Ditampar

1101 Words
Windy kembali ke ruang tengah menemui sang suami. Irfan masih asyik bermain dengan Fadli dan Mentari di sana. “Bagaimana dengan Kenzo?” tanya Irfan. “Aku sudah mengantarnya ke kamarnya, Bang. Bang, sebelumnya aku mau minta maaf, tapi sebaiknya abang bicara dengan Kenzo.” Windy menghentikan kata-katanya. “Bicara soal apa?” tanya Irfan. Bagaimana cara aku mengatakannya. Aku tidak mungkin melarang Kenzo tinggal di sini atau dianggap terlalu mengurusi anak itu. Tapi bagaimanapun juga Kenzo sama seperti Langit dan Mentari. Harus ikut aturan yang berlaku di rumah ini. “Sayang, apa yang ingin kamu katakan? Apa ini ada hubungannya dengan Kenzo?” “Maaf, Bang. Sepertinya Kenzo tidak menyukaiku dan saudara-saudaranya.” “Sayang … Wajar saja kalau Kenzo masih bersikap dingin dan kurang ramah. Dia itu masih baru di sini. Lagi pula mungkin saja Ita sudah mencuci otaknya selama ini. Jadi kamu harus sabar menghadapinya. Aku yakin, kamu pasti bisa. Aku percaya istriku ini adalah wanita yang sangat luar biasa.” “Iya, Bang … Aku akan usahakan. Tapi aku mohon, tolong bicara pada Kenzo. Setidaknya Kenzo harus belajar menghormatiku sebagai ibunya.” “Anak-anak itu bagaimana orang tuanya, Windy. Kalau kamu mau Kenzo baik sama kamu, kamu yang harus baik padanya lebih dahulu. Seperti halnya aku pada Langit, Mentari dan juga Fadli. Bukankah aku yang lebih dahulu mendekati mereka? Aku yang lebih dahulu baik pada mereka. Nanti lama-lama, mereka akan baik sendiri kepadaku dan merasa membutuhkan aku.” “Oh, oke ….” Windy tidak mampu menjawab lagi. Ia sudah mulai punya firasat tidak baik untuk ke depannya. Tiba-tiba saja, Fandy yang tadi asyik bermain dengan Irfan, langsung mengejar sang ibu. “Umi … Umi …,” ucap Fandy. Bocah satu tahun itu baru bisa mengucapkan dua kata saja, umi dan papa. “Sayang, aku mau keluar dulu. Ada urusan sebentar.” “Mau kemana, Bang? Bukankah hari ini hari Minggu?” “Abang mau lihat pekerjaan. Doakan saja pekerjaan ini jebol. Lumayan, klien ini katanya mau membangun rumah lantai dua. Kalau abang bisa ambil semuanya, lumayan juga’kan hasilnya.” Wind tersenyum, “Kalau abang butuh tenaga administrasi, aku bersedia kok. Aku masih belum lupa ilmu konstruksiku.” Irfan tersenyum. Pria itu lalu membelai lembut puncak kepala Windy, “Tidak perlu, Sayang … Biar abang cari orang untuk mengerjakannya. Kamu fokus jaga kesehatan saja. Jaga anak-anak kita dan bukankah kamu sudah punya kesibukan dengan menulis novel online? Nyonya Irfan tidak perlu terlibat di proyek itu, cukup menerima hasilnya saja nanti.” Windy tersenyum. “Abang pergi dulu ya … Titip Kenzo, tolong sayangi dia seperti kamu menyayangi anakmu sendiri.” Windy sangat tidak suka dengan perkataan Irfan. Tapi wanita itu tetap mengangguk. Windy pun lalu menyalami suaminya dengan takzim sebelum Irfan meninggalkan rumah itu untuk sebuah tujuan pekerjaan. Sepeninggal sang suami, Windy menghela napas. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya kini. Apa lagi ia sedang hamil muda. Masih tujuh minggu usia kandungannya dan itu masih sangat rentan untuk keguguran. “Windy, semua pekerjaan sudah selesai uni kerjakan. Sambal juga sudah masak. Boleh uni pulang lebih awal? Sebab sekarang Minggu, Uni juga harus pergi ke undangan pernikahan.” “Iya, Uni, tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantu Windy.” “Sama-sama, Windy … Terima kasih juga sudah memberi uni pekerjaan. Uni pulang dulu ya, Assalamu’alaikum ….” “Wa’alaikumussalam ….” Wanita bernama Yetmi yang bekerja pada Windy itu pun akhirnya meninggalkan rumah Windy. Yetmi memang tidak dua puluh empat jam berada di rumah Windy. Ia datang pagi lalu sorenya pulang setelah semua pekerjaannya beres. Begitu terus setiap hari. Terkadang Minggu ia libur atau hanya bekerja setengah hari saja. “Mana papa?” tanya Kenzo, ketus. “Kenzo … Bikin kaget umi saja … Lain kali kalau menyapa jangan begitu ya, Nak. Umi ini lagi hamil adik kamu lo, jadi umi mohon kita sama-sama menjaga ya … Kenzo sudah makan? Kalau Kenzo mau makan, bisa ambil sendiri di lemari ya … Tante Yetmi tadi sudah menyiapkannya untuk kita.” “Aku tanya mana papa, bukan mau makan. Lo budge ya?” “Astaghfirullah … Kenzo sayang … Umi ini mama kamu juga lo. Jadi tolong hargai umi seperti mama kandung kamu sendiri. Umi janji akan menyayangi Kenzo sama seperti anak-anak umi lainnya. Tapi Kenzo juga harus siap diperlakukan sama. Mentari dan Langit juga umi perlakukan sama kok ….” “Ternyata benar ya kata mama, papa itu bodoh. Mau-maunya papa nikah sama wanita budeg kayak lo ini. Dengar ya, dari tadi itu gue tanya papa di mana, bukan mau dengar ceramah lo.” Windy menghela napas. Andai saja yang bersikap seperti itu adalah Langit atau Mentari, pasti Windy sudah naik darah. Windy pasti sudah melayangkan sebuah tamparan di pipi anak-anaknya. Beruntung, anak-anak Windy tidak pernah bersikap demikian. Didikan yang baik semenjak dari lahir, membuat Langit dan Mentari tumbuh menjadi anak baik dan taat pada agama. “Papa sedang ada urusan keluar. Ada pekerjaan katanya,” jawab Windy pada akhirnya. Sebenarnya Kenzo sudah tahu jika ayahnya pergi. Ia melihatnya sendiri ketika masih di dalam kamar. Ia sengaja memancing emosi Windy dan membuat wanita itu tidak nyaman. “Sekarang’kan Minggu, kenapa papa masih kerja? Pasti lo’kan yang maksa papa gue untuk kerja sampai nggak ada waktu untuk istirahat? Ternyata merusak rumah tangga orang belum cukup bagi lo ya … Sekarang lo siksa papa gue.” “KENZO, CUKUP!!” Windy tidak mampu lagi menahan emosinya. Suaranya mulai meninggi. “Kenapa? Lo mulai nggak senang sama gue? Gue juga nggak pernah senang sama lo. Dasar pelakor! Lo udah ngerusak rumah tangga mama dan papa gue.” Windy susah payah menahan emosinya. Karena dadanya sesak, wanita itu pun akhirnya menangis. “Umi tidak pernah merebut papa kamu dari mama kamu, Kenzo. Tidak pernah! Justru mama kamu yang sudah mengkhianati papa kamu. Mama kamu yang sudah menyakiti hati papa kamu,” ucap Windy dengan suara bergetar. “Buktinya apa? Lo’kan yang nikah sama papa gue. Mana bawa banyak anak lagi. Bilang aja lo mau numpang hidup sama papa gue. Dasar wanita miskin murahan!” PLAK!! Windy pun akhirnya tidak tahan. Sebuah tamparan melayang ke pipi Kenzo. Apa yang sudah diucapkan bocah dua belas tahun itu sudah sangat menyakiti hati Windy. Sangat amat hingga suara dan tubuhnya bergetar. Bagaimana bisa anak kelas enam SD berpikiran sempit seperti itu. Tutur bahasanya pun sangat jauh dari sopan santun. Kenzo memegangi pipinya. Ia menatap Windy dengan tatapan penuh amarah. Windy sendiri merasa bersalah. Ia memandangi tangan kananya yang sudah menampar anak sambungnya itu. Air matanya mulai mengalir. “Ke—Kenzo … Maafkan umi.” “f**k!!!” ucap bocah itu lalu ia beranjak masuk ke dalam kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD