13. PUTUS

2146 Words
Marcell terus mengeluarkan sejuta candaan receh, tapi hal itu membuat Resti semakin merasa senang. Sumpah, ini tidak seperti bayangan cowok itu, ia pikir Resti merupakan cewek menyebalkan yang hanya bisa menindas adik kelas, tapi tidak setelah ia berinteraksi lebih lanjut dengan cewek itu. Resti berbeda, dan Marcell merasa nyaman. Tidak heran jika sedari tadi dua sejoli yang baru saling mengenal itu menjadi pusat perhatian di kelas. Termasuk Weeby sekalipun. Mendadak, Weeby memutar bola matanya dengan malas ketika ekor matanya menangkap keakraban Marcell dan Resti. Weeby sedikit sebal melihat hal itu. Terlebih lagi ketika Marcell menggoda Resti. "Apa-apaan sih mereka, illfeel banget gue lihatnya," gerutu Weeby dengan mulut yang dimayunkan ke depan. "Kenapa lo By? Kesel amat kayaknya," cibir Uti, cewek bertubuh bengkak yang duduk disamping Weeby. "Gimana nggak sebel coba? Mereka berdua bikin telinga gue b***k tau," omel Weeby yang masih melirik Marcell dan Resti yang asik becanda ria. "Jangan-jangan lo iri lagi sama si Resti," curiga Uti dengan mata yang disipitkan. "Iri apanya? Gue malah bersyukur pindah di sini, nggak deket-deket sama manusia ngeselin kayak Marcell itu," maki Weeby dengan nada suara yang terkesan sinis. Bola matanya ia alihkan ke arah Uti. "Yang bener lo By?" "Lah emangnya kenapa?" Weeby membalikan pertanyaan. Uti tampak mencebikkan bibirnya kesal, "gue kan buntal, yakin lo bakal betah duduk sama gue?" terangnya lugas. Weeby menanggapi dengan ber-oh ria. Lalu ia menjawab, "santai aja, gue bakal nyaman kok duduk sama lo Ti." Kini yang ada dipikiran Weeby hanya Marcell. Entah kenapa semenjak Resti duduk disamping Marcell, perasaan Weeby menjadi tidak tenang dan dongkol. Sekali lagi Weeby melirik ke arah bangku Marcell, ia sungguh ingin tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan. Tiba-tiba saja Weeby tercekat, membulatkan matanya dengan sangat lebar saat kontak mata terjalin dengan Marcell. Tanpa ragu, buru-buru Weeby membuang muka sembari memejamkan matanya rapat-rapat, ia sungguh menahan malu. Mengulum senyum miring, Marcell lantas bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah bangku yang sekarang Weeby duduki. Dengan susah payah, Weeby mencoba menelan ludahnya. Saat Marcell berjalan mendekat ke arahnya membuat Weeby kikuk. "Hai By!" sapa Marcell dengan lembut, ia melambaikan tangannya tepat didepan wajah Weeby. "Mau apa?" Weeby mendongakkan wajahnya, menatap wajah Marcell dengan air muka sinis. "Ya elah By, rupanya masih aja galak sama gue, tapi apa jangan-jangan lo naksir sama gue lagi, waduh By, jangan gitu dong." pekik Marcell, lalu tangannya bergerak dan menepuk jidat dengan telapak tangannya. Weeby kemudian langsung tercekat, membentuk bola matanya menyerupai bola. "Naksir? Mata gue berarti lagi error kalo sampai naksir sama cowok nyebelin kayak lo!" balas Weeby sarkastik sampai-sampai membuat Marcell semakin tersenyum lebar, ia paling senang membuat Weeby emosi seperti itu. "Terus? Kenapa dari tadi lo lihatin gue mulu? Lo mau duduk sama gue lagi?" curiga Marcell, ia mengangkat alisnya dan menyipitkan matanya. "Siapa? Nggak tuh," jawab Weeby cepat, ia segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Pipinya sudah merona menahan malu. "Yakin lo nggak mau duduk sama orang ganteng kayak gue?" Marcell masih menyelidiki, ia tiba-tiba memajukan wajahnya hingga kini tepat didepan wajah Weeby. "Nggak akan dan jangan harap!" Weeby berkata dengan tegas, tangan kecilnya mendorong wajah Marcell agar segera menjauh dari depan wajahnya. Hal itu sungguh merenggut jantung Weeby untuk bergoyang. "Oh ya udah, udah ada Resti juga tuh, makasih ya By, berkat lo pindah ke sini. Gue bisa sering becanda sama Resti. Kalo gitu gue balik ke bangku gue dulu, ya?" Marcell tersenyum dengan lebar, sementara Weeby memutar malas kedua bola matanya, ia sungguh risi dengan segala gelagat Marcell itu. Marcell kembali duduk di bangkunya, lalu ia memandangi Resti yang asik bergelut dengan ponselnya. Entah sedang bermain apa sampai cewek itu tidak fokus akan panggilan Marcell yang sudah terlontar sebanyak tiga kali. "Resti," panggil Marcell lagi, kali ini diiringi dengan tepukan pelan di bahu cewek cantik itu. Spontan Resti langsung menoleh ke arah Marcell, "iya, kenapa?" tanyanya. "Lo dari tadi gue panggil nggak nyaut-nyaut, ada apa sih?" Marcell mendadak kepo, ia mencondongkan wajahnya untuk melihat ponsel Resti. Namun, buru-buru Resti mematikan layar yang masih menyala, ia tidak membiarkan Marcell melihat. "Kenapa ditutup? Gue nggak boleh lihat, ya?" Marcell kemudian mengerucutkan bibirnya ke depan, ia pura-pura merajuk. "Ini privasi, jadi lo nggak boleh lihat, paham, kan?" Resti meletakkan ponsel miliknya di atas meja. "Iya iya," jawab Marcell lesu, sama sekali tidak niat untuk bicara. "Cih, marah nih ceritanya sama gue," ucap Resti sembari terkekeh pelan, ia mencubit pipi Marcell dengan gemas. "Nggak tuh," balas Marcell singkat, ia kemudian melipat kedua tangannya didepan d**a sembari memutar tubuhnya membelakangi Resti. "Ih lo lucu banget kalo lagi marah gitu, gemes gue lihatnya tau." Resti kembali terkekeh ringan, ia meninju lengan Marcell dengan tangan mungilnya. Tidak lama berselang, Marcell kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Resti, kemudian ia tersenyum miring. Resti tercekat, ia membentuk bola matanya lebar-lebar, hingga terlihat seperti hampir keluar dari tempatnya. "Gimana, apa gue masih lucu?" tanya Marcell menaikturunkan alis tebalnya. "Ih, nggak. Sekarang lo jadi nyebelin." Resti mendengkus kesal, tingkah Marcell saat mengacak rambutnya dengan cepat membuat Resti mendadak merajuk. Bagaimana tidak? Sekarang rambut lurusnya terlihat semrawut dan acak-acakan tak tentu arah. Siapa yang tidak kesal jika diperlakukan seperti itu. "Gue emang nyebelin dari lahir," celetuk Marcell asal, ia memandangi raut wajah Resti yang masih menampilkan mimik cemberut. "Sana lo boleh pindah kalo nggak mau jadi korban keusilan gue," usir Marcell. "Nggak mau, gue betah duduk di sini, apalagi disamping elo," jawab Resti meyakinkan. "Ah masa, ini kan baru hari pertama, lo akan merasakan bagaimana sensasinya duduk disamping gue." Marcell mengangkat sudut bibirnya ke atas, hingga menyiptakan senyuman miring. "Walaupun lo nyebelin, tapi gue suka kok," ucap Resti, ia tersenyum simpul, jari lentiknya menyingkirkan anak rambutnya ke belakang daun telinga. "Ya terserah lo aja sih, gue cuma mengingatkan. Entar kaya cewek yang duduk di sebelah gue sebelumnya lagi, kerjaannya marah-marah mulu." Marcell mempertegas ucapannya, tentu saja Weeby mendengar perkataan Marcell yang ia rasa adalah untuk dirinya. Weeby tahu bahwa Marcell sedang menyindir. Weeby memilih pura-pura tak tahu, ia hanya memutar malas kedua bola matanya. "Emang cewek yang duduk disebelah lo dulu kenapa?" "Dia suka marah-marah kalo gue nyebelin, padahal gini-gini gue kan juga imut," ujar Marcell lagi, spontan ia memandangi ke arah bangku Weeby. Marcell tahu bahwa Weeby pasti mendengar perkataannya. "Iya lo imut, gue suka. Tapi nyebelinnya dikurangin dong. Gue juga bakalan marah kalo lo terlalu berlebihan," jelas Resti dalam satu tarikan napas. Weeby yang mendengar kalimat Resti itu langsung mencibir. Singkat waktu, ketika bel istirahat berbunyi, Resti langsung cabut menuju ke rooftop sekolah lantaran Gama, pacarnya, sedang menunggunya di sana, katanya sih mau ada yang disampaikan. Dan kini, Resti dan Gama sudah berdiri berhadapan. "Jadi Gam, ada apa?" "Gue mau kita putus!" Resti kemudian langsung tercekat, mulutnya sedikit terbuka lebar lantaran kalimat horor itu baru saja keluar dari mulut sang pacar, Gama. "Emangnya kenapa? Gue ada salah sama lo Gam?" Sorot mata Resti sudah berkaca-kaca, ia memandangi Gama dengan wajah teduh. Resti masih belum percaya bahwa Gama bisa memutuskan dirinya secara sepihak seperti ini. Tentu saja Resti sakit mendengarnya. "Nggak, lo nggak ada salah apa-apa, gue cuma ngerasa kalo kita nggak cocok lagi," jelas Gama dengan cepat. Gama sepertinya tidak memikirkan bagaimana perasaan Resti kali ini. "Apa lo udah bosan sama gue Gam?" tanya Resti lagi, ia ingin tahu kenapa sikap Gama seperti ini. Resti masih sayang kepada Gama, melebihi apapun itu. Oleh sebab itu, ketika kata perpisahan itu muncul membuat jantung Resti rasanya berhenti berdetak. Resti merasa limbung. "Ya, itu salah satu dari sekian alasan," jawab Gama sangat jujur. Bahunya mengendik. "Gue nggak bakal balik sama lo lagi, jadi jangan harap apapun sama gue lagi." Sepuluh detik kemudian Gama pergi dari hadapan Resti, meninggalkan Resti di rooftop sekolah. Air mata Resti sudah tidak kuasa lagi, pelupuk matanya sudah tidak kuat membendung cairan bening itu. Dan pada akhirnya, Resti menangis, air mata itu terjun dengan mulus menggenangi kedua pipi mulusnya. Resti kemudian berbalik badan, memandangi punggung Gama yang semakin menjauh dan menghilang. Resti tidak kuasa menahan semua ini, ia terkulai lemas dan pada akhirnya terduduk di lantai. Resti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, isakan tangis masih saja keluar dari bibir tipisnya. Kemudian, Resti pun memilih untuk kembali ke kelas dengan mata yang masih sembab. Ketika sudah sampai dibangkunya, Marcell menyadari bahwa ada yang salah dengan Resti. "Resti, lo habis nangis?" Marcell bertanya pada Resti saat melihat cewek itu kembali ke kelas dengan mata sembap. Resti memilih untuk diam, menghiraukan pertanyaan Marcell begitu saja, lalu ia duduk di bangkunya dengan kepala yang ia hempasan di atas meja. Merasa aneh, Marcell mengerutkan dahinya, tingkah Resti sekarang ini sangat berbeda saat Resti keluar dari dalam kelas lima belas menit yang lalu. "Lo abis nangis, karena apa? pacar lo, ya?" Marcell bertanya dengan curiga, ia menyentuh pundak Resti dengan pelan. "Berisik banget sih lo, bisa diem nggak sih?!" Pikiran Resti masih sangat kacau akibat Gama yang baru meminta putus pada dirinya, apalagi kini ditambah celotehan dari Marcell. Resti kesal bukan main, tidak segan ia membentak Marcell dengan perkataan sarkastik. Marcell langsung tercekat, ia tidak menyangka Resti membentaknya, sungguh perkataan Resti barusan menyentil harga diri Marcell, jantungnya terasa tercubit. Bahkan, kemarahan Weeby yang selama ini Marcell dengar tidak ada apa-apanya dengan bentakan Resti barusan. Niatnya ia hanya baik kali ini. Marcell seketika mengangkat tangannya yang semula berada dipundak Resti, ia mendadak membisu, lalu membuang muka ke sembarang arah. Tidak seharusnya Resti bersikap sedemikan rupa kepada Marcell, tidak seharusnya pula Resti meluapkan amarahnya pada Marcell. Ini semua sama sekali tidak ada kaitannya dengan cowok itu. "Maaf, gue kebablasan," keluh Resti saat menyadari bahwa cowok disampingnya memilih diam, tidak ada suara dari mulutnya lagi. Yang Resti dengar hanyalah helaan napas gusar. Marcell menoleh, manik matanya dengan ekor mata Resti bertemu sesaat, tak lama berselang Marcell berusaha tersenyum simpul walaupun perkataan menyakitkan Resti beberapa saat yang lalu masih belum surut. "Iya nggak pa-pa," balas Marcell singkat, ia tidak mau bertanya lebih lanjut, Marcell hanya tidak ingin kilat emosi Resti kembali memuncak saat ia bertanya lagi. Alhasil Marcell memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Menganggukkan dagunya sebanyak dua kali, tatapan Resti kini beralih teduh, menatap ke arah bawah. "Gue baru putus sama pacar gue," adu Resti dengan kesedihan yang masih terpancar dengan jelas diraut wajahnya. Marcell mengerutkan keningnya, berpikir sejenak, lalu dua detik setelahnya ia pun kembali berucap, "putus? Masalah tentang apa emangnya?" "Nggak tau, gue diputusin secara sepihak, hati gue sakit menerima kenyataan ini semua." Resti menggerakkan tangannya, tiba-tiba saja air mata lolos dari pelupuk matanya, Resti tidak mau Marcell melihat itu, ia akhirnya cepat-cepat mengusap cairan bening yang turun. "Jangan nangis, cowok nggak cuma dia aja kok," ucap Marcell, ia berusaha menenangkan Resti yang baru saja terpuruk, menerima kenyataan pahit. "Tapi gue masih sayang sama dia," komentar Resti dengan intonasi lirih, suaranya serak dan ditambah dengan isakannya yang keluar dari bibir tipisnya. Untuk kedua kalinya Resti mengusap pipinya akibat air mata yang mengguyur dengan derasnya. "Udah jangan sedih lagi Res, gue juga sedih lihatnya tau. Lo tenang aja, masih ada gue kok." Marcell menepuk d**a bidangya berulang kali, Marcell tiba-tiba menjadi pahlawan kesiangan. Resti memilih mengiyakan ucapan Marcell, ia mengangguk kecil. Cukup ampuh perkataan Marcell barusan, setidaknya rasa sakit dihatinya sedikit berkurang. "Nah pulang sekolah gue traktir lo beli roti cewek deh kalo lo nggak nangis lagi," celetuk Marcell dengan asal. Seketika Resti mengangkat kepalanya yang sedari tadi memilih menunduk, kini sorot matanya sepenuhnya terekspose ke arah Marcell. "Maksud lo?" Kening Resti tampak berkerut, ucapan Marcell tiga detik yang lalu sangatlah ambigu. Marcell mengangguk antusias, kemudian ia menegakkan badannya. "Nah kayaknya lo udah nggak sedih lagi tuh, gue jadi traktir lo deh." Kini Resti benar-benar tidak memikirkan bahwa dirinya baru saja putus dari Gama, perkataan Marcell lah yang kini membuatnya semakin penasaran. Begitu banyak pertanyaan besar dikepalanya saat ini.. "Traktir apaan sih? Gue nggak ngerti apa yang lo omongin," balas Resti setengah kesal karena Marcell terlalu terbelit-belit dalam menyuarakan sesuatu. Membuang napasnya frustrasi, Marcell kembali menatap intens ke arah Resti setelah memutar malas kedua bola matanya. "Roti, gue bakal traktir lo roti." "Roti?" Resti menaikkan satu alisnya ke atas, masih belum menangkap apa yang Marcell ucapkan. Resti sudah mulai kesal karena tidak paham. "Itu loh, kalo cewek PMS biasanya kan beli roti tuh." Setelah mencerna selama tiga detik lamanya, Resti baru paham apa yang Marcell katakan. Spontan Resti langsung membulatkan matanya dengan lebar, lalu dilanjutnya dengan mendengkus kesal. "Ih, lo emang ngeslin banget," omel Resti sembari mencubit lengan Marcell dengan gemas. Marcell yang menerima cubitan itu lantas berdecih kecil dan meracau mengaduh sakit. "Tapi gue masih tetap ganteng, kan?" Marcell mengedipkan mata kirinya pada Resti, lalu tidak lama setelah melakukan hal itu ia menunjukkan deretan gigi putihnya yang terlihat tertata dengan rapi. "Iyain ajalah biar lo seneng," balas Resti malas. "Emang gue udah ganteng dari masih jadi embrio kok, lo sih mana tau," cibir Marcell, lalu ia melipat kedua tangannya. "Udahlah, lo beneran mau traktir gue roti?" cengir Resti dan melayangkan dua jarinya ke udara hingga membentuk huruf 'V'. Marcell terkekeh, "oke, deal!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD