Menghasut Kenzo

1200 Words
Ita membanting pintu rumahnya dengan kasar. Ia masih marah dengan sikap Irfan yang meninggalkannya begitu saja di rumah tukang pijat. Memang Irfan sudah menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi Irfan enggan menjemputnya ke rumah tukang pijat. “Mama kenapa sih?” tanya Kenzo—putra Ita dengan Irfan. “Mama tadi ketemu sama papa kamu di jalan. Ia hampir saja menabrak mama.” “Oiya? Terus mama diamin aja?” “Mama terkilir parah, lalu papa kamu mengantar mama ke tukang pijat. Nggak tahunya papa kamu malah ninggalin mama di sana. Mama dibiarkan pulang pakai taksi. Ini pasti ulah istrinya itu. Pasti dia yang menyuruh papa kamu segera pergi dan meninggalkan mama di sana. Dasar tidak bertanggung jawab,” gerutu Ita. “Terus kenapa mama diam saja? Kenapa mama nggak lapor polisis aja sekalian, biar papa tahu rasa. Papa sudah mencelakai orang terus pergi begitu saja. Itu namanya Tindakan criminal.” Ita menggeleng, “Mama tidak perlu lapor polisi segala. Mama’kan punya kamu.” Ita menatap tajam putranya itu. “Punya aku? Maksudnya?” “Kenzo, kamu mau berbakti sama mama’kan?” “Iya … Terus?” “Sebaiknya kamu minta pada papa untuk tinggal di rumahnya. Kamu buat saja masalah di sana.” “Buat masalah, maksudnya?” “Kenzo, kamu memangnya mau kita hidup kayak gini terus. Papa kamu bahagia dengan wanita lain. Ia memberikan kecukupan materi, uang jalan dan kemewahan untuk anak-anak dari wanita itu. Sementara kamu apa? Hanya diberi uang saku secukupnya. Memangnya kamu rela?” “Maksud mama apa sih, aku nggak negerti.” “Haduh, Kenzo … Kamu ini pintar dikit dong, Nak … Harusnya kamu yang dapat kebahagiaan itu. Harusnya mama dan papa kembali bersatu dan hanya kamu satu-satunya anak yang dinafkahi sama papa kamu. Kamu memangnya nggak iri sama teman-teman kamu yang puya keluarga yang lengkap?” “Tapi’kan mama yang salah. Mama yang kemarin itu sudah mengkhianati papa hingga papa memutuskan bercerai dan menikah lagi.” Ita melototkan ke dua matanya pada bocah sebelas tahun itu, “Kamu ini berpihak pada mama atau wanita perebut papa kamu itu sih, ha?” Kenzo hanya terdiam. “Jadi sekarang bagaimana? Kamu mau nggak keluarga ini utuh kembali? Mau nggak papa kamu kembali lagi berkumpul dengan kita? Memangnya kamu rela papa kamu lebih menyayangi anak-anak dari wanita itu ketimbang sama kamu?” Kenzo menggeleng. “Kalau memang nggak mau, harusnya kamu dengar kata-kata mama. Kamu hubungi papa kamu dan minta untuk tinggal di sana bersama mereka.” “Apa? Tinggal di sana? Yang benar saja, Ma. Aku nggak mau tinggal di sana. Aku nggak mau gabung sama istri papa dan anak-anaknya itu. Mendingan aku tinggal sama nenek saja kalau mama memang nggak mau aku tinggal di sini sama mama.” “Ya Ampun, Kenzo … Maksud mama bukan begitu. Mama bukannya nggak mau kamu tinggal di sini sama mama. Kamu itu anak mama, pastinya mama sayang dan bertanggung jawab sama kamu. Tapi mama menyuruh kamu pergi dan tinggal sama papa, agar kamu bisa menguasai papa di sana. Jangan sampai papa kamu lebih sayang sama anak orang lain dari pada anaknya sendiri.” “Baiklah, aku akan minta papa mengizinkan aku untuk tinggal di sana.” “Kamu harus berhasil membuat papa kamu mengizinkan kamu untuk tinggal di sana. Ambil hati papa kamu dan jangan biarkan papa kamu lebih sayang sama anak-anak tirinya itu dibanding sama kamu.” “Iya, Ma.” “Ya sudah, mama mau ke kamar dulu. Kamu pikirkan saja sendiri bagaimana caranya. Mama capek.” Ita melangkahkan kakinya menuju kamarnya, meninggalkan putranya yang masih bocah dengan pikiran buruknya sendiri. Malang memang nasib Kenzo, disaat anak-anak sebayanya diberikan limpahan kasih sayang dan pendidikan moral yang baik oleh ke dua orang tua, Kenzo malah dihadapkan pada perpecahan rumah tangga ke dua orang tuanya akibat ulah ibunya sendiri. Ita yang memulai perseteruan itu terjadi. Ita yang berselingkuh dan Ita yang abai pada suaminya hingga Irfan pun menemukan tambatan hati lain. Tidak mudah bagi Irfan untuk mendapatkan Windy, banyak lika-liku dan permasalahan yang harus dihadapinya. Semua kisah mereka sudah dijabarkan dan diceritakan di judul sebelumnya. Silahkan pembaca mampir ke buku yang berjudul BUKAN MAUKU, karena bagaimana sikap dan kekejian Ita sudah dijabarkan di sana. Namun kini setelah mantan suaminya menemukan kebahagiaan dengan wanita yang lain, Ita tidak terima. Di tempat berbeda, Kenzo langsung mengiyakan perintah ibunya. Bocah dua belas tahun yang kini duduk di kelas enam SD itu, segera mencari nomor ayahnya di ponsel. Kenzo langsung menghubungi Irfan. “Assalamu’alaikum … Apa kabar, Nak?” jawab Irfan dari balik panggilan suara. “Wa’alaikumussalam … Papa, aku bosan di rumah. Mama kerjaannya marah-marah terus,” ucap Kenzo tanpa basa basi. “Terus?” “Pa, aku mau tinggal sama papa saja, bisa’kan?” “Ti—tinggal sama papa?” Suara Irfan sedikit tergagap. “Iya, aku mau tinggal sama papa. Bukankah papa pernah mengatakan kalau sebaiknya aku tinggal sama papa saja? Tapi waktu itu mama meyakinkan kalau aku akan bahagia sama mama. Tapi buktinya aku nggak bahagia, Pa. Barusan mama cerita kalau papa habis nabrak mama dan meninggalkan mama begitu saja. Kok malah aku yang jadi sasaran kemarahan mama?” “Apa benar mama kamu habis marahin kamu?” “Iya, Pa.” “Tapi kenapa Kenzo tiba-tiba ingin tinggal sama papa? Bukankah sebelumnya Kenzo lebih memilih tinggal sama nenek dan kakek ketimbang tinggal sama papa?” “Memangnya kenapa? Papa nggak mau ya kalau aku tinggal sama papa? Aku ini anak kandung papa lo, aku lebih berhak untuk tinggal sama papa dibanding anak-anak tiri papa itu.” “Apa mama kamu yang menyuruhmu?” tanya Irfan. “Aku’kan sudah bilang kalau aku habis dimarahi sama mama. Karena papa ninggalin mama, mama malah melampiaskan amarahnya sama aku. Pa, aku mohon … Aku tinggal sama papa boleh ya?” “Iya, Nak. Boleh kok. Jadi kapan Kenzo akan tinggal sama papa? Kapan Kenzo akan ke sini?” “Malam ini, bisa? Aku akan kemasi barang-barangku dulu. Papa jemput ya.” “Maaf, Sayang … Papa bukannya nggak mau jemput, tapi papa nggak mau nanti ada masalah sama mama kamu. Minta mama saja yang mengantar ke sini pakai taksi. Nanti akan papa pesankan taksinya.” “Kok gitu sih?” “Kenzo … Kenzo’kan sudah besar. Papa yakin kalau Kenzo sudah paham masalahnya bagaimana. Papa dan mama sudah tidak bersama lagi. Papa dan mama selama ini juga kurang baik hubungannya, jadi papa tidak mau nanti terjadi masalah lagi di sana. Minta tolong sama mama saja mengantar Kenzo ke sini. Nanti mama Windy akan menyiapkan kamar untuk Kenzo.” “Ya sudah … Aku akan siap-siapkan barang-barangku dulu.” “Iya, Sayang … Papa tunggu kamu di rumah papa ya.” “Iya, Pa.” Kenzo pun mengakhiri panggilan itu. Ia kesal dengan sikap ayahnya. Bocah dua belas tahun yang selama ini sudah dicuci otaknya oleh Ita, memang menaruh dendam kepada Windy dan anak-anaknya. Lihat saja, mulai saat ini aku tidak akan biarkan kalian mengambil alih kasih sayang ayahku. Aku yang anak kandungnya jadi aku yang berhak atas semuanya. Gara-gara kehadiran kalian, aku jadi kehilangan kasih sayang ke dua orang tua. Kenzo tersenyum miring. Hasutan Ita mulai masuk ke dalam otak dan hati bocah dua belas tahun itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD