Chapter 1

2242 Words
Aku ingin menarik perhatianmu lagi, meskipun dengan cara yang bodoh. *** “Etdah, itu cewek cakep kayak boneka barbie!” Suara lantang laki-laki berambut keriting mengembang dan kulit cokelat kehitaman mengintrupsi pendengaran gerombolan laki-laki yang beranggotakan empat orang. Mereka terpana menatap seorang gadis berusia 15 tahun yang memasuki kafe dengan gaya anggunnya. “Calon bini gue, Mo! Awas aja sampe lo embat!” sarkas laki-laki berambut jambul yang sengaja ia bentuk seperti jengger ayam. “Eh, gue yang liat duluan, elo yang dapet. Aturan dari mana, tuh?” “Cewek cakep kayak dia mana mau sama lo yang krebo. Sadar diri, Mo. Warga +62 itu masih banyak. Lo cari yang laen aja, yang ini buat abang Bambang yang ganteng ini.” Bambang menepuk-nepuk dadanya yang kekar. “Asem! Krebo gini kebanggaan emak gue.” Emo merapikan rambut keriting gemulainya. Mengelus-elusnya seakan-akan jika dimanjakan akan berubah menjadi lurus. Dua sejoli itu saling berdebat mempersalahkan hal yang tidak berguna. Dua laki-laki lain masih terdiam. Yang duduk di sebelah kanan Emo, bernama Eno. Eno memilih berkutat dengan game di ponsel daripada mendengarkan kakaknya berdebat. Emo dan Eno adalah saudara kembar yang berasal dari Papua. Mereka tinggal di Semarang karena mengikuti orangtua. Jika Emo membiarkan rambutnya diumbar dan mengembang ke mana-mana, Eno lebih memilih mengikat rambut keritingnya. Menurut Eno, rambutnya lebih rapi jika diikat. Watak Emo dan Eno juga berbeda. Emo memiliki watak periang dan humoris, sedangkan watak Eno pendiam dan pemalu. Satu lagi, laki-laki yang sedari tadi diam dan menatap gadis cantik jelita bak bidadari. Matanya tidak bosan memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Seorang pelayan laki-laki mendatangi meja mereka. Dari penglihatannya yang tajam, gadis itu terlihat risi dan muak ketika pelayan meminta nomor telponnya. Ia ingin menghampiri pelayan itu dan menghadiahi bogeman yang sangat keras, namun, melihat gadis itu bisa mengatasi masalahnya sendiri membuatnya kembali duduk di kursi yang sempat ia tinggalkan beberapa detik. Bambang yang melihat tingkah aneh sahabatnya, menyeluk pelan. “Vin, lo ngapa, dah? Bisulan p****t lo, hah?” “Aelah, gak peka banget lo, Bam. Ravin itu pantatnya gatel minta lo garuk.” Emo menyahut sambil terkikik pelan. “Najis! Sampe kapanpun gue kagak sudi garuk p****t kasar kek badak itu!” Ravin yang merasa dibicarakan teman-temannya menatap sinis. “Emang p****t gue mau lo garuk? Tangan lo penuh dosa, gak pantes garuk p****t gue.” “Dih, ngambek, Bam.” Emo menggoda Ravin. “Mo, cewek PMS ngambek.” Bambang menimpali. “Syirik ae lo pada.” Ravin melangkah meninggalkan meja di mana teman-temannya mengejek habis-habisan dirinya, kecuali Eno—laki-laki itu asik dengan dunia ponsel. Tidak dapat dipungkiri lagi, ejek mengejek adalah tradisi yang tidak mungkin dilewatkan oleh geng mereka. Ravin melangkah mengunjungi meja kasir. Otaknya berpikir keras. Ia ingin sekali mendekati gadis cantik yang menduduki meja nomor 12. Namun, bagaimana caranya? “Mas, ada kopi?” Ravin bertanya pada penjaga kasir sambil mencuri pandang ke arah gadis cantik di sebelah kanan. “Ada, Mas. Di kafe ini ada beberapa macam kopi seperti cappuccino, café latte, macchiato, flat white, dan piccolo latte. Kalau Mas pengen yang bener-bener kopi, ada espresso coffe. Nanti Mas bisa milih single origin atau house blend.” Kelopak mata Ravin berkedib dua kali. Ia tidak paham apa yang dibicarakan penjaga kasir. Single origin? House blend? Espresso coffe? Ravin tidak tahu menahu perihal kopi. Yang ia tahu kopi itu hitam dan pahit. “Aelah, Mas. Susah amat. Kopi ya kopi, Mas. Biasanya, kopi yang diwarung-warung itu .. yang kayak kapal itu, lho. Di sini jual, kan?” Ravin nyengir kuda. Demam sok tahunya muncul. Penjaga kasir berpikir sejenak. Kopi yang seperti kapal? Mana ada kopi seperti itu. Setelah berpikir beberapa menit, penjaga kasir itu terkekeh pelan menyadari maksud pemuda di depannya. Maksudnya adalah kopi sachet dengan logo kapal api yang familiar di Indonesia. “Maaf, Mas. Kami tidak menjual kopi yang Mas maksud.” Penjaga kasir tersenyum. Bukan, lebih tepatnya menahan tawa agar tidak meledak. “Ck! Kopi kek gitu aja gak jual. Gimana mau maju, Mas?” Perkataan Ravin membuat dahi penjaga kasir berlipat-lipat. “Ya udah, caca cino berapa harganya?” “Maksundnya cappuccino, Mas?” “Iya, itu, caca cino.” Penjaga kasir terkekeh geli mendengar ucapan Ravin ketika mengucapkan cappuccino. Dengan wajah datar seperti itu, siapapun orang yang melihatnya akan terpingkal-pingkal. Laki-laki tampan itu memiliki selera humor yang tinggi. Sambil menunggu penjaga kasir menyebutkan harga dari cappuccino yang Ravin minta, laki-laki itu melirik gadis bersurai hitam legam. Tangan gadis itu menggoreskan pensil di buku gambar. Ravin melirik lebih dalam lagi. Ia melihat gambar gadis itu sangat cantik seperti orangnya. Keinginan Ravin untuk mengenal gadis cantik itu semakin kuat. Jika ia tidak dapat mendapatkan perhatian gadis itu sekarang, kapan lagi? Waktu tidak bisa diprediksi kapan akan mempertemukannya dengan gadis itu lagi. Bisa saja, hari ini adalah pertemuan terakhir mereka. “Cappuccino harganya 12.500, Mas.” Penjaga kasir membuyarkan lamunan Ravin. “Mahal!” Ravin sengaja meninggikan nada bicaranya agar semua atensi di kafe ini terpusat padanya, termasuk gadis yang duduk di meja nomor 12. Bahkan, Bambang, Emo, dan Eno ikut memperhatikannya yang kurang kerjaan mengganggu penjaga kasir. “5.000 aja, ya, Mas!” tawarnya lagi. Olly melengok menatap pemuda berparas cina di dekat kasir. Mata yang lebar menjadi sipit karena memperhatikan tingkah aneh pemuda dengan hoodie hitam dan celana jeans. Olly berpikir, apakah pemuda itu tidak malu dilihat semua mata yang ada di kafe? “Gak bisa, Mas. Di kafe ini semua harga tidak dapat ditawar.” Penjaga kasir menjaga senyum tetap mengembang. Melihat tingkah pelanggan di depannya membuat darah mendidih tiba-tiba. “Harus bisa, dong! Di pasar aja kalo mau beli nawar dulu, masa di sini gak bisa?” Suara Ravin semakin meninggi. Emo yang penasaran, akhirnya ikut nimbrung. “Lo kira ini pasar nenek moyang lo? Enak aje lo nawar kopi kayak gitu.” Emo menyahut ucapan Ravin. “Terserah gue, dong!” “Kenapa lo jadi ngegas sama gue?” Ravin mengabaikan pertanyaan Emo dan kembali fokus pada penjaga kasir. “Jadi, gimana, Mas? 5.000, ya!” “Gak bisa, Mas.” “Beneran? Nyesel nanti, lho.” Penjaga kasir tersenyum. “Harga di kafe ini adalah harga tetap, Mas. Tidak dapat ditawar lagi.” “Aelah! Pelit lo, ah! Gue doain kuburan lo sempit!” Ravin memaki penjaga kasir dan berlalu menuju kursi yang ia tinggalkan. Emo mengucapkan kata maaf berulang kali pada penjaga kasir perihal tingkah absurd sahabatnya. Sungguh, ia malu memiliki sahabat yang otaknya jarang dipakai. Ravin memang sableng dari dulu. Bahkan, sejak laki-laki itu lahir dari rahim ibunya. “Lo lupa minum obat, Vin?” Bambang menatap geli pemuda bermata sipit itu. “Otak lo gak berfungsi? Jadi, Herman gue.” “Heran, Bam.” Eno menyeletuk membenarkan kosakata Bambang yang salah. “Sama aja, No. beda dikit aja.” “Hmm.” Ravin mengindahkan pertanyaan Bambang. Ia fokus pada gadis yang ia tahu bernama Olly. Tidak sia-sia ia memicu keributan di kasir. Pendengarannya yang tajam sangat menguntungkan. Ia menguping ketika gadis itu berbicara dengan temannya yang bernama Alena. Bagaikan detektif yang andal, ia dapat mengorek informasi dengan cepat tanpa ketahuan—meskipun dengan cara t***l. “Vin, lo gila, sumpah! Lo pikir—eh, Vin, gue belom selesai ngomong. Woi! Main pergi aja itu anak.” Emo yang baru saja duduk diabaikan Ravin. Ravin ngacir menuju stand musik dan mengambil gitar elektrik yang disandarkan di bagian belakang bersama bass. Olly kembali menatap laki-laki aneh yang ribut memasang gitar elektrik agar tersambung listrik. Dahinya berkerut tajam. Entah kejadian apa lagi yang akan menimpa kafe ini. Olly merasakan firasat buruk. “Ly, dia mau ngapain lagi?” Alena mencondongkan badan agar Olly dapat mendengar bisikannya. Olly mengangkat bahu. Matanya memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu yang kini menyapa audience dengan mikrofon. “Gue gak tau.” “Ganteng, sih. Tapi, otaknya kosong.” Olly mengangguk menyetujui pendapat sahabatnya. Ia mengakui, laki-laki yang berdiri di stand musik sangat tampan. Wajahnya oriental, mata sipit, hidung sedikit mancung. Bahkan, untuk ukuran laki-laki wajahnya terlalu mulus—tanpa noda jerawat. “Malam semua! Maaf menganggu waktunya, gue mau bawain sebuah lagu untu kalian.” Seluruh perhatian terpusat pada Ravin, termasuk Olly. Gadis itu menatap Ravin dengan mata lebarnya. Dalam hati, Ravin berteriak senang. Pusat perhatian gadis itu adalah dirinya. “Mau apa lagi itu anak? Sumpah, gue malu punya temen kayak gitu.” Bambang menatap prihatin sahabatnya yang tidak tahu malu. Eno mengangguk. “Gue juga.” “Perasaan gue gak enak, deh.” Emo menatap Ravin dengan air muka pias. Ia yakin, kejadian tidak terduga akan terjadi di kafe ini. Mungkin, penghuni kafe akan terguncang sementara. “Tenang aja, gue lulusan Indonesia Idol, kok.” Ravin terkekeh pelan, kemudian jari jemarinya memetik senar gitar membentuk rangkaian nada yang berkesinambungan. Olly terpana dengan rangkaian nada yang diciptakan laki-laki itu. Hatinya terasa nyaman dan damai mendengar intro lagu Passenger yang berjudul Let Her Go. Jemari tangannya menari dengan indah. Senar gitar membunyikan lagu yang terdengar apik di telinga Olly. Ia menyesal sempat berprasangka buruk. Laki-laki itu terlihat menawan dengan senyuman yang manis seperti gula jawa. Bagaikan berada di lautan bunga, Olly merasa sangat bahagia mendengar intro lagu yang dibawakan Ravin. Hatinya berdesir aneh. Apakah ia bermimpi? Apakah ia bertemu pangeran tampan? “Bam, No, tutup telinga lo!” Emo berteriak memberi peringatan pada Eno dan Bambang. Seakan terhipnotis dengan permainan Ravin, mereka tidak mendengarkan ucapan Emo. Tatapan mereka terpaku pada Ravin yang terlihat lebih tampan ketika bermain gitar. Mulut Ravin mulai terbuka. Emo yang menyadari bencana akan melanda, segera telinga dengan kedua tangannya. “WELL YU ONLIIII NIID THE LIGHT WHEN IT’S BERNING LOW.” Seluruh penghuni kafe berteriak kesakitan. Suara Ravin jauh dari ekspektasi. Suara laki-laki itu seperti terompet sangkakala. Satu persatu berjatuhan dan berteriak nelangsa. Bahkan, di antara mereka ada yang kejang-kejang karena tidak kuat mendengar suara cempreng milik Ravin. Bambang berlari ke sudut kafe. Ia menyembunyikan tubuhnya di balik pot bunga. Eno terjengkang dari kursi karena sangking kagetnya mendengar suara buruk Ravin. Laki-laki berkulit hitam itu berguling-guling ke sana ke mari meminta pertolongan. Emo yang sedari tadi menutup telinga, berlari pontang-panting mencari pintu keluar. Kedua tangannya tidak cukup menghalau pesona suara sahabatnya. Alena menutup telinga sambil merapalkan doa agar bencana ini segera usai. Jauh di dalam lubuh hatinya, ia tidak ingin mati muda. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan. Ia ingin menikah dengan oppa-oppa Korea. Bagaimana dengan Olly? “ ONLIII MISS THE SUN WHEN IT STARTS TO SNOUWU .. ONLII NOU YU LOPE—“ BYUR! Secangkir cokelat panas mendarat mulus mengenai wajah Ravin. Wajah laki-laki itu berubah merah padam. Ia menahan rasa menyengat yang mampir di wajah tampannya. Perih, sakit, pedih menyampur jadi satu. “Lo bisa diem gak, sih?! Suara lo kayak panci jatoh tau gak?!” Olly mengenggam kedua tangannya kuat. Setelah dibuat melayang tinggi karena permainan gitar Ravin, ia merasa dijatuhkan dari langit. Ia kesal pada laki-laki absurd di depannya. “Hai, cantik! Boleh minta nomor hape lo?” Ravin tersenyum senang seakan-akan cairan cokelat panas tidak berefek apapun pada laki-laki itu. PLAK! Telapak tangan Olly beradu dengan pipi Ravin. Rasa sakit yang laki-laki itu rasakan bertambah dua kali lipat. Seolah-olah tamparan Olly tidak berdampak apapun, senyuman Ravin mengembang lagi. Ia memainkan senar gitar dan menciptakan nada yang enak didengar. Olly mengenali lagu ini. River Flows in You. Hati Olly melunak. Setiap petikan gitar yang Ravin mainkan meluluhkan saraf otaknya. Bunga berguguran menebarkan aroma harum yang menenangkan hati. Amarahnya menguap entah ke mana. Sosok di depannya sangat berbeda. Rambutnya yang basah karena cokelat panas semakin menarik. Permainan gitar Ravin menyihir gadis cantik di depannya. Di antara riuhnya kafe, dua insan lawan jenis saling menatap diiringi petikan gitar yang menambah nuangsa romantis. “Lo jinak pas gue main gitar doang, ya?” Ravin terkekeh melihat wajah Olly yang polos seperti bayi yang baru lahir. Permainan gitarnya berhenti beberapa detik lalu. “Bodo amat!” Olly berbalik. Ia bergegas merapikan barang-barangnya dan berlari keluar kafe. Meninggalkan Alena yang tergesa-gesa menyusul sahabatnya. Ia bersumpah, hari ini adalah hari terakhir ia bertemu Ravin—laki-laki aneh pembawa s**l. Tanpa Olly sadari, semesta mempunyai rencana lain. Semesta berkonspirasi menyatukan mereka di waktu yang tepat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD