TIGA

1379 Words
     "Aku ada urusan sebentar di kota Brasilia, jangan coba lari dariku jika ingin tetap aman dan cantik!." Sungguh, mulut yang sexy penuh racun itu selalu membuat tenggorokan ku sakit.      Aku pun lelah jika harus membuat strategi untuk lari dari seorang Matthew McConaughey Morgan, lelaki yang berkuasa akan tahta dan diriku. Mencoba lari darinya sudah aku lakukan beberapa kali namun hasilnya sangat memuaskan__memuaskan seluruh amarahnya melalui tubuhku__.      Matt sempat mengajakku untuk ikut dengannya, tapi untuk apa? Aku sudah sangat bosan melihat kegilaannya. Tapi aku merasa tidak nyaman di sini, aku belum terlalu mengenal seseorang dan berada di villa besar seperti ini membuatku takut,      "Kau yakin tidak akan ikut Barbie?" Matt meyakinkan keputusan ku untuk tetap tinggal.      "Ya, aku di sini saja" Matt menciumku dan melangkah pergi, terus terang dia memang pria yang sangat lembut jika aku mau__tidak! Dia menyeramkan__.      Aku memilih untuk tetap diam di dalam kamar, aku masih belum bisa bersosialisasi dengan manusia kelas atas itu. Aku pandangi semua baju-baju yang Matt beri untukku, sungguh akan menjadi momok pembicaraan jika dipakai di Indonesia.      Indonesia? Oh tempat kelahiran ku, aku sudah beberapa bulan tidak menghubungi keluarga ku dan aku juga tak kunjung bertemu dengan ayahku. Mengapa di usia muda aku sudah mengalami beberapa kesulitan untuk menjadi orang dewasa, Dan Matt membuat semua ini menjadi lebih parah. Mungkin jika aku tak memijakkan kakiku di New York semua ini tidak akan terjadi.      Ketika aku sedang asyik melamun tiba-tiba saja aku melihat photographer pribadi Matt sedang memotret alam sekitar, tapi mengapa dia ada disini? Oh, ok! karena pria licik itu akan meminta dia memotret ku.      Pria itu bernama Darius Gilbert, dia berasal dari Kansas, Amerika serikat yang mempunyai wajah tampan dan tutur kata yang baik. Dia selalu memandang wajah ku dengan intens, mungkin karena dia seorang photographer dan harus selalu fokus pada objeknya.      Gill mempunyai senyum yang nyaman dilihat dan matanya sangat indah, pekerjaan photographer sepertinya kurang tepat untuknya. Gill selalu baik padaku__mungkin karena aku istri majikannya__.      Semenjak kedatangan Matt dalam hidupku, hatiku tidak bisa menilai seorang pria. Bagiku semua pria itu sama, mereka akan melakukan apapun demi keinginannya. Aku sudah tidak mengharapkan hidup dengan pria yang lebih baik.      Pernikahan yang sulit dicerna ini sudah beberapa bulan aku jalani, dan Matt sudah membuatku menjadi icon dunia versi majalah Forbes. Bagaimana tidak, Matt selalu membuat penampilan ku terlihat lebih unggul dari para bintang Amerika.      Benar-benar aku telah menjadi mainannya. Tetapi banyak yang membahas masalah kecantikan ku ini, tidak ada senyum yang tersirat di wajah ku. Tersenyum? Aku bukan orang yang suka basa basi untuk memperlihatkan suatu kepalsuan.  Namun karena kelincahan dari seorang make up artis Ariel Tejada si pria cantik dan lentik itu membuat ku tetap menawan dengan makeup flawless nya.      Terkadang aku canggung ketika Ariel ingin membantuku memakaikan gaun, mungkin karena dia seorang pria. Tapi aku lebih memilih Ariel daripada Matt yang harus membantuku. Sudahlah! Membahas kekayaan Matt tidak akan menemukan ujungnya.      Tak bisa ku pungkiri, aku masih ingin melanjutkan kan study ku yang tertunda dan bekerja di salah satu perusahaan besar dalam negeri maupun luar negeri. Tapi semenjak terjadinya tragedi dalam hidupku semua impian menjadi kenangan belaka,      "Come on baby, saat nya beraksi!" Aku terkesiap dengan kehadiran Ariel yang secara tiba-tiba.      "Apa maksudmu Ariel?" Aku tidak mengerti apa yang ia maksud.      "Oh God, suamimu akan pulang dan aku akan mempersiapkan dirimu." Nyanyian Ariel seperti pengantar lagu pada pemakaman bagiku.      Apa aku harus selalu seperti ini? Pria berengsek itu akan kembali dan memainkan ku. Aku pun yakin pasti kali ini Matt akan memanggilku dengan nama yang berbeda.      Entah dia trauma kepada wanita atau memang Matt sudah beristri dan meninggal__entahlah aku muak__. Ariel dengan sangat lincah memainkan jarinya menghiasi wajah ku dengan banyak sentuhan makeup. Mainan milik konglomerat di kota New York sedang dipersiapkan.      Ariel pergi begitu saja setelah selesai mencoret coret wajahku sampai terdengar suara Matt membuka pintu kamar, dia tidak langsung menoleh kearah ku dan aku berharap dia lupa dan langsung terlelap. Tak lama kemudia aku merasakan ada benda yang menempel di leherku,      "Kau akan cantik memakai ini Barbie" Matt membuka kotak perhiasan. Tak lama benda sempurna yang berwujud kalung berlian yang bagiku sangat menyilaukan, warna hijau memikat serta detail pada berlian ini memang mengagumkan dan elegan.      "Tapi berlian hadiah darimu masih banyak yang belum aku pakai Matt" aku membelai tiap titik kecil yang membuatku terpana.      "Aku akan memberikan seluruh hartaku jika kau mau Barbie." Lalu Matt menciumi seluruh leherku dan membawaku ke ranjang, entah aku tak bisa merasakan apa itu artinya bercinta.      Aku selalu menangis setiap melihat cermin yang memantulkan diriku berbaring di samping pria yang tidak pernah aku kenal menjadi suamiku. Kenyataan yang pahit telah kukecapi di usiaku yang masih 20 tahun. Matt terlelap memeluk tubuh ku, namun aku benar-benar tidak bisa mengartikan tentangnya. ***      Aku tidak meminta mu untuk memuji ku dan menjadikan aku berdiri di atas segalanya, duniaku tidak sesuai dengan apa yang kau tunjukkan.      Jauh dari keluarga membuatku ingin selalu mencaci maki seorang Matt, dia sudah merenggut semua yang ada pada ku. Jika aku datang ke New York hanya untuk mengais rejeki mungkin rasa tersiksa tidak akan pernah muncul. Laki-laki posesif itu hanya menjadikan aku sebagai tawanan untuk memuaskan hasratnya, tanpa perduli melihatku yang terpuruk.      Pagi ini Matt ingin mengajak ku jalan-jalan ke Pennsylvania, negara bagian Amerika serikat untuk sebuah acara besar di perusahaan property miliknya, tapi aku memang tidak ingin menjadi boneka bawaan secara terus menerus. Aku tahu dia tidak akan membiarkan aku menolak perintahnya.      Meski hampir empat bulan aku menjadi istri Matt tapi aku tidak pernah mengenal keluarganya, aku hanya pernah sekali bertemu dengan paman Matt. Dia adalah produser film dan pemilik berbagai restoran mewah di New York, Matt sering mengajakku ke salah satu restoran milik pamannya.      The Pluckemin inn Restaurant yang menyediakan hidangan larut malam, dengan ruang tunggu outdoor yang langsung memperlihatkan panorama malam hari di kota New York.      Jika Matt seseorang yang aku cintai mungkin aku akan merasa bahagia memiliki suami yang lembut dan romantis, dengan mata abu-abunya yang tajam sangat jarang membuat wanita mengabaikannya.      Tapi bagiku Matt adalah Monster yang berwujud manusia. Matt calling...      Manusia ini selalu mengagetkanku, pria licik yang membuat hidupku hampa,      "Barbie, kau harus turun sekarang atau aku akan menyeret mu keluar!" Suara Matt melalui sambungan nirkabel ampuh membuat telingaku menjadi tidak normal.      Aku segera turun dan menghampirinya di meja makan, dia nampak mengerikan karena aku belum juga datang untuk sarapan,      "Kau ingin melihat kemarahan ku Barbie?" Pria angkuh yang menjadi suamiku mulai menampakkan kemarahan.      Bagaimana ini? Masa iya aku harus__tidak ini masih pagi dan aku tidak nafsu meladeninya__,aku langsung duduk di sebelah Matt dan mengambilkan sarapan untuknya.       Kau membuat ku seperti robot Matt, jika aku sudah bosan hidup tenang mungkin kau sudah aku musnahkan!      "Maaf, aku baru saja bangun" aku tidak memiliki tenaga untuk menatapnya.      "Aku tidak masalah jika kau ingin aku..." Tidak! Ini sama sekali tak bisa di biarkan.      "Tidak! Aku minta maaf Matt" mungkin mengalah harus menjadi tugasku sekarang.      Dengan seringai andalan Matt yang mematikan sukses membuatku tunduk, seandainya saja aku dapat menemukan surat perjanjian itu.      "Kau harus ikut denganku hari ini! Tidak ada kata tidak!" Aku hanya mengangguk singkat, malas jika harus melihat mata indah itu memancarkan sinar yang mengerikan.      Setelah menyelesaikan sarapan, aku dan Matt beranjak dari kenyamanan untuk menuju mobilnya. Namun aku mengingat sesuatu, "tapi aku belum mandi dan ganti baju Matt, aku mohon tunggu sebentar."      "Kau tetap cantik, akan ku suruh pelayan menyiapkan baju dan kau bisa ganti di dalam mobil!" Otak m***m itu ingin rasanya aku tarik dan aku injak-injak.      Matt melangkah dengan sangat cepat mengingat tingginya 190 cm membuatku berlari kecil, dia mengendarai Bugatti kesayangannya. Matt jarang memakai sopir jika pergi denganku, dia ingin lebih privasi.      Dia menyodorkan pakaian ganti untuk ku, tidak bisa dibayangkan jika aku harus ganti di depan pria asing__sial! Dia sudah menjadi suamiku__.      Jarak antara New York dan Pennsylvania lumayan jauh, tapi menggunakan Bugatti Veyron perjalanan kita akan menjadi singkat dan cepat.      Sungguh aku senang bisa berjalan jalan di negara ini, aku sendiri hanya satu kali mengunjungi Amerika waktu masih berumur tujuh tahun. Aku teringat kembali akan ayahku, semenjak perceraian mereka aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan sekarang aku sudah tidak bisa menemui ibuku, Matt tidak mengijinkan aku mengunjungi Indonesia. Lengkap sudah tragedi dalam hidupku ini.      Sepanjang perjalanan aku tidak bicara dengan Matt, untuk apa? Dia hanya berbicara jika ada sesuatu yang dia mau. //
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD