Chapter 4

1381 Words
Bagi Hana, makan malam keluarga semestinya adalah sebuah momen hangat dimana dia dan keluarga dapat menikmati rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Namun, alih-alih merasa demikian, Hana justru merasa sebaliknya. Dingin. Sekalipun suara obrolan dan gelegar tawa terdengar, tetap rasanya begitu sunyi. Terlalu melankolis diri. Tanpa sadar, Hana tersenyum miring di balik cadar yang menutupinya. Dia tidak makan lagi setelah satu suap mencicipi, sengaja hanya memainkan garpu dan memotong-motong daging di piringnya tanpa minat. Sepertinya, gerak-gerik Hana itu disadari oleh Diana. “Kau baik-baik saja, Hana? Tampaknya kau sedang tidak enak badan, ya?” Ramai yang sempat tercipta kini berbalut bisu. Hana mendongak, menatap Diana dan tersenyum padanya. Hana bersyukur, setidaknya di sini, masih ada seseorang yang mempedulikannya di saat yang lain tampak sibuk sendiri. “Aku baik-baik saja, Ma,” jawabnya. Namun setelah itu, Vionna terdengar menyahut, “Tentu saja dia baik-baik saja, Mama. Hana kita hanya kualahan untuk memakan makananannya dengan dandanan nyentrik seperti itu.” Mendengarnya, Hana hanya mampu berucap istigfar di dalam hati dan menutup matanya sejenak, menahan dorongan untuk membalas ucapan Vionna. Mereka hanya tidak mengerti, batin Hana. “Hana.” Suara John ketika memanggil nama putri bungsunya, entah kenapa terdengar begitu asing di telinga Hana. Sampai-sampai dia membatin lagi, benarkah yang dipanggilnya aku? Dan ketika Hana mendongak, menatap ayahnya, lonjakan di jantungnya kian terasa. Dia begitu senang, sehingga Hana tidak bisa menahan senyumnya yang mana hal itu dapat terlihat dengan jelas dari guratan di matanya. “Kau pasti tidak nyaman dengan makan malam ini. Maafkan aku, tidak semestinya aku memintamu datang.” Senyum di bibir Hana langsung pudar. Canggung. Udara di sekitarnya tiba-tiba mencekik. Hingga tanpa sadar Hana menatap mereka bergantian. Melihat Diana yang memberi ayahnya tatapan peringatan. Ellina dan Vionna yang menatapnya penuh kemenangan, dan tatapan kasihan dari Albert. Apa ini?! Belum lagi, tatapan mata tajam pria itu, yang berhasil membuat Hana membeku dan langsung mengalihkan pandangannya menunduk. “La’ilaha’illallah.” Hana berbisik sangat kecil, sampai tidak satupun dari mereka mendengar. Perkataan ayahnya bagi Hana jelas-jelas memiliki makna tersembunyi. Dan saat ini, dengan semua tatapan yang tertuju padanya. Hana benar-benar merasa menciut. Kebisuan canggung yang mendadak tercipta di antara mereka membuat Hana tidak lagi mampu berkata-kata untuk hanya sekedar membalas tatapan mereka dengan senyuman. Ini… ini begitu berlebihan. Hana begitu senang menghadiri makan malam ini dan bertemu dengan ayahnya. Sekalipun dia merasa begitu dikucilkan, awalnya Hana tidak begitu masalah sebab itu juga karena dirinya yang tidak pandai ikut mengobrol. Ah, bahkan dia tidak mengerti dengan topik yang mereka bicarakan. Namun ini… jelas-jelas- “Maaf, sepertinya Mama benar, aku memang sedang tidak enak badan. Kalau begitu, aku permisi.” Hana mendorong kursinya, lantas berdiri. Sebelum pergi, ia sempat mengucapkan kata maaf lagi dan sedikit membungkuk pada ayahnya dan tamu mereka, bergantian. *** “Ini tentang manifestasi yang dibuat malam. Apa kau pernah tenggelam di dalamnya?” Gadis bercadar itu bersuara. Tidak berbicara pada siapapun, bertanya pada apapun, melainkan pada angin yang mengusik rimbun pepohonan. Kakinya ia turunkan hingga menyentuh air danau yang dingin. Menggoyang-goyangkannya hingga membuat air yang semula tenang itu menjadi beriak. Lantas ia mendongak ke atas, menatap bulan yang bersinar terang di langit. “Karenamu, aku tidak bisa melihat bintang,” bisiknya. Ia memejamkan mata ketika dinginnya angin malam mengelus lembut wajahnya. Hana tersenyum lebar di balik kain hitam yang menutupi sebagian wajahnya itu. “Ah… kau terlalu melankolis, Hana. Apa tadi itu? Puisi?” Hana tertawa sumbang. Tadi, dia tidak langsung beranjak pergi ke kamar, melainkan ke luar dan duduk di dermaga. Karena Hana tahu, untuk sesekali saja, dia butuh ketenangan. Jauh dari bising dan celotehan kedua kakak perempuannya. Dan Hana pikir, di sinilah tempat yang tepat. Halaman belakang kediaman Fidelis sangat luas. Bahkan ayahnya memiliki lapangan golf sendiri. Dan padang rumput yang dibatasi pepohonan rimbun, tempat Hana saat ini. Seperti tengah berada di tengah hutan saja, gelap dan sunyi. Suara-suara hewan malam adalah satu-satunya suara yang Hana dengar, serta suara cipakan air yang kakinya perbuat. Dia tersenyum lagi. Ini sudah hampir tiga puluh menit Hana di sana. Dan dia sadar, bahwa sekarang sudah masuk waktu Isya. Jadi Hana menaikkan kakinya dari air, memakai kembali kaos kaki yang tadi dia lepas, lantas berdiri. Namun, ketika Hana berbalik, ia menangkap sebuah siluet dari balik batang-batang pohon yang berjalan menuju arahnya. Hana terdiam. Dia tidak takut, hanya sedikit terkejut. Apalagi ketika sepasang mata gelap itu terpaku padanya. Hana diam seribu bahasa. Sekarang, kata sedikit untuk keterkejutannya tidak lagi bisa mendeskripsikan kondisi Hana. Lelaki itu terdiam, beberapa langkah di hadapannya. Dan Hana tidak tahu harus bagaimana. Pandangannya pun segera beralih pada beberapa batang pohon di belakang bahu lelaki itu, sehingga  figur di hadapannya kini tampak memblur. “Hana.” Hana mengernyit sebentar, lagi-lagi bertanya; benarkah itu namanya? Ah, dia merasa begitu bodoh. Tentu saja itu namanya. Namun hanya saja, terdengar begitu berbeda. Seperti ketika ayahnya memanggilnya tadi. Hana mengalihkan pandangnya sehingga kedua mata mereka bertemu, namun tidak sampai dua detik Hana mengalihkan padangannya lagi. “Ya? Apa…” “Bisa kita bicara sebentar?” Hana mendengar nada suruhan yang tidak minta bantahan. Sehingga ia mengangguk dan maju beberapa langkah untuk kembali ke rumah di mana Hana pikir mereka bisa berbicara. Karena ini adalah hutan, gelap dan mereka hanya berdua saja. Hana tentu berpikir akan jauh lebih baik jika mereka pergi dari sini untuk berbicara. Namun suara lelaki itu kembali memotong aksinya. “Di sini saja,” katanya, dengan suara yang terdengar sangat dingin. Jelas saja Hana menolak. Dia menggeleng kuat-kuat. “Akan lebih baik jika kita membicarakannya di dalam.” Suara Hana yang terdengar lembut, namun menyiratkan ketegasan di dalamnya membuat Justin terdiam untuk beberapa saat, seakan sedang berpikir. Tapi kemudian, dia mengangguk juga. Hana membiarkan Justin melangkah lebih dulu, sehingga dia berada di belakangnya. Sebab begitulah adab dalam Islam yang Hana tahu, untuk laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya berjalan berbarengan.   Justin tersenyum miring, merasakan Hana yang berjalan cukup jauh di belakangnya. “Tidak boleh terlalu dekat, ya,” bisiknya, menilai sambil menatap lurus-lurus ke depan. *** Langkah Hana terhenti pada teras di belakang rumah dekat kolam renang, ketika dia melihat beberapa pelayan di sana sedang membersihkan sesuatu. Hana pun berdiri di dekat pintu menunggu Justin yang saat ini melangkah ke arahnya, dengan tatapan yang tidak kunjung lepas dari Hana. Ketika jarak mereka tidak lebih dari lima langkah, Hana bersuara. “Jadi, apa yang ingin Anda katakan, Mr…” Hana terdiam karena tidak tahu harus memanggil pria di hadapannya ini dengan panggilan apa. “Ini sungguh tidak etis bagiku ketika semua orang di rumahmu tahu siapa tamunya, namun kau sama sekali tidak memiliki ide akan hal itu.” Hana terdiam. “Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” jawabnya kemudian. Saat ini, ketika sepasang mata di hadapannya menatap tajam ke arahnya, Hana mencoba sekuat tenaga untuk tidak menghiraukannya. Alih-alih, dia malah meremas kedua tangannya sebagai imbas. “Namaku Justin Claybourne, Hana.” Justin berucap lembut, membuat sejenak raut dingin di wajahnya terhapuskan, namun ketika senyum itu terbit, semuanya tampak sirna tergantikan akan maksud lain yang tentu saja hanya dirinya yang tahu. “Justin Claybourne.” Hana membisikkannya pelan. “Seperti yang kukatakan tadi, aku ingin berbicara denganmu, mengenai… sesuatu.” Justin terdiam, menunggu respon perempuan di hadapannya. Namun ketika Hana hanya bergeming dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa dia tebak, dia pun melanjutkan, “Apa kau tahu? Atau mungkin John pernah mengatakan sesuatu padamu sebelumnya?” Hana mengernyit. Dia melirik sebentar untuk menangkap maksud Justin dari raut di wajahnya, namun pria itu terlalu dingin dengan raut yang selalu tidak beriak. “Kurasa… tidak pernah. Aku tidak mengerti.” Justin tampak berpikir, ia tersenyum begitu tipis. “Ah, sudah kuduga, sepertinya dia ingin menjadikan ini sebagai kejutan untuk putrinya.” Mendengar itu, rasa penasaran Hana memuncak. Matanya mengernyit bingung. “Mr. Claybourne, apa maksud Anda?” Justin terdiam, tanpa Hana sadari mereka sudah saling tatap cukup lama hingga dia tersadar dan mengalihkan langsung pandangannya sambil mengucap istigfar dengan bisikan yang begitu pelan. “Kurasa, permainan ayahmu lebih menggiurkan dari apa yang ada di hadapanku saat ini.” Dengan itu, Justin melangkah pergi. Namun sebelum ia melewati Hana, pria itu sempat berbisik begitu pelan di dekat tubuh Hana yang seakan mematung di tempat. “Sampai jumpa, Miss Hana. Sepertinya kita akan lebih sering bertemu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD