Pulang

1138 Words
Sayup-sayup terdengar adzan subuh dengan suara yang lebih merdu sekali membuat lelaki tampan berjambang itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia merasakan tubuhnya sangat lelah sekali seperti sudah tidur sangat panjang dan lama. Ia menatap ke samping, di pandang wajah istrinya yang terlihat semakin cantik saat tertidur. Reno merilekskan terlebih dahulu tubuhnya yang terasa pegal, lalu beranjak dari tempat nyenyak itu menuju kamar mandi. Segera melanjutkan ritualnya dan juga wudhu untuk melakukan shalat subuh. Setelah selesai, ia mengusap lembut pipi istrinya yang lembut itu. Di bisikannya kata-kata cinta agar Sela terbangun dari tidur nyenyaknya. Namu, nihil. Wanita itu bukannya bangun malah justru semakin menarik selimutnya kembali untuk menutup semua tubuhnya dan berniat tertidur kembali. Semalam, ia terpaksa harus tidur pukul dua dini hari. Siapa lagi kalau bukan karena ulah budenya. Beliau setelah memandikan Sela justru mengajak ngobrol panjang kali lebar, mengingatkan banyak hal dan tidak ada pantangan untuk shalat. Sebab, bukan perdukunan yang luar biasa yang sudah dilakukan, tetap di jalannya namun yang bergerak itu yang hitam bukan yang putih. Reno kembali berusaha membangunkan istrinya, ia membelai surai hitam istrinya itu. Dikecupnya kening, kedua kelopak mata, hidung mancung dan bibir ranum istrinya yang selalu membuat Reno tergila-gila. Akhirnya, setelah susah payah, Sela membuka matanya dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Sela menatap wajah tampan suaminya yang saat ini ada di hadapannya. Maka, nikmat tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan? Sepagi ini, mendapatkan pemandangan yang sangat luar biasa. Sepagi ini, bisa melihat wajah tampan rupawan milik suaminya yang sangat indah, bersih dan bercahaya. Sela tersenyum manis memandang wajah suaminya itu. Ia terhipnotis dan terbuai semakin dalam sehingga tanpa sengaja mengecup sekilas bibir suaminya yang menggoda. Air wudhu yang masih menetes menambah kadar ketampanan suaminya itu. "Selamat pagi sayangku." "Selamat pagi bidadari surgaku." "Kau sudah mandi, Mas? Sepagi ini?" "Iya, Sayang. Segar sekali, dan memang sudah menjadi rutinitasku selama ini bukan mandi di subuh hari seperti ini?" "Iya, sih, Mas. Tapi … ih, dingin sekali, Mas." "Gak, Sayang. Segar. Ayo bangun, wudhu, kita shalat subuh berjamaah." "Gendong." "Manjanya istriku." Dengan sigap, Reno langsung menggendong tubuh sintal istrinya itu yang terasa sangat enteng. Membawanya masuk ke dalam kamar mandi, menunggu istrinya selesai wudhu dan digendong kembali keluar dari kamar mandi. Reno mengambil mukenah di atas nakas yang tidak jauh dari ranjang itu. Ia segera memakaikan mukenah itu pada tubuh istrinya. Pokoknya, Reno memperlakukan Sela dengan sangat istimewa dan lembut. Mereka melaksanakan kewajiban shalat subuh berjamaah. Sela senantiasa berdiri di belakang Reno, menengadahkan kedua tangannya keatas, meng-aamiin-kan segala doa yang dipanjatkan oleh suaminya dengan sangat lirih namun terdengar merdu. Setelah selesai, Sela kembali naik ke atas ranjang, berbeda dengan Reno, ia justru mengambil Al-Qur'an dan membacanya dengan suara merdu. Sayup-sayup Sela masih berusaha mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh suaminya. Ia jelas mendengar suara itu semakin sendu entah apa sebabnya dan entah mengapa membuat suara itu lama-lama terus menerus semakin sendu lalu tak ingat lagi Sela sudah kembali bermimpi. *** Pukul enam pagi, matahari sudah mulai naik dari ufuk timur. Cahayanya mulai masuk melalui celah-celah ventilasi kamar sepasang suami istri itu. Setelah mengaji, Reno memainkan benda pipihnya mengontrol kinerja karyawannya. Walaupun long weekend tapi perusahaannya tidak mungkin bisa libur mengingat banyak sekali permintaan custom motor saat ini. Reno beranjak dan membuka gorden kamarnya membuat istrinya melenguh karena merasa terganggu oleh sinar matahari yang masuk ke dalam kamar tersebut. Reno kembali membangunkan istrinya mengingat mereka akan kembali ke kota pukul sembilan pagi agar menghindari macet. Pulangnya mungkin lebih cepat daripada berangkat tadi, mengingat pasti sudah banyak yang pulang kemarin atau mungkin pulang malam hari. Reno menghujami kecupan mesra di wajah sang istri membuat sosok wanita itu terus menerus menggeliat. Dengan terpaksa ia membuka matanya, awalnya ingin marah karena merasa tidurnya terganggu dengan ulah seseorang yang entah siapa itu tapi setelah ia membuka mata ternyata suaminya yang membangunkan dan tidak jadi marah, justru menyambutnya dengan senyum. "Mas kenapa? Mau?" Reno menaikkan satu alisnya, ia terkekeh melihat istrinya yang bertanya begitu polos sekali. "Haha, bangunin kamu untuk shalat subuh berjamaah, Sayang. Bukan mau menikmatimu," godanya. Sela menutup wajahnya menahan malu atas ucapan suaminya. Reno tertawa terbahak-bahak melihat istrinya merona karena malu. Sela bangkit dan beranjak menuju ke kamar mandi sambil menghentak-hentakan kakinya menahan malu atas godaan suaminya itu. Ia bergegas cuci muka, ambil air wudhu lalu melaksanakan shalat subuh berjamaah dengan suaminya. Selesai shalat, mereka mulai bergegas memasukkan pakaiannya ke dalam koper, tak lupa juga beberapa keperluan lainnya juga segera dimasukkan kedalam koper. Sela duduk di tepi ranjang, memandang nanar koper yang sebentar lagi akan mereka bawa. Sela kembali sendu mengingat akan meninggalkan budenya sendirian. "Sayang, kenapa lagi?" "Gak pa-pa, Mas." "Jangan bohong. Cerita, kenapa? Kenapa wajahmu menjadi sendu seperti itu?" "Mas, kita rayu bude lagi untuk ikut ke kota, ayo." "Sayang, jadi masalahnya bude lagi? Bukan maksud aku tidak mau mengajak bude, tetapi kita juga tidak bisa memaksa bude untuk ikut. Mas takut, nantinya bude terpaksa ikut dan ujungnya tidak betah." "Tapi, Mas … aku gak tega meninggalkan bude disini." "Paham, Sayang. Tapi, coba kau pahami juga posisinya bude. Aku tak masalah dan mau saja ajak bude ikut kita tapi yaitu, aku gak mau bude malah gak nyaman." "Tapi Mas--" "Sudahlah, Sayang, jangan terlalu banyak tapi. Bukankah kita sudah berjanji pada bude bahwa akan selalu berkunjung kesini? Jadi, tenang ya, bude lebih nyaman disini daripada bersama kita. Ingat, rumah ini terlalu banyak kenangan indah untuknya. Kita jangan sampai merusak kenangan indah itu, Sayang." "Kamu janji 'kan kita akan selalu berkunjung menemui bude?" "Iya, Sayang." "Baiklah." "Ayo kita lanjutkan berkemas lagi." Sela mengangguk dan mereka kembali berkemas. Setelah beberapa koper dan juga kardus makanan sudah tersusun rapi, mereka membawanya ke ruang tamu agar lebih mudah di estafet ke mobil. Mereka berpapasan dengan bude saat membawa beberapa barang tersebut, bude menyambut dengan senyum sendu. "Kalian sebentar lagi pulang ya?" "Iya, Bude. Apakah Bude sudah berubah pikiran untuk ikut dengan kami?" "Gak, Sayang. Bude akan tetap dengan pendirian diri sendiri. Bude akan tetap disini, tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan indah dan tak akan pernah meninggalkan rumah ini." "Bude yakin?" "Yakin, Sela. Jangan khawatirkan Bude disini," ucapnya lembut. "Tetap saja pasti khawatir, Bude," celetuknya. "Hehe, tenang saja, Sayang." "Ini, Bude buatkan bekal untuk kalian. Supaya gak terlalu lama di rest area jadi bisa segera sampai rumah. Kasihan jika terlalu lama di jalan." "Terimakasih Bude, Sayang. Bude jaga diri ya, jaga kesehatan." "Siap menantu." "Kalian hati-hati dijalan. Pak supir jangan ngebut-ngebut." "Siap, Bude." "Saya masukan semua barang-barang ini ke mobil dulu, Tuan." "Silahkan, Pak." Satu persatu barang-barang mereka sudah masuk ke dalam mobil. Dari mulai koper, kardus, beberapa oleh-oleh dan masih banyak yang lainnya. Mereka berpamitan pada bude, memeluknya erat dan bude melepaskan dengan senyum bahagia. Mereka saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan yang nantinya akan ada pertemuan lagi dilain waktu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD