2.

1698 Words
[Rabu, 08 Oktober,  pukul 19.30 WIB. Tempat kecelakaan, dekat Jl.Surabaya]   "Cepat panggil satu ambulance lagi..." "Tidak bisa..." "Apa-apaan kau. Wanita itu duluan..." "Argh. Cepat menyingkir..." "Hei tuan ... jangan halangi jalan..." "Halo? ..." "Dimana dereknya? Hei..." Suara sirine dan percakapan beberapa orang yang lalu-lalang, menjadi soundtrack kebisuannya. Alina terduduk diam menatap lurus ke arah mobil, tempat Nia terbujur kaku bersimbah darah, tanpa memedulikan kebisingan yang memekakan pendengaran. Beberapa menit lalu ketika ia diturunkan dari mobil, sampai didudukkan di tanah gersang dekat bangunan tak terpakai, Alina masih betah menatap ke satu arah itu. Alcina sudah dibawa entah ke mana tadi. Alina bahkan tidak peduli pada raungan dan rengekan adiknya yang berteriak ingin bersamanya. "Hai, Sayang. Apa ada yang sakit?" seorang Wanita berseragam putih mendekati Alina dan memeriksa tubuhnya, mengangkat tangan mungil Alina lalu meraba kaki, kening, d**a, bahkan kepalanya. Wanita yang diperkirakan berusia awal tiga puluh itu mengernyit, kemudian mengelus pelan pucuk kepala Alina. Setelah mengamati gadis kecil yang syok tersebut cukup lama, ia mengeluarkan ponsel dari kantong jas putihnya dan membuat panggilan. Ia berbicara masih sambil menatap iba Alina. "Ada seorang anak yang trauma di sini. Panggilkan psikiater." Alina mendengar, tapi mengabaikan. Ia berdiri, lalu mengikuti orang-orang yang membawa tubuh Nia. Suster tadi mencoba menahannya, tapi gagal. Seperti mendapat kekuatan, Alina berhasil lepas dari pelukan si suster. Ia kembali berlari mengejar ambulance yang membawa Nia. Alina tidak berteriak, tidak bicara, tidak pula menangis, hanya berlari. Alina berlari ke tengah jalan meski mobil masih berlalu-lalang, sebagian ada juga yang berhenti sejenak untuk melihat kerumunan polisi yang mengevakuasi truk dan mobil sport hitam. Ia mengabaikan klakson dan teriakan orang dari dalam mobil, yang hampir menabraknya. Hingga tangan besar seorang pria menarik dan membawanya dengan satu tangan ke samping, seolah tengah menjinjing beras sepuluh kg. Pria itu tidak menghiraukan pukulan tangan mungil Alina pada perutnya, dan entakan kaki kecil Alina yang seperti menendang udara. Setelah tiba di pinggir jalan, pria badan besar berseragam cokelat tersebut menurunkan Alina, dan mencengkeram kuat kedua bahu si gadis kecil yang malang. "Apa kau sudah gila, hah?! Berlari di tengah jalan. Kau bisa ditabrak mobil. Kau ingin mati?" Suster yang tadi menanyai Alina segera berlari mendekat, kemudian memukul kepala belakang pak polisi saat ia mendengar u*****n kasar barusan. "Apa? Kenapa memukulku?" tanya pak polisi dengan kening yang berkerut. "Bukan seperti itu cara bicara dengan anak kecil. Kau pasti polisi baru. Pergilah! Aku akan mengurusnya." Suster memerintah, dan pak polisi menyingkir meski masih sambil menggaruk tengkuknya. Suster memegang pergelangan tangan Alina dengan erat, kemudian berjongkok. "Kalau ingin melihat ibumu, ikutlah denganku," ujar Suster, yang direspon antusias oleh Alina. Alina mengangguk, kemudian mengulurkan kedua tangannya dengan manja. Suster mengerti, ia membawa Alina dalam gendongannya dan mereka menaiki ambulance yang baru tiba. *** [Rumah Sakit Surabaya. Pukul 20.00 WIB]   Suster berbohong kepada Alina. Kenyataannya, ia dibawa ke suatu ruangan dan ada dua wanita yang tersenyum ramah kepadanya. Tanpa ibunya.  Alina mengalihkan pandangan, menggigit bibir bawahnya kuat dan mengepalkan tangan di atas meja. Ia menatap marah pada tembok di sisi kirinya. Saat seseorang berdeham, Alina kembali menatap dua wanita yang masing-masing berseragam cokelat dan putih di depannya, hanya sekilas. "Maafkan kami. Tapi kami rasa hanya kamu yang bisa memberi keterangan." Wanita berpakaian cokelat bicara, mengulurkan tangan di atas meja, hendak meraih jemari Alina. Dengan sigap, Alina meletakkan kedua tangannya ke bawah meja. Si polwan mendesah pasrah. "Saudara kembarmu terus meronta dan beberapa menit yang lalu ia tertidur karena kelelahan. Ayahmu masih belum sadar walau lukanya tidak terlalu parah. Jadi, sementara ini, hanya kamu yang bisa memberitahu kami." Si polwan menatap penuh harap, tapi Alina hanya melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangan. Alina lebih suka menatap dinding kosong berwarna putih itu daripada wajah dua wanita cantik di depannya. Ia mendengus kesal. "Saya boleh tahu nama kamu, gadis cantik?" tanya si polwan lagi. Ia berusaha membujuk atau sekadar mendapat fakta baru untuk laporannya nanti. Brak. Alina menggebrak meja dan menatap tajam dua wanita di depannya. Dua wanita itu terkejut, mungkin tidak menduga akan mendapat tatapan seperti itu dari seorang anak usia lima tahun. Tatapan tajam seolah mengatakan 'kau membuatku muak'. Si polwan masih coba tersenyum ramah. Ia sedikit menggeser papan—dengan selembar kertas berisi data-data yang terjepit di atasnya—ke sudut meja. Entah apa isinya, Alina hanya menatap sekilas. "Baiklah. Kami akan mengantarmu ke saudara kembarmu saja. Mari." Si suster mengulurkan tangan, bermaksud menggandeng Alina, tapi ditolak. Alina hanya mengikuti dengan patuh di belakang si suster. "Kamu mau suster belikan cokelat? Suster punya banyak permen dan cokelat di ruangan." Perkataan si suster tidak dipedulikan oleh Alina. Gadis kecil itu masih saja diam dan berwajah datar. Suster menghela napas, berjalan lebih lambat. "Apa kau takut karena melihat banyak darah?" Alina berdiam sebentar, kemudian menatap Suster sambil menyeringai. Jika bisa bicara, ia akan mengatakan, "Tidak. Aku lebih takut dengan diriku sendiri." *** [10 menit kemudian ]   Alcina tersadar dari tidurnya dan mendapati diri sedang di ranjang rumah sakit bersama Alina. "Kakak... Cina takut." Alcina memegang tangan Alina dengan ekspresi ingin menangis. "Tadi meleka beltanya nama Cina, tapi kata Mama kan tidak boleh bicala cama olang acing, jadi Cina diem aja dan teluc minta ketemu cama Kakak. Cina anak baik, kan, Kak?" Alina mengangguk sambil tersenyum. Ia bangkit dari posisi tidur, membantu sang adik duduk, lalu memeluknya dengan sayang. Ia mengelus kepala Alcina dalam diam. "Mama di mana, Kak? Papa juga tidak kelihatan. Cina mau pulang, Kak. Tidak enak tidul di cini." Alcina kecil yang polos itu tidak mengerti apa pun, dan tampaknya Alina tidak ingin repot-repot menjelaskan. Ia mengelus pelan lutut Alcina yang diperban, kemudian mengambil kertas dan pulpen yang tadi—ia curi dari si suster—dari balik gaun birunya yang kotor. Alina menulis kalimat yang aneh. Lebih anehnya lagi, Alcina tersenyum dan mengangguk mantap. Kemudian mereka beranjak dari kasur. Alina mengawasi sekitarnya terlebih dahulu sebelum benar-benar keluar ruangan. Ia berjinjit untuk melihat keadaan luar dari balik kaca pintu dan sayup-sayup mendengar pembicaraan dua pria berseragam cokelat. "Aku rasa, perampokan. Di lokasi tidak ditemukan dompet dan barang berharga. Anehnya, truk itu seolah sengaja membuatnya terlihat seperti kecelakaan. Bagaimana menurutmu?" tanya pak polisi yang lebih tinggi pada rekannya dan seorang dokter, sambil menatap keduanya bergantian. Alina ingin menunggu jawaban mereka, tapi ia pikir itu akan terlalu lama. Jadi, ia langsung mengangguk pada Alcina di sebelahnya dan mereka membuka pintu. Seorang wanita berseragam putih dengan stetoskop di leher langsung menyambut mereka. "Kalian mau kemana, Sayang?" Alcina melirik Alina di sebelahnya sebelum menjawab pertanyaan si dokter yang kini telah berjongkok di hadapan kedua gadis kecil itu. "Kami mau lihat Papa. Kalau boleh, aku ingin menelepon." Si dokter sumringah, ia berdiri kemudian memberi kode berupa kepalan tangan pada dua polisi di sebelahnya. Alina melihat itu. Mungkin maksud kodenya adalah 'perhatikan'. Entahlah, Alina belum mempelajari bagian itu. "Ini, Sayang," ujar si dokter saat menyerahkan ponselnya. Dua polisi bersiap dengan note dan pulpen mereka. Menunggu Alcina bicara dengan seseorang di seberang telepon. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya gadis celat itu bicara. "Halo, ini C yang bicala... Di, aku di lumah cakit cama kakak. Kalau ke cini, belikan ec klim cokelat, ya? ... iya, banyak... Papa tidak tahu, tapi kakak minta dibelikan mawal cepuluh tangkai... Kata Kakak, Mama tidul... Iya, cepat ya, Di... Oh, kata Kakak, bulung di depan jangan lupa dikacih makan, nanti bica mati, banyak anak-anak yang kemalin jahatin bulungnya... Tidak dikulung, cuma satu bulung melpati yang bulunya walna putih, dia celalu telbang ke dekat kakak kalau dikacih makan... Iya, yang itu... Oke, Di." Alcina mengakhiri panggilan. Semua mata orang dewasa menatap heran pada percakapan barusan. Selain kurang mengerti dengan perkataan celat Alcina, mereka juga sedikit bingung dengan setiap kalimat 'kata kakak' dari mulutnya. Kalau memang si kakak ingin bicara, kenapa bukan dia saja yang menghubungi orang itu? Percakapan mereka juga sedikit aneh. Bukankah harusnya yang ditanya keadaan mereka? Kenapa ini malah bahas burung merpati, mawar sepuluh tangkai pula? Memangnya untuk apa mawar itu? Bodohnya lagi, mereka lupa merekam percakapan Alcina. Si dokter sepertinya menyadari sesuatu karena ia langsung mengamati ponselnya. Sial baginya, nomor yang dihubungi tadi sudah tidak aktif lagi. Alina menyeringai kecil melihat ketiga orang dewasa di depannya tampak kebingungan. Dengan tak mau membuang waktu, ia menyenggol lengan sang adik. Alcina mengangguk paham. "Doktel, kami mau melihat Papa," ujarnya pada si dokter. Dokter mengangguk, kemudian berjalan lebih dulu, untuk menunjukkan arah pada keduanya. "Anak yang barusan bicara itu aneh," kata polisi yang lebih tinggi, sambil menatap dua anak perempuan yang bergandengan tangan di depan mereka. "Yah kau benar, tapi yang diam dan hanya menatap itu jauh lebih aneh. Terkesan seram. Kau lihat cara dia tersenyum meremehkan-nya tadi?" tanya si polisi lebih pendek. "Tidak. Aku hanya memerhatikan si celat itu. Apa kau mengerti maksud perkataannya?" "Tentu saja. Itu hanya permintaan seroang anak kecil yang lapar. Dia ingin es krim cokelat. Meski suster sudah menawarkannya tadi, tapi dia tetap menolak. Sepertinya orangtua mereka sudah mengajari dengan baik untuk tidak menerima makanan dari orang asing." Polisi yang mendengar perkataan temannya barusan langsung berdecak kesal. "Terus kenapa dia minta orang di seberang sana membawa mawar dan kasih makan burung? Nomor orang di seberang sana juga tiba-tiba tidak aktif." Polisi pendek menggaruk kepalanya. "Apa itu nama kamar tempat ayah mereka? Mungkin saja mereka berencana membawa kabur ayah mereka dengan bantuan dari seseorang di seberang telepon tadi." "Hei kapten, itu tidak mungkin. Untuk apa mereka kabur? Kecuali mereka WNA ilegal. Tapi anak sekecil itu mana mungkin bisa berpikir sampai sejauh itu. Dia saja mungkin tidak mengerti istilah WNA." "Itu mungkin saja, kan? Lihat kedua bola mata mereka yang berwarna biru, artinya keturunan orang luar negeri. Kalau itu benar-benar sebuah kode untuk meminta bantuan agar kabur, sungguh mereka bukan anak biasa." "Aku penasaran bagaimana kedua orangtuanya mendidik mereka. Yah, sekarang yang terpenting, kita harus mengawasi kamar rawat ayah mereka. Seseorang pasti akan datang ke sana, terlepas untuk membawanya kabur atau sekadar menjenguk." Si polisi lantas memukul perut depan rekannya dan menyusul kedua kakak-beradik itu. *** [Setengah jam kemudian]   "Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka? Mereka hanya dua anak kecil, tidak mungkin bisa membawa mayat wanita dan pria terluka itu." "Maaf, Pak. Kami kehilangan fokus karena banyak korban berdatangan dari Paiton." Alina yang dalam gendongan seorang pria, tersenyum saat mendengar pria perut buncit memarahi dua polisi di koridor. Ia sedang menuju lobi menuju ke luar rumah sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD