Dunia Tidak Selebar Daun Singkong

1123 Words
Seluruh penghuni di dalam perut Ana mungkin saat ini sedang unjuk rasa. Cacing-cacing yang ada di sana bisa dia rasakan sedang minta keadilan supaya diberi asupan sesegera mungkin. Sejak kegalauan yang melanda hidupnya, sudah jarang ia memperhatikan penghuni yang ada di dalam perutnya itu. Ana menghentikan mobilnya di sebuah toko kue langganannya bersama Tiara. Baru juga kakinya turun dari mobil, sudah disambut dengan aroma-aroma yang bikin penghuni yang ada di dalam perutnya semakin protes tidak karuan. Hanya dengan mencium aroma-aroma surga itu pun, suasana hatinya seketika langsung berubah seketika. Bibir Ana bergerak, hidungnya benar-benar dimanjakan dengan aroma gurih dan manis dari cokelat keju favoridnya. Dia tidak sabar sekali untuk segera mencicipi kue-kue itu. Ana menggeser pintu kaca toko, suara bunyi gemerincing langsung menyambutnya. Mata wanita itu berbinar, melihat berbagai jenis kue yang semuanya tidak ada yang Ana tidak sukai. Baru Ana akan mengambil nampan, seseorang menyebut namanya. "Eh Ana, sendirian aja?" Gerakan tangan Ana berhenti di udara. Ia menoleh ke sumber suara. Damn, demi apa? Dari sekian tempat di dunia ini dia harus dipertemukan dengan manusia itu di tempat seindah ini? Apalagi saat perutnya sedang asyik-asyiknya bergejolak. Tuhan benar-benar tidak lelah, ya menguji imannya. Manusia itu bernama Sinta. Ana sempat satu kelas dulu saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sempat tidak dipertemukan lagi saat SMA. Akan tetapi begitu kuliah, Ana kembali lagi bisa melihat Sinta sebagai teman satu jurusannya, sebelum Ana pindah ke luar negeri. Sudah lama juga dia tidak melihat wanita itu. "Mana Beni? Sibuk? Gak bisa selalu ada ya dia?" sindir Sinta. Mendadak kepala Ana terasa gatal. Padahal, dia sudah keramas dan dia yakin tidak ada makhluk hidup juga yang ada di sana. "Gue sama cowok gue lo ... dia selalu nyempatin diri tahu, walau sibuk sekalipun. Oh iya sekedar info, dia juga lebih ganteng dari pada cowok lo, Beni." Kayaknya gak ada yang tanya juga perasaan... Kaki Ana tiba-tiba dilanda kesemutan hebat, bahkan sekarang tangannya juga gemetar. Bukan gemetar mendengar ocehan perempuan di depannya ini, melainkan sepertinya cacing-cacing imutnya sudah mulai mengalami sakaratul maut saking tidak kuatnya menahan hasrat mereka untuk makan. "Dia juga kaya ... lo tahu CEO Angkasa Grup?" bisik Sinta. "Sini Babe," panggilnya mengayunkan tangan dengan kemayu kepada laki-laki yang ada di belakangnya. Mulut Ana menganga sepersekian detik. Untung di tempat ini bersih, tidak ada lalat yang akan masuk ke dalam mulutnya. Dia terkejut bukan main melihat seseorang yang baru saja ditarik oleh Sinta. Di gandeng dengan begitu posesifnya, sepertinya laki-laki itu juga terlihat syok sama seperti dirinya. Benar kata Tiara jika dunia tidak selebar daun singkong. Walau ungkapan adiknya selalu absurd, entahlah ... dia selalu saja mengingatnya. Laki-laki yang dikenalkan Sinta baru saja adalah Keenan. Ya, tunangannya sekaligus musuh bebuyutannya yang memiliki mulut pedas sepedas mulut tetangga. "Lo kalah ... kali ini lo kalah sama gue," ucap Sinta sinis kian menggebu-gebu. Sepertinya perempuan itu sedang merasakan kebahagiaan yang amat sangat, karena melihat Ana jalan sendirian tanpa kekasih. Ana menatap Sinta heran. Wanita itu ternyata masih sama, selalu saja menganggap jika dirinya ini adalah saingan. Kalah ... menang? Dia saja tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Lagi pula ini kehidupan, bukan lomba tujuh belasan. "Maksud lo apa, sih?" "Maksud gue ... cowok gue lebih segalanya dari pada cowok lo, Beni." "Lo masih suka sama Beni?" tanya Ana balik. Dia tahu, dulu saat Beni menganggap Sinta sebagai sahabatnya, wanita itu diam-diam menyukainya. Mata wanita tidak pernah salah. Apalagi dengan melihat bola mata Sinta yang saat ini bergerak tidak fokus setelah ia tanya. Sinta gelagapan. "Ngapain gue suka sama Beni? Lo gak liat cowok gue?" Sinta menunjukkan laki-laki yang diklaim sebagai kekasihnya itu. Memang, Ana tidak menyangkal jika dibanding Beni, Keenan memang sedikit lebih tinggi, sedikit lebih tampan, dan sedikit pula lebih kaya. Tapi, dia tidak butuh semua itu. Percuma kaya, jika tabiatnya seperti neraka. Ana memutar bola matanya jengah, ia harus segera pergi dari sini sebelum tangannya menjambak pemeran antagonis di dalam hidupnya itu. Cukup hari ini saja, jangan lagi ia dipertemukan lagi. Sepertinya kali ini, dia harus menunda dulu niatnya memberi asupan kepada penghuni yang ada di dalam perutnya. Menatap kue-kue cantik itu nanar. Ana akhirnya menggerakkan kakinya melangkah keluar. Bukan karena Ana takut, merasa kalah, atau apa pun itu. Dia hanya tidak ingin berdebat dan Sinta semakin tidak suka kepada dirinya. Ana tidak ingin memiliki musuh, apalagi dengan seorang teman di masa lalunya. Selamat tinggal kue-kue cantikku ... jangan sedih besok aku pasti menemuimu.... Begitu Ana menghilang Sinta tanpa sadar menghentakkan tangan Keenan dengan begitu kasarnya. Menggertakkan gigi, ia juga menggenggam jari-jarinya hingga bunyi gemeretak terdengar dari kuku-kuku panjangnya. Dia selalu merasa marah, melihat Ana masih terlihat baik-baik saja setelah semua yang ia lakukan kepada dirinya. Dunia sungguh tidak pernah adil. Apalagi dengan dia, yang hidup sendiri tanpa orang tua. Ana punya segalanya. Orang tua kaya, karier oke, pacar seperti Beni. Ah Beni, dia masih sangat menyukai laki-laki itu. Cinta pertama benar-benar sulit dilupakannya. Dari dulu rasa benci ini tidak pernah hilang. Malah semakin tertanam kian dalam, tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Sinta begitu iri dengan Ana. Ana yang pura-pura polos dan cuek dengan barang-barang bermerk yang selalu melekat di tubuhnya. Wanita itu juga selalu memiliki circle kalangan orang kaya, tetapi masih saja pencitraan dengan berteman dengan kalangan yang jauh berbeda dengan dirinya. Hal yang paling membuat Sinta tidak bisa lupa, adalah saat Ana memisahkan dia dengan Beni. Satu-satunya sahabat dan cinta pertamanya. "Akhirnya Ana menerima gue jadi cowoknya, Sin...." Sinta yang waktu itu sibuk dengan tugasnya dibuat kaget dengan pernyataan Beni yang tiba-tiba. "Selamat," ucap Sinta menahan air matanya agar tidak sampai terjatuh. Seperti biasa, meskipun Ana tidak berusaha seperti dirinya, tetapi orang-orang selalu lebih menyukainya. Tanpa usaha seperti dirinya, Beni jadi miliknya. Dia sangat membenci gadis itu. Sangat. "Akhirnya gue bisa dekat dengan Ana." Sinta hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Beni. Laki-laki itu sungguh berlebihan. Hanya karena diterima cintanya oleh Ana, dia terlihat sebahagia itu. Padahal yang menemaninya di saat laki-laki itu sedang terpuruk-terpuruknya adalah dirinya. Semenjak saat itu, Beni sudah jarang bersamanya seperti dulu. Laki-laki itu sudah dimonopoli oleh Ana. "Sayang ... kamu melamun?" Seolah tersadar apa yang baru saja Sinta lakukan, ia buru-buru memeluk kekasihnya. Jangan sekarang, ia masih begitu membutuhkan Keenan. "Kamu suka Beni? Beni yang satu divisi sama aku?" tanya Keenan. Jika yang dimaksud oleh Ana tadi adalah Beni pacar wanita itu, maka jelas itu Beni temannya. "Ngapain aku suka sama Beni, kenal juga enggak. Yuk pulang yuk." Sinta lalu menatap Keenan lamat-lamat. Meyakini dirinya bahwa laki-laki di hadapannya ini lebih dari segalanya di banding Beni. Mungkin Keenan memang tidak sekaya Beni, tapi sementara ini biar saja. Hitung-hitung sebagai batu lompatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih lagi. Keenan masih bermanfaat, buktinya Ana tadi terlihat kaget melihat kekasihnya ini. Mungkin wanita itu sadar, jika dia bisa juga dikalahkan oleh dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD