Bertemu Ita

2030 Words
Setelah satu setengah jam berada di pesta itu, akhirnya Windy dan Irfan pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan pesta itu. Irfan terus memerhatikan istrinya yang terlihat agak berbeda. Windy terlihat lebih pendiam dan lebih banyak menatap jalanan. Sementara Fandy sudah terlelap di bangku penumpang bagian tengah. “Sayang, ada apa denganmu?” tanya Irfan. Windy tidak mendengar. Ia tetap diam saja seraya menatap jalanan. “Windy, apa ada masalah?” Kali ini Irfan sedikit meninggikan suaranya. “He—eh ... Maaf, Bang. Tadi abang ngajak aku bicara?” Windy tergagap dan langsung melabuhkan pandang ke arah suaminya. Irfan menghela napas, “Abang perhatikan, kamu agak berbeda. Apa ada masalah, Sayang?” Windy menggeleng, “Tidak ada, Bang. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah.” “Apa kamu masih memikirkan Putra?” Pertanyaan Irfan seketika menciptakan irama jantung nan syahdu di dalam d**a Windy. “Windy, kenapa diam saja?” Windy menggeleng, “Aku hanya takut bang Putra akan mengambil Fandy suatu saat nanti.” “Apa yang kamu katakan?” “Bagaimana pun juga, Fandy itu adalah darah dagingnya. Aku tidak ingin bang Putra tahu dan bisa saja nanti ia akan mengambil Fandy dari kita.” “Itu tidak akan terjadi, Sayang. Aku pasti akan berada di depan jika Putra berani merebut putraku dariku.” Irfan berkata dengan tegas. Windy mengangguk. Ia menoleh sesaat ke bangku belakang bagian penumpang. Putranya masih terlelap dalam nikmat di dalam car seat. Windy pun tersenyum ringan, lalu kembali melabuhkan pandang ke bagian depan. Tanpa memberi tahu pada istrinya, Irfan sendiri juga memiliki perasaan yang sama. Ia takut kehilangan Fandy yang sudah ia anggap seperti putra sendiri. Apa lagi Windy, Irfan sangat mencintai istrinya itu dan ia begitu takut kehilangan Windy. Tengah asyik mengendarai mobilnya, tiba-tiba saja ... CIIITTT!!! Irfan merem mendadak. Pria itu merasa menabrak seseorang yang tiba-tiba saja melintas di depannya. Irfan seketika turun dan melihat apa yang sudah terjadi. “Ita? Kamu tidak apa-apa?” Irfan terkejut sebab wanita yang hampir saja ia tabrak adalah Ita—mantan istrinya. Irfan seketika membantu wanita itu berdiri. Walau tidak ada luka atau cedera apa pun, tapi Ita tampak sangat cemas dan syok. “Kamu tidak apa-apa? Aku bawa ke rumah sakit,” tawar Irfan. Ita menggeleng, “Aku hanya kaget saja, Bang.” Windy yang melihat kejadian itu juga ikut turun. Pandangan mata Windy dan Ita beradu. Ada sekelebat rasa tidak senang dalam tatapan Ita tatkala netranya beradu pandang dengan Windy. Windy terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan gaun brukat yang warnanya senada dengan kemeja batik yang dikenakan Irfan. “Kak Ita? Kak Ita tidak apa-apa?” Windy menghampiri dan memastikan jika mantan istri suaminya itu baik-baik saja. “Aku baik-baik saja. Maaf, tadi aku buru-buru sebab ada urusan penting. Maaf jika aku tidak melihat mobil kalian.” “Tidak apa-apa, Kak. Kakak beneran nggak kenapa-kenapa? Sebaiknya kita periksa dulu ke rumah sakit, atau ke tukang pijat.” Windy masih menawarkan bantuan. Awalnya wanita itu hendak menggeleng. Tapi tiba-tiba niat busuk kembali bersarang di hatinya. Ita yang sebelumnya sudah mengikrarkan diri menerima perceraiannya dengan Irfan dengan tulus dan ikhlas, tiba-tiba saja memiliki rasa iri. Ita tidak senang dengan kebersamaan suaminya dengan orang lain. Ia tidak senang melihat kebahagiaan Windy. Apa lagi, Windy saat ini terlihat jauh lebih cantik dibanding dirinya. “Bagaimana, Kak?” tanya Windy sopan tanpa rasa curiga. Ita menoleh ke arah Irfan, “Bang, sepertinya kaki aku keseleo. Kamu bisa antar aku ke tukang pijat langganan kita dulu?” “Mengapa harus ke sana? Di tempat lain’kan ada.” Irfan enggan mengantar Ita ke tukang pijat langganan mereka dulunya. “Sama yang lain aku tidak cocok, Bang. Aku maunya di sana saja. Kamu bisa’kan nganterin aku. Kaki aku sudah dibawa berjalan, Bang. Auuhhh ....” Ita mencoba melangkahkan kakinya. Kakinya terseok dan tubuhnya seketika rebah di atas tubuh Irfan. Irfan dengan spontan menangkap tubuh Ita yang hampir saja rubuh. Sejenak, mereka terlihat seakan berpelukan. Windy membuang muka. Walau suaminya tidak sengaja dan niatnya hanya membantu saja, tetap saja ada yang bergemuruh di dalam hati Windy. Bagaimana tidak, Ita adalah mantan istri Irfan. Wanita itu juga pernah membuat fitnah untuk mengambil kembali rfan dari tangan Windy. Tapi Tuhan maha baik. Kebusukan Ita dulunya terbongkar dan Irfan tidak termakan rayuan manis dan jebakan liciknya. Tapi hati orang siapa yang tahu. Bisa jadi saat ini wanita itu kembali merencanakan niat jahatnya untuk merebut kembali Irfan dari Windy. “Ita, sebaiknya kamu naik dulu saja ke atas mobil. Aku akan bawa kamu ke tukang pijat.” Ita mengangguk. Ia pura-pura sakit agar tubuhnya bisa tetap berada dalam dekapan Irfan. “Silahkan masuk,” ucap Irfan ramah. Pria itu sudah membukakan pintu mobil bagian penumpang. Ita pun duduk di samping Fandy yang masih terlelap dalam carseat. Ita memandang sinis putra Windy itu. Wanita itu tahu jika Fandy bukanlah anak kandung mantan suaminya. Jadi Ita tidak senang dengan kehadiran Fandy di sana. Irfan kembali mengemudikan mobilnya menuju rumah tukang pijat langganan Ita. Hingga dua puluh lima menit berselang, mobil itu pun berhenti di depan sebuah rumah sederhana. “Bang, tolongin aku. Kakiku kaku, tidak bisa digerakkan.” Lagi-lagi, Ita pura-pura. Irfan menoleh ke arah Windy. Windy mengangguk lemah, walau dalam hatinya tentu Windy tidak senang melihat suaminya merangkul dan memapah wanita yang bukan mahramnya. Apa lagi Ita adalah mantan istri Irfan. “Bang, aku tunggu di mobil saja ya. Fandy masih terlelap, kasihan kalau harus dibangunkan,” ucap Windy. Mendengar perkataan itu, senyum licik kembali terukir dari bibir Ita. “Serius kamu tidak mau ikut turun?” Windy menggeleng, “Fandy tidurnya sangat nyenyak. AC-nya jangan kamu matikan, Bang.” “Baiklah ... Kalau ada apa-apa, segera hubungi abang ya. Atau susul saja ke dalam kalau Fandy sudah terjaga.” Windy kembali mengangguk. Irfan turun dari mobil. Ia membuka pintu tempat Ita duduk. Pria itu pun membantu Ita keluar dari mobil. “Auuhh ... sakit sekali, Bang,” bohong Ita. Ita melingkarkan tangan kanannya di leher Irfan. Irfan sendiri juga merangkul tubuh Ita karena percaya jika wanita yang nyaris ia tabrak itu memang tengah kesakitan. Dengan langkah terseok-seok, akhirnya Ita dan Irfan pun sampai di depan pintu rumah tukang pijat. Ita sengaja semakin mempererat pelukannya dan mengeraskan suara erangannya yang terlihat benar-benar kesakitan. Tujuannya agar Windy sakit hati. Benar saja, Windy memang sakit hati. Istri mana yang tidak sakit hati melihat suaminya merangkul wanita lain di depan matanya. Tapi Windy berusaha menepis pikiran buruk itu. Ia percaya jika Ita memang tengah kesakitan dan suaminya hanya berniat membantu. “Lo, Ita. Ada apa?” Bu Eni yang menjadi langganan pijat Ita, terkejut melihat kedatangan wanita itu bersama mantan suaminya. “Ini, Bu. Tadi di jalan ketika Ita menyeberang jalan, tanpa sengaja aku hampir menabraknya. Aku tidak melihat Ita yang tiba-tiba saja muncul dari balik sebuah mobil yang tengah parkir.” Irfan menjelaskan. “Ya sudah, tolong bawa Ita ke dalam kamar. Saya akan menyiapkan minyaknya terlebih dahulu.” Irfan mengangguk. Pria itu kembali merangkul Ita dan memapah tubuh mantan istrinya itu ke dalam kamar yang khusus disiapkan oleh sang tukang pijat untuk melakukan praktek pijat refleksi. “Bang, tungguin aku dulu di sini,” rengek Ita ketika Irfan bangkit dan hendak keluar dari kamar. “Ita, jangan macam-macam. Kita ini bukan mahram dan ada istriku di luar,” jawab Irfan, tegas. “Aku’kan lagi sakit, Bang. Sakitku juga gara-gara kamu.” Ita membuat alasan. “Mengapa kamu tidak melihat-lihat jalan dulu sebelum menyeberang?” “Jadi kamu mau menyalahkan aku?” “Bukan begitu Ita. Aku minta maaf karena hampir saja menabrak kamu dan membuat kakimu terkilir. Tapi tolong ingat batasan kita. Kamu itu adalah mantan istriku jadi kita tidak pantas untuk bersikap di luar batas.” Irfan kembali berucap tegas seraya melangkahkan kakinya ke luar kamar. Di pintu, irfan berpapasan dengan bu Eni. “Bu, tolong obati kaki Ita. Saya mau ke istri saya dulu,” ucap Irfan, ramah. Wanita yang umurnya sekitar empat puluh delapan tahun itu, mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu menutup pintu kamar dan bersiap mengurut Ita. “Yang mana yang terkilir, Ita?” tanya sang tukang pijat. “Sebenarnya tidak ada yang terkilir, Bu. Aku hanya tidak suka melihat kebersamaan Irfan dengan istri barunya itu.” “Lo, jadi apa yang mesti ibu pijat?” “Tolong pijat seluruh tubuh saya saja, Bu. Saya juga agak pegal-pegal.” Bu Eni mengangguk, sementara Ita mulai melepas pakaiannya dan mengenakan kain sarung yang sudah disiapkan oleh bu Eni. Setelah Ita siap untuk dipijat, bu Eni pun mulai memijat bagian punggungnya terlebih dahulu. “Ita, sepertinya kamu masih suka ya sama mantan suamimu itu?” tanya bu Eni membuka percakapan. Ita terdiam. “Si Kenzo bagaimana kabarnya?” “Baik, Bu. Justru karena itu aku jadi susah move on dari bang Irfan. Kenzo sangat kehilangan ayahnya. Sementara istri baru bang Irfan begitu mengekang bang Irfan. Istri baru bang Irfan tidak suka dengan Kenzo.” Ita berbohong. Kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Windy begitu menyayangi Kenzo—putra dari Irfan dan Ita. Akan tetapi, Kenzo hampir sama dengan ibunya. Mengatakan hal yang buruk tentang Windy, padahal dirinya sendiri yang sudah menyikiti Windy. “Makanya, ibu kok kaget waktu mendengar kamu bercerai dari Irfan. Kalau ibu boleh tahu, apa penyebabnya?” “Apa lagi kalau bukan orang ke tiga, Bu. Janda gatal itu yang sudah menggoda bang Irfan.” “Istri Irfan yang sekarag itu janda?” “Iya, beranak tiga lagi.” “Owh, pantas saja. Apa orangnya cantik?” tukang pijat itu semakin kepo. “Lumayan sih, tapi apa gunanya cantik kalau kerjanya merebut suami orang.” “Jaman sekarang memang aneh ya. Orang-orang sudah tidak takut lagi dengan dosa. Menghalalkan segala cara agar keinginan dan kemauannya tercapai.” “Makanya aku masih sakit hati, Bu.” “Yang sabar ya, Ita. Semoga kamu bisa mendapatkan pengganti Irfan yang jauh lebih baik dari pria itu.” Ita tersenyum dari luar, namun di dalam hatinya ia terkekeh keras. Semua yang ia utarakan pada bu Eni hanyalah kebohongan semata. Windy tidak pernah merebut Irfan darinya. Justru ia yang sudah menduakan suaminya itu dan pada akhirnya Irfan memutuskan berpisah. Malangnya, setelah ia berpisah dengan Irfan, kekasih gelap Ita juga meninggalkan dirinya. Kini Irfan sudah bahagia bersama Windy, sementara Ita sakit hati. Wanita itu ingin merebut kembali kebahagiaannya. Di tempat berbeda, Irfan berjalan menghampiri mobilnya yang terparkir di depan rumah bu Eni. Irfan membuka pintu mobil bagian kemudi, lalu mendudukkan bokongnya di atas kursi. “Bagaimana, Bang?” tanya Windy dengan nada lemah lembut. “Sedang dipijat sama bu Eni.” “Bang.” “Ada apa, Sayang?” “Ah, tidak jadi.” “Lo, kok tidak jadi? Memangnya tadi kamu ingin bicara apa?” “Bukan apa-apa, Bang. Lupakan saja.” Windy membuang muka ke arah jendela. “Sayang, apa kamu marah atas sikap abang terhadap Ita?” Windy menghela napas, “Entahlah, Bang. Sejujurnya aku memang tidak senang. Bagaimana pun juga, Ita itu adalah mantan istri kamu. Ia juga pernah membuat masalah dengan kita. Melihatmu merangkulnya seperti tadi, membuat hatiku sakit, Bang.” “Sayang, abang minta maaf. Tapi demi Tuhan, abang hanya berniat membantu. Windy, sekarang dan sampai kapan pun, hanya ada kamu di dalam hati abang. Kamu dan anak-anak kita.” “Kamu jangan lupakan Kenzo, Bang. Kenzo itu juga anak kamu dan kamu punya tanggung jawab terhadapnya.” “Ya, tentu saja, Sayang. Tapi kalau Ita? Seharusnya kamu tidak perlu menanyakan dan meragukan hal itu lagi. bahkan sebelum bercerai dengannya pun, hati abang sudah mati untuknya.” “Aku percaya dengan kamu, Bang. Tapi aku tidak percaya dengan Ita.” Irfan meraih tangan kiri Windy, “Percayalah, Sayang. Setelah selesai ini, kita akan mengantarnya pulang. Aku pastikan, tidak akan ada tuntutan apa pun lagi, oke ....” Irfan tersenyum manis menatap wajah istrinya. “Bang, aku hanya tidak ingin terluka lagi. Rasanya sangat sakit.” “Percayalah, aku akan selalu membuatmu bahagia.” Windy pun tersenyum melihat keyakinan dari wajah suaminya. Ia berusaha percaya jika takdir baik akan selalu berpihak kepadanya, setelah banyak kesakitan yang selama ini ia lewati. Namun siapa sangka, jika Ita juga sudah mulai menyusun rencana untuk merebut Irfan lagi dari pelukan Windy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD