Part 2

1640 Words
Aara memandangi foto pria yang ada di layar ponselnya. Pria berwajah manis yang menjadi semakin tampan seiring bertambahnya usia. Teuku Natta Daud. Dokter Natta. Itulah nama panggilan pria itu. Pria yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya itu adalah sosok yang sudah ia gilai sejak pertama kali ia melihatnya. Dan kapan itu? Aara mengerutkan dahi, membuat alis hitamnya melekuk semakin cantik. Ia mengenal Dokter Natta sejak usianya sepuluh tahun. Ya, itulah kali pertama mereka diperkenalkan. Kala itu ibu Aara, Rindu, mengajaknya untuk bertemu dengan sahabat baiknya, Raima. Sosok wanita yang Aara kagumi setelah ibunya. wanita yang sudah melahirkan sosok Teuku Natta Daud ke dunia. Kala itu, Natta masih menjadi mahasiswa kedokteran. Dia sudah dewasa dan terlihat tampan. Sejak saat itu, setiap kali Aara menonton film animasi yang berceritakan tentang seorang putri dan pangeran, maka ia akan membayangkan sosok Natta sebagai pangerannya, sementara dirinya adalah sosok sang putri. Aara sangat suka mengikuti ibunya setiap kali ibunya itu mengatakan akan berkunjung ke kediaman sahabatnya. Sayangnya, ia seolah tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan pria itu, karena dalam beberapa kali kunjungannya, ia tidak pernah bisa bertemu dengan pria itu. Karena pria itu ternyata tidak bersekolah di kota yang sama dengan tempat mereka tinggal. “Loe kenapa senyum-senyum sendiri?” Sapaan Danastri, teman masa SMA nya membuatnya tersadar dalam dunia nyata. Sejenak ia lupa kalau mereka janjian untuk bertemu di café karena sama-sama ingin mengabarkan kabar gembira. Aara menggelengkan kepala, masih dengan senyum mengembang di wajahnya. “Gak apa. Loe sehat?” Aara balik bertanya yang juga dijawab dengan anggukkan oleh gadis yang kerap disapa Astri itu. Mereka memilih untuk memulai percakapan dengan berbasa-basi. Aara dan Astri memesan makanan yang ingin mereka makan, lengkap sampai ke hidangan penutupnya. Sambil menunggu pesanan mereka datang, keduanya saling tatap dengan mata sama-sama berbinar senang. “Loe duluan.” Ucap Aara pada sahabatnya itu. Astri tampak tersenyum malu dan kemudian memulai ceritanya. “Gue mau nikah sama Mas Fazwan.” Umum gadis itu. sejenak Aaara membelalakkan mata. Terkejut, tentu saja. Tapi bukan karena itu. Ia sepatutnya bahagia dengan kabar yang sahabatnya katakan, namun faktanya itu tidak membuat Aara senang. Ia tahu siapa Fazwan, dan ia juga tahu kalau Astri tergila-gila pada pria itu. Tapia da sesuatu yang mengganjal di hati Aara tentang pria pilihan sahabatnya itu. Fazwan tampan, dia pria yang sopan. Tapi yang Aara tahu, dia bukan sosok pekerja keras. Dia itu tipe pria pemalas. Sementara Astri adalah anak perempuan satu-satunya yang sangat dimanjakan oleh orangtuanya. Ayahnya adalah seorang pengusaha kaya raya. Dia sahabat yang baik dan murah hati. dan itulah yang membuat Aara semakin ketakutan karenanya. Ia takut, Fazwan mendekati Astri karena pria itu tahu Astri gadis yang bisa dimanfaatkan. Tidak ada yang bisa menjamin kalau di masa depan mereka akan bahagia. “Loe yakin?” Aara mengemukakan pemikirannya. Astri menganggukkan kepala dengan sangat yakin. “Tapi dia belum kerja Tri.” Keluhnya lagi. Astri tampak menunjukkan senyum cerahnya dan wajahnya kembali berbinar. “Mas Fazwan udah kerja di kantor Papa. Dan Papa bahkan janji sama gue, kalo kita nikah, Mas Fazwan akan diberi posisi yang lebih baik lagi.” Ucapan Astri jelas membuat Aara semakin meyakini pikirannya. Fazwan, mendekati Astri karena janji yang diberikan ayah gadis itu. “Jangan buru-buru, Tri. Tahan sebentar lagi. Kita masih muda loh.” Ucap Aara. Sebagai sahabat yang baik, dia tentu tidak mau membuat sahabatnya itu membuat keputusan yang salah dan malah menjerumuskan dirinya sendiri dalam kesusahan. Tapi Aara kemudian sadar diri. Seperti halnya ibunya yang mencoba memperingatinya supaya tidak jatuh cinta terlalu dalam pada Natta yang masih memiliki sosok wanita yang ia cintai—dan ia memilih mengabaikannya—ia tahu bahwa itu juga yang akan Astri lakukan jika ia melarangnya. “Loe tahu kan kalo cita-cita gue itu nikah muda dan punya banyak anak.” Ucap gadis cantik di hadapannya itu dengan mimik antusias. Tentu, Aara tahu. Semua itu selalu mereka bahas semenjak Aara menceritakan sosok Natta pada sahabatnya itu. Namun berbeda dengan Astri yang ingin menikah muda dan memiliki banyak anak, Aara ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu, mendapatkan pekerjaan dan membalas budi kedua orangtuanya dulu sebelum memutuskan untuk menikah dan mengabdikan waktunya pada suami dan calon anak-anaknya kelak. “Gue tahu, tapi.. entahlah.” Ucapnya lirih. ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya kini. Saat orangtuanya mengatakan akan menjodohkannya dengan Natta, keinginannya untuk menikah setelah sukses pun kini mulai goyah. Makanan mereka tiba. Keduanya sama-sama menggumamkan terima kasih pada sosok pria yang menyajikan makanan di hangat di depan mereka. Pria itu hanya memberikan senyuman sopan sebelum berlalu pergi. “Loe, apa yang mau loe bilang sama gue?” Astri kemudian kembali pada topik pembahasan mereka. “Apa ini ada hubungannya sama dokter syaraf loe?” tebaknya yang seratus persen sangat benar. Aara menganggukkan kepala seraya memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Ia memilih mendramatisir keadaan, membuat Astri menunggu dengan rasa ingin tahu. Gadis itu memandangnya penuh perhatian sementara Aara sengaja mengunyah makanannya berlama-lama dan membuat gadis itu kesal. Sampai akhirnya kemudian Astri mencebik kesal dan ia tersenyum karenanya. Aara terkekeh pelan, suka dengan sikap Astri yang tak sabarah. Ia kemudian bertaka. “Bonyok jodohin gue sama dokter Natta si pemilik senyum manis.” Ucapnya yang membuat mata Astri terbelalak seketika, dilanjutkan dengan pekikan lantangnya yang membuat beberapa pengunjung café memandang ke arah mereka. Sebagian karena terkejut dan memilih tersenyum saat melihat antusiasme di wajah Astri. Sebagian lagi mengernyitkan dahi karena merasa terganggu. Aara berusaha menutup mulut sahabatnya dengan meletakkan telunjuknya di depan bibir. Astri tampak terkekeh dan menganggukkan kepala, melihat sekeliling dan mengucapkan permohonan maaf tanpa suara. “Akhirnya, pucuk dicinta ulam tiba.” Ucap gadis itu dengan suara yang lebih pelan. “Gimana rasanya, bisa dijodohkan sama si senyum manis?” tanyanya antusias. Aara menunjukkan senyum genitnya yang kembali membuat Astri terkekeh karenanya. “Loe mesti syukuran dong. Minimal bikin bubur ijo trus loe bagiin ke sekitar komplek. Di atas cup nya loe kasih pemberitahuan, ‘syukuran karena berhasil mendapatkan si senyum manis’. Begitu.” Ucap Astri dengan kekanakan yang membuat Aara mengangkat sebelah alisnya dan mencebik. “Lo happy banget dong. Secara, itu udah jadi mimpi loe sejak loe orok.” Aara mengangkat sudut mulutnya. Tersenyum dan kemudian menganggukkan kepala dengan antusias. Tentu saja, Bisa bersama dengan Natta adalah keinginannya. Sementara bisa tunangan apalagi sampai menikah dengan pria itu, tentu bukan hanya membuatnya senang. Rasanya kata bahagia pun tidak cukup menunjukkan bagaimana perasaanya. Apa yang ia rasakan jelas lebih daripada itu. ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, setidakbisanya ia menampung semua rasa itu dalam dadanya. “Tidak ada penantian yang sia-sia, ya.” Ucap Astri dengan mata menerawang. “Cinta gue sama mas Fazwan akhirnya akan berlabuh di pelaminan. Dan loe, rasa kagum dan cinta loe sama dokter Natta akhirnya akan berlabuh juga di pelaminan pada akhirnya. Bukankah itu mimpi semua gadis? Cinta yang menjadi nyata?” tanyanya pada Aara, matanya sarat akan permohonan supaya Aara menyetujui ucapannya. Aara hanya bisa menganggukkan kepala meskipun kepalanya seolah menolak pernyataan Astri. Dalam diamnya dia kembali mengingat peringatan yang diberikan ibunya. Ya, Astri dan Fazwan mungkin memang sudah dijodohkan oleh Allah untuk menjadi pasangan bagi satu-sama lain dan hubungan mereka akan berlabuh di pelaminan. Tapi hal itu belum tentu terjadi pada Aara. Ia belum tentu akan menjadi pelabuhan terakhir bagi Teuku Natta Daud. Karena seperti yang ia dengar dari ibunya dan juga tante Raima, kalau Natta masih menyimpan sosok Syaquilla dalam hatinya. Pria yang dipujanya itu malah dengan jahatnya mengharapkan perpisahan terjadi antara Syaquilla dan suaminya. Dengan itu saja sudah memberitahukan Aara bahwa sosok Syaquilla sangatlah berarti bagi Natta. Bisakah ia menggantikan sosok itu di hati Natta nantinya? Ia yang seperti ini, jauh dari kata baik apalagi sempurnya, ingin menggeser sosok Syaquilla—yang sayangnya setelah ia cari tahu—tidak ada cacatnya. Ya, Aara pergi ke restoran yang diberitahukan tante Raima merupakan tempat dimana Syaquilla bekerja. Awalnya Aara menduga kalau Syaquilla adalah sosok gadis berwajah sangat cantik, berkulit putih dan bertubuh tinggi semampai yang disebut sebagai karyawan restoran sebagai si pemilik. Aara langsung merasa kalah saat itu juga. Pantas saja jika Natta menyukai gadis itu, bahkan Aara pun merasa iri dengan kecantikan dan kesempurnaan yang dimiliki gadis itu. Namun ketika karyawan itu menyebut nama si gadis dengan sebutan Carina. Ia merasa ingin bersorak bahagia seketika. Tapi itu tak berlangsung lama. Saat kemudian Aara melihat sosok seorang wanita dengan paras yang cantik—yang ia yakini bukan asli berdarah Indonesia—mengenakan jilbab dan memberikan senyum hangat pada siapapun yang menyapanya. Membuat rasa percaya diri Aara—yang biasanya mencapai langit—jatuh ke dasar bumi. Jelas, ia bukan tandingan seorang Syaquilla. Bukan karena kecantikannya. Tapi karena sikap sopan dan hangatnya. Dan yang lebih utama lagi adalah hijab yang dikenakannya. Ya, Syaquilla adalah cerminan tante Raima bagi Natta. Wanita pertama yang dicintai pria itu. Sementara Aara. Ia tidak bisa memungkiri dirinya sendiri. meskipun ia pun terlahir dari keluarga yang paham agama, tapi dia meyakinkan dirinya bahwa ia belum siap untuk berhijab. Baginya, aka nada saatnya nanti dirinya menutup auratnya. Ia bisa saja berubah menjadi sosok seperti Syaquilla. Dalam artian dia bisa menutupi seluruh aurat tubuhnya seperti yang diinginkan Natta. Tapi itu bukan dirinya. Dia tetap tidak akan dicintai Natta karena hal itu. Karena cinta bukan hanya tentang fisik, rasa, dan penampilan. Bukan juga hanya sekedar kenyamanan. Tapi cinta tentang akumulasi semua hal itu. sehingga yang kau lihat dari pasanganmu, tiada hal lain selain sempurna. Tidak ada kekurangan, tidak ada kelebihan yang berarti. Karena kau sendiri tidak tahu alasan apa yang kau miliki untuk mencintainya. Karena jika kau mencintai seseorang karena sebuah alasan, ketika alasan itu hilang, maka cinta pun akan hilang. Itulah yang ada dalam pikiran Aara. Seperti halnya ia yang mencintai Natta tanpa alasan, ia pun ingin Natta mencintainya tanpa alasan. Tapi mungkinkah itu? Bisakah ia membuka pikiran Natta dan mengalihkan perasaan pria itu supaya bisa mencintainya? Mungkinkah ia bisa menjadikan dirinya sebagai pelabuhan terakhir pria itu?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD