berdiri di sana. Sampai satu menit kemudian, Ellina jengkel dan menghampiri Hana lalu merebut buku gambarnya. Ketika itu Hana tengah menggores, sehingga saat ini, ada coretan panjang yang mencoret tangkai mawarnya. “Tidak bisakah kau sekaliii saja, tidak membuatku jengkel?!” Ellina hampir membentak. Ruat di wajah Hana tidak berubah. Dan Ellina semakin benci akan hal itu. Selalu saja seperti ini, selalu saja tenang seakan dia memang berhati malaikat, dan hal itu membuat Ellina muak. “Seorang perempuan seharusnya tidak meninggikan suaranya seperti itu.” Hana berkata, dengan suaranya yang lembut dan tenang, tapi tetap jelas terdengar. Namun justru, hal itu malah membuat Ellina semakin berasap. “Kau… kau pikir sampai kapan kau bisa berpura-pura baik seperti ini, hah?!” “Aku… tidak sedang berpura-pura.” Ellina tersenyum miring. “Oh… ya? Munafik.” Hana langsung terdiam. Munafik? Dia mencoba untuk tidak menghiraukan, namun perkataan itu terus saja mengganggunya. Tapi kemudian, dia sadar. Sebenarnya di sini, siapa yang benar-benar munafik? Mengabaikan raut di wajah Hana, si gadis bercelana pendek duduk di sampingnya. Membuka lembaran demi lembaran sketchbook di tangannya. Dan beberapa kali, matanya berbinar takjub. Bagaimanapun, Ellina adalah seorang desainer yang juga mengerti akan seni. Bukan hanya Hana, dirinya pun suka menggambar. Hanya saja, gambarnya tidak pernah sebagus gambar milik Hana, dan Ellina mengakui hal itu dari caranya menatap setiap gambar karya Hana. Tapi tentu dia tidak akan sudi mengakuinya secara langsung pada Hana. Ellina berdehem. “Papa menyuruhku mendesain pakaian untukmu,” katanya. Hana, yang semula turut menatap dalam diam gambarannya, kini beralih fokus pada wajah Ellina yang tampak serius. “Untuk apa?” tanya Hana bingung. Tangan Ellina terhenti. Ia menutup sketchbook itu kasar dan meniup poninya jengah. “Aku benar-benar benci melakukan ini. Karenamu, aku dan Vionna batal mengikuti pesta dansa di kediaman Halford. Dan sekarang, Papa ingin aku melakukan sesuatu yang berharga untukmu?! Dia pasti bercanda.” Kerutan di dahi Hana kian dalam. “Aku tidak mengerti. Kenapa aku bisa menjadi alasan batalnya pesta dansa kalian?” Ellina menoleh, menatap Hana datar. “Karena kau yang paling berharga.” Setelah itu, Ellina bangkit dan pergi, bahkan sebelum Hana sempat menyuarakan pertanyaannya yang lain. *** Ketika makan malam berlangsung, Hana diam-diam melirik dua kakak perempuannya yang terus diam, tidak mengoceh seperti biasa. Bukan hanya itu, meja makan pun terasa begitu sunyi. Bahkan dentingan sendok terdengar tidak sekeras biasanya. Seakan mereka semua makan dalam kehati-hatian untuk menjaga kesunyian itu tetap di sana. Hana merasa sungkan untuk bersuara. Lagipula, apa yang hendak dibicarakannya? Setelah mereka selesai, tidak satupun yang beranjak dari kursinya. Ellina dan Vionna sedang memakan dessert, sedang Albert seperti biasa, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Hana menatap satu-persatu piring di atas meja. Kenapa hanya piringnya saja yang tampak begitu bersih tanpa sisa makanan? Berada di sini, di tengah-tengah keluarga Fidelis yang mewah, membuat Hana mengerti perkataan Rasulnya, yang menasehatkan untuk hidup sederhana, seberapapun banyaknya harta yang kau miliki. Seperti sekarang, contohnya. Ketika semua makanan lezat di atas meja ini akan menjadi mubazir ketika pagi tiba nanti. Dan terkadang, hal itu membuat Hana sedih, sebab ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Hingga John berdehem, mengalihkan atensi mereka semua. “Aku telah mengirimkan permintaan maaf pada keluarga Halfrod mengenai ketidakhadiran Fidelis pada pestanya. Karena hari itu, aku memiliki acara yang lebih penting untuk kita semua.” Ellina dan Vionna saling bertukar pandang, keduanya tersenyum lebar. “Apa itu, Papa?” tanya Vionna antusias. John tersenyum. “Hanya makan malam biasa, dengan seorang rekan bisnis Papa.” Jawaban John itu pun menyita perhatian Albert. “Benarkah?” tanyanya. John mengangguk. “Ya Tuhan! Apa maksud Papa itu… Justin Claybourne?” Ellina bertanya dengan ekspresi tercengang bercampur keantusiasan. John mengangguk lagi, bersamaan dengan suara teriakan senang kedua putrinya. “Hey… sudah-sudah, kalian ini. Masih menaksir Justin rupanya.” Diana terkekeh geli, menatap kedua putrinya yang hanya menyengir dengan cengiran lebar mereka. “Tentu saja, Mama. Sekalipun keluarga kita dekat, tapi aku tidak pernah bertemu dengannya semenjak tiga tahun belakangan, dan itu sudah lama sekali.” Vionna menjawab. “Kali ini, aku harus mendapat perhatiannya,” kata Ellina penuh tekat. “Enak saja! Kau itu tua, Justin hanya pantas bersanding dengan yang muda-muda.” Sontak perkataan Vionna itu membuat suasana ruang makan kembali cerah bersamaan dengan suara tawa-tawa. Entah bagaimana, sekalipun Hana tahu makan malam itu tidak berarti apapun baginya, dan dia juga tidak mengenal siapa Justin yang mereka bicarakan, tapi dia merasa ikut senang dan antusias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD