18. TEGURAN RESTI

2070 Words
Mendesah ringan sambil memandangi dirinya dipantulan cermin yang tertera di toilet, akhirnya Weeby memilih beranjak dari tempat itu setelah tiga obat sudah ditelan dalam satu waktu. Tidak mungkiri, semua obat itu harus sudah habis dalam tiga hari sesuai perintah sang ayah. Weeby tercekat, langkah kakinya mendadak terhenti begitu saja saat berada diambang pintu. Sorot matanya memandangi Resti yang akan memasuki toilet. Weeby masih diam, menatap Resti begitu dalam hingga senyum tipis Resti tiba-tiba terbit. Mau tak mau Weeby membalasnya dengan senyuman kikuk, sedetik setelah itu Weeby memilih langsung menghindar, menjauh dari hadapan Resti. Resti kemudian melangkah masuk ke dalam bilik toilet, mengecek semua tempat dan memastikan tidak ada orang lain selain dirinya. Setelah dirasa aman, Resti segera masuk. Tiba-tiba Weeby terkejut, matanya sudah membola, tidak lama setelahnya ia dapat menetralisir deru napasnya. Weeby memejamkan matanya sekejap sembari mengelus dadanya dengan lega. "Ngagetin aja sih lo kerjaannya," omel Weeby, menatap sarkas ke arah Netta, lalu tangannya menepuk pundak temannya itu dengan keras. "Lo aneh banget, abis lihat setan apa dikejar maling lo?" "Hush, jangan kenceng-kenceng kalo ngomong." Weeby membulatkan matanya, jari telunjuknya ia tempelkan dibibir Netta, Weeby tidak akan membuat Netta angkat bicara lagi. Netta segera menyingkirkan jari Weeby, lalu ia berucap, "emang kenapa?" "Ayo ikut gue ke taman, di sana pasti sepi," ajak Weeby, lalu ia mulai berjalan, meninggalkan Netta yang masih bengong terheran-heran. Netta lantas mengerutkan dahinya dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak merasa gatal. Langkah kaki Netta menyeretnya untuk mengikuti Weeby, tak butuh waktu lama baginya untuk mengimbangi langkah kaki cewek itu. Weeby tampak sangat fokus, memperhatikan jalanan di depannya. Sebenarnya apa yang akan Weeby lakukan? Netta masih merasa aneh, entahlah ia pasti akan tahu tidak butuh waktu lama lagi. Butuh waktu lima belas menit bagi Weeby untuk menceritakan dari A sampai Z tentang Resti yang berpacaran dengan Marcell, tentang Resti yang sudah hamil karena perbuatan Gama, sang mantan pacarnya. Sejenak, Netta berpikir, larut dalam lamunannya, mencerna setiap inci apa yang dikatakan oleh Weeby. Pada saat detik ke sepuluh, barulah Netta menoleh, menyoroti wajah Weeby dengan raut wajah yang diselimuti banyak pertanyaan. "Jadi kalo sekarang Marcell pacaran sama Resti, bisa jadi tuh cowok nanti dituduh sudah bikin Resti hamil?" kata Netta sembari berpikir sejenak, dan tidak ada yang salah dalam ucapannya barusan. "Nah itu yang gue takutin Nett, Marcell bisa aja disuruh tanggung jawab atas kehamilan Resti, secara kan bukan dia pelakunya." "Kalo gitu lo harus menyusun rencana supaya Marcell putus sama Resti, kan cuma lo yang tau kalo Resti lagi hamil." "Iya, gue bakalan ngomong sama tuh cowok," sahut Weeby, terdengar penuh semangat. "Kayaknya lo kok semangat gitu sih By, lo naksir sama Marcell?" Kedua alis Netta terangkat ke atas, sorot matanya menyipit, curiga dengan gelagat Weeby. "Nggak, gue cuma kasihan aja sama dia," balas Weeby singkat. Tetapi penuh dengan penekanan. "Serah lo aja deh, masih sering berantem sama Marcell nggak?" "Selalu malah," ketus Weeby. Netta hanya nyengir tanpa dosa, lalu ia berucap lagi, "lagian kalo lo sering kena keusilan tuh cowok, ngapain juga lo mau nolongin dia dari jeratan Resti? Apa coba kalo nggak suka? Asal lo tahu, orang yang suka sama orang lain, pasti orang itu nggak rela kalo orang yang disayang dalam keadaan bahaya, sekalipun hal sekecil apapun. Ya, kayak lo ini misalnya," kata Netta, terdengar sangat serius, mendadak ia berubah menjadi Netta teguh. Netta bukan bermaksud untuk sekadar menggurui Weeby, sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan hal itu. Hanya saja, melihat tingkah dan perkataan Weeby yang selalu menyangkut dengan Marcell, membuat Netta yakin bahwa sahabatnya ini sedang suka dengan Marcell. "Terserah lo aja deh Nett, gue pusing dengernya tau," omel Weeby sembari memutar malas kedua bola matanya. "By gue mau tanya sama lo boleh?" Setelah hening terjadi selama lima detik, Netta membuyar keheningan, menatap Weeby dengan pertanyaan yang ia suguhkan. "Nggak usah ijin kalo mau tanya, tinggal ngomong aja." Netta mengangguk antusias, kemudian ia mulai bertanya. "Lo nggak suka kalo Marcell gangguin lo?" "Iyalah, masih tanya juga lo?" "Lo nggak rela kalo Marcell pacaran sama resti?" "Iya." "Apa lo bakal emosi kalo Marcell selalu ngerecoki lo?" "Betul!" Weeby semakin malas mendengar pertanyaan Netta yang semuanya menyangkut dengan Marcell. Apalagi yang ditanyakan sama sekali tidak penting. Hal itu sungguh merenggut emosi Weeby untuk keluar. "Lo nggak suka kehadiran Resti di kelas kita?" "Iya Netta, lo tanya yang penting dikit bisa, kan?" "Berati lo sayang sama Marcell?" "Iya, udah gue bilang kal—" Ucapan Weeby spontan tertahan diujung lidah, ia kemudian mengembangkan kedua pipinya hingga kini terlihat bak ikan buntal. Bola matanya kini terbelalak. "Ih Netta, lo mancing gue, ya?" kata Weeby, emosinya sudah mencuat. "Cie, yang sayang sama musuh sendiri," sindir Netta, sesekali tertawa nyaring, menatap Weeby dengan tawa yang masih menyelimuti. "Gue nggak suka, lo nyebelin banget sih, jadi mirip Marcell tau nggak? Apa jangan-jangan lo saudaraan lagi sama tuh cowok?" "Eh, kalo ngomong pake bismillah dulu ya, lo. Sembarangan aja kalo ngomong." "Habisnya lo ngeselin sih, siapa tau lo mau nyalon jadi adiknya Marcell," celetuk Weeby asal hingga bola mata Netta tampak bergulir dengan malas. "Terserah lo aja deh By, gue nggak mau ngeladenin lo lagi, bisa-bisa gue stress kalo kayak gini caranya," kata Netta sembari mengusap kepalanya frustrasi. "Stres tinggal ke rumah sakit apa susahnya? Lo jangan khawatir Nett, rumah sakit banyak kok di sini. Dan baiknya lagi, lo bisa milih sesuka hati lo. Kalo lo mau, gue bisa anterin kapan aja kok. Dan gue bakal pilihin rumah sakit terbaik buat lo." Weeby nyengir kuda setelah kata-kata menyebalkan itu keluar dari bibir tipisnya, Weeby kemudian menunjukkan deretan gigi putihnya yang berjejer dengan indah. "Ye! Omongan lo bikin gue sakit hati aja, disaring dulu kek sebelum ngomong. Pedes banget sumpah." "Pedes tinggal minum air putih apa susahnya Nett? kalo lo mau yang lebih seger, es s**u juga bisa. Dan lo bisa milih sesuai selera, gampang sekali, kan?" "Weeby! gue tabok b****g lo, ya?!" Netta sudah melayangkan tangan kanannya di udara, kesal bukan main pada Weeby. Napasnya sudah keluar tergesa-gesa. "Tabok tinggal tabok, gue masih kebal. Lagian nggak mungkin juga lo mau ngelakuin itu ke gue, yang ada lo malah takut kali." Akhirnya tawa Weeby pecah, melihat Netta yang sudah menahan amarahnya membuat dirinya senang bukan main. Senang jika membuat emosi seseorang kian memuncak dan memburu. Weeby sadar, hal ini sangat menyenangkan untuk dilakukan. Mungkinkah Marcell merasakan hal yang sama seperti Weeby saat cowok itu merecoki dirinya melulu? Tiba-tiba saja Marcell datang dan langsung duduk di kursi yang berada di depan bangku Weeby. "By!" Masih teguh pada pendiriannya supaya tidak melirik Marcell yang sekarang duduk di hadapannya, Weeby memilih fokus pada layar ponselnya. Weeby sudah tahu tipikal orang macam Marcell ini, datang kalau mau mengganggu saja. Sebab itulah Weeby pura-pura tidak menghiraukan kedatangan cowok itu. "Weeby, lo lagi ngapain sih?" Marcell kesal karena diabaikan oleh Weeby, ia memutar malas kedua bola matanya, lalu merebut ponsel Weeby dengan sarkas, merasa terlalu kepo karena Weeby masih asik berkutat dengan benda mati itu saat dirinya memanggil namanya. Seketika Weeby langsung mendongak, menatap Marcell penuh intimidasi, lalu rahang kecilnya sudah mengeras, dan dilanjutkan menyerobot ponsel miliknya kembali. "Apa sih lo, sana minggat dari sini, gangguin gue aja kerjaannya!" Setelah ponsel miliknya sudah berada digenggaman tangannya lagi, Weeby masih saja menatap sarkas ke arah Marcell. "Serah gue lah, ini kelas juga bukan punya lo kali, lagian si Boki juga nggak pa-pa kalo gue duduk di sini ." Marcell langsung menjulurkan lidahnya tepat didepan wajah Weeby, sementara Weeby hanya mencebikkan bibirnya kesal. Memang sekarang cowok s****n itu tengah duduk di bangku Boki -nama aslinya muflikhah tetapi kerap kali di sapa dengan Boki, singkatan dari botak klimis. "Gue nggak mau, sana lo pergi, gue gampar juga nih," kata Weeby dengan pelototan matanya yang tajam. Tak mempan, ia seketika mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara, bersiap melayangkan pukulan pada Marcell. "Ah udah biasa kalo disambar pakek cara itu, pakek cara yang anti-mainstream bisa, kan?" "Maksud lo?" Kening Weeby tampak bergelombang, selalu saja seperti itu. Perkataan ambigu yang keluar dari bibir Marcell membuat Weeby harus berpikir kritis, menguras otaknya untuk mencerna dan meneliti ucapan cowok itu. Marcell kembali memutar kedua bola matanya dengan malas. Namun, ia tetap ingin membuat emosi Weeby kembali memanas, tidak mungkiri, Marcell gemas melakukan hal seperti itu. "Disambar pake bibir elo misalnya, kan enak tuh?" Marcell langsung nyengir kuda, deretan giginya yang rapi turut ia perlihatkan. Pipi Weeby semakin memanas, semburat merah spontan muncul dari sana. "MARCELL, LO PERGI DARI HADAPAN GUE SEKARANG JUGA!" Napas Weeby sekarang terengah-engah, lubang hidungnya sudah kembang-kempis. Kilatan api kemarahan sudah meluncur begitu meledak. Merasa tertantang, Marcell tidak peduli, masih setia duduk di bangku Boki. Lebih-lebih lagi membuat emosi Weeby naik pitam, cowok ngeselin itu dengan santainya tersenyum pada Weeby sembari bertopang dagu. "Dasar jomlo, makanya nggak laku, orang kerjaannya marah-marah mulu gitu," kata Marcell secara terang-terangan. "Iya, gue tau lo udah punya pacar, jadi tujuan lo datang ke sini mau pamer ke gue, gitu? Gue udah tau duluan," balas Weeby, masih menghujam Marcell dengan mata elangnya. "Bagus kalo lo udah tau, sekarang gue mau tanya, sampai kapan lo betah jomlo terus-terusan?" Marcell berkata sambil memperlihatkan muka sintingnya, siapa saja yang melihat pasti ingin memakannya hidup-hidup. "Lo ngeledek Weeby, otomatis juga lo ngatain gue!" Uti tiba-tiba nyalip, menatap penuh emosi ke arah Marcell. Weeby dan Marcell yang mendengar itu, langsung menoleh ke sumber suara, menatap Uti dengan datar. Bukan alasan Uti menyambar dan menyela pembicaraan tidak penting dari Marcell dan Weeby, ia hanya terusik, ingin membela Weeby. Uti sudah geram, Marcell sudah kelewatan sekali. "Lo orang luar nggak usah ikut campur, cukup diam aja di situ kalo mau nonton. Ini juga urusan gue sama Weeby, jadi lo nggak usah ikut-ikutan, oke?" Marcell menaikkan satu alisnya. Uti sama sekali tidak menurut, matanya masih jelalatan menghunus begitu tajamnya. "Ti, mendingan lo diam aja, ya? Gue bisa urusin manusia nggak guna ini sendiri, lo tenang aja." Weeby meyakinkan Uti sembari menganggukkan kepalanya, berkata dengan sangat mantap. Terpaksa juga Uti hanya bisa mendesah ringan, ikut mengangguk dengan lemas, tapi tak lama kemudian ia langsung tersenyum begitu lebar. "Dengerin tuh kata sih jomlo, sekarang udah paham, kan?" "Diam lo!" kata Weeby dengan sarkastik, wajah cantiknya kini kembali menatap wajah songong di hadapannya ini. "Mulut juga mulut gue, nggak ada berhak buat lo ngatur, Tuhan udah nyiptain mulut masing-masing." Udah songong, belagu, banyak omong, kayak cewek cerewet yang minta diplester mulutnya. Geram? sudah pasti. Weeby selalu saja frustrasi ketika menghadapi betapa ngeselinnya sikap Marcell. Cobaan macam apa yang Tuhan berikan kali ini, kenapa bisa cowok nggak ketulung macam Marcell ini masuk ke dalam orbit kehidupannya? Rasa-rasanya Weeby ingin mati saja daripada meladeni betapa buruknya tingkah Marcell. "Gue hitung sampe tiga detik lo nggak minggat juga, gue bak—" "Nggak takut!" Marcell langsung memotong ucapan Weeby yang belum tuntas, mengepalkan tangannya kuat-kuat, Weeby segera mendesah dengan berat. Marcell sungguh selalu merenggut emosinya. Entah apa yang ada didalam pikiran cowok satu ini kenapa bisa ngeselin kayak gitu. "Gue belum selesai ngomong, lo main serobot aja, ya?" Mata Weeby sudah melotot, sedetik kemudian tangannya terangkat dan melayangkan sampai mendarat dengan sempurna ditelinga Marcell. Tak mau menunda lagi, Weeby segera menjewer telinga Marcell dengan gemas, kali ini ia tidak main-main. Telinga Marcell, Weeby remas dengan kuat. Senyum miring Weeby refleks terbentuk dengan sempurna lantaran Marcell yang mengaduh kesakitan, Weeby sampai tak percaya ketika indera pendengarannya mendengar Marcell yang berbicara minta maaf. Disela jeweran maut yang Weeby lontarkan, disitulah Marcell berusaha melepaskan tangan Weeby. Namun nahas, tangan Weeby kali ini lebih kuat bak orang yang lagi kesetanan. "Lepasin pacar gue!" Weeby seketika mendongak, mengendurkan tangannya dari telinga Marcell yang sudah berubah warna menjadi merah, lalu ekor matanya menatap Resti yang tengah berjalan begitu cepat menghampiri dirinya. Raut wajahnya datar, namun aura kemarahan jelas sekali terlihat. "Suruh siapa lo ngelakuin itu sama pacar gue?!" kata Resti begitu penuh emosi, menatap Weeby dengan sarkas, sampai-sampai kedipan matanya sama sekali tidak keluar. Mencoba memberanikan diri, akhirnya Weeby berucap, walaupun kini ia sudah menelan ludahnya yang terasa sangat getir. Tak bisa dielakkan lagi, ia takut dengan kemarahan Resti. "Karena cowok lo suka gangguin gue mulu, bilangin tuh," balas Weeby, sama sekali tidak mau dituduh begitu saja sama Resti, ini bukan kesalahan dirinya, melainkan Marcell yang terlebih dahulu menyerangnya dengan membabi buta. Menyerang dalam artian merecoki dirinya terus menerus. "Lo nyalain Marcell? Bukannya lo yang minta diperhatiin sama cowok gue? Lo pikir gue nggak tau? Orang seperti lo ini patutnya dimusnahkan saja, gangguin pacar orang terus aja." Tenggorakan Weeby langsung tersekat mendengar perkataan pedas dari Resti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD