Siapa dia(?)

1011 Words
Di dalam salah satu gedung pencakar langit yang ada di pusat ibu kota terdapat seorang pria muda tampan, kaya raya serta memiliki sikap yang ramah pada siapa pun. Seyumannya mampu menghipnotis para wanita manapun yang melihatnya, bahkan banyak yang berharap bisa mendapatkan posisi khusus di hatinya. Menduduki posisi tertinggi di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti dan investasi menjadikannya semakin sempurna di mata wanita. Siapa lagi kalau bukan Arjuna Putra Permana. Putra sulung dari keluarga permana yang sukses membawa perusahaan keluarganya melejit hanya dalam kurun waktu dua tahun kepemimpinannya, walau banyak juga gosip yang beredar jika Arjuna juga menempuh jalan yang kotor untuk menaikkan nama perusahaannya tapi tak satupun yang dapat membuktikan hal tersebut terkuak. Di usianya yang sudah memasuki tiga puluh satu tahun ini, Arjuna masih belum dapat menggandeng teman hidup. Entah karena alasan apa yang mendasarinya tak ingin segera mencari pendamping, ia hanya ingin menikmati masa lajangnya saja. Ceklek... Suara pintu ruang kerja Arjuna terbuka. "Morning..." sapa perempuan bertubuh tinggi menggunakan high heels setinggi sembilan sentimeter dengan dress ketat di atas lutut berlengan panjang berhidung mancung berwajah khas orang Asia dengan mata yang tak terlalu besar tak terlalu kecil berkulit mulus melenggang bebas memasuki ruang kerja Arjuna. "Kebiasaan enggak pernah ketok pintu." Seru Arjuna tanpa menatap tamu yang berkunjung ke ruang kerjanya. "Emangnya harus? Semua orang juga udah tahu kok." Sambil membuka kaca mata memindahkannya ke atas kepala. "Ada apa lagi?" tanya Arjuna sekenanya. "Mana julukan 'ramah' yang disematkan itu? apa ini yang dimaksud 'ramah'?" Berdiri sambil menyilangkan kedua tangan tepat di d**a. "Only besides family." Arjuna menatap tajam perempuan yang berdiri di hadapannya. "Sampai kapan kamu seperti ini? menyebalkan." Sambil merebahkan dirinya di sofa tak jauh dari meja kerja Arjuna. "Langsung intinya saja. Apa mau mu?" Arjuna menyandarkan tubuhnya di kursi besar yang mampu menampung seluruh tubuhnya yang besar di balik kursi tersebut. "Apa kamu serius menikahi gadis itu?" Menaikkan alisnya menatap Arjuna penuh selidik. "Kesini hanya untuk bertanya itu saja padaku? Itu kah yang membawa mu pulang Elindra?" Masih dengan posisi yang sama. "Apa gadis itu akan mengalami nasib yang sama seperti lima tahun silam mas?" tanya perempuan yang bernama Elindra itu dengan tatapan membunuh. "Jangan ungkit masa lalu. Urus saja pekerjaanmu yang menjijikkan itu." Bentak Arjuna dengan mata yang membesar. Elindra membuang nafas kasar, memutar kedua bola matanya malas. "Apa yang salah dengan pekerjaan ku? Harusnya mas bangga punya adik sepertiku yang sukses merambah dunia internasional tanpa embel embel nama papa." Elindra menyandarkan tubuhnya di sofa. "Berpose dengan pria pria b*****t itu? Lalu terbit di majalah dewasa dan berkeliaran di media dengan skandal yang mengenaskan? Itu kah yang kau bilang sukses?" Arjuna tertawa sinis seolah menelanjangi sang adik dengan tatapannya. "Ah sudah lah... Aku tak pernah bisa menang melawanmu. Jangan pernah lupa bahwa aku berada dalam kisah rumit itu." Kini Elindra yang menatap Arjuna remeh dengan senyum mengejek. Elindra Salena Permana putri kedua Heru Permana memilih bekerja sebagai model yang berhasil merambah dunia internasional dia sering kali dianggap remeh oleh mata mata keranjang karena gaya berbusananya yang terlihat sexi, padahal Elindra sama sekali bukan model esek esek hanya saja beberapa orang yang membencinya mencoba menjatuhkan nya dengan berita murahan seperti itu. "Aku akan pergi dari sini. Kamu terlalu kaku mas.. Ingat, kamu masih berhutang mengajak ku shopping lusa, dan ajak gadis itu aku mau mengenalnya." Berjalan mendekati Arjuna lalu mencium kedua pipi Arjuna secara bergantian. "Dasar..." Arjuna mengelus lembut rambut Elindra dengan bibir yang sedikit tertarik ke atas. Elindra meninggalkan ruangan Arjuna kemudian kembali pada urusannya. ***** ☕ Caffe Bean, 14:21 wib. ☕ "Selamat datang, mau pesan apa kak?" Sembari memberi buku menu pada Dhira pelayan perempuan itu tersenyum ramah. "Emm.. spa-" "Spaghetti Carbonara 2, jus mangga tanpa s**u 1, lychee tea 1." Suara seorang pria yang berdiri di belakang tempat duduk Dhira memotong ucapan Dhira. "Baik, terima kasih kak. Silahkan menunggu," jawab pelayang perempuan itu setengah membungkuk dengan senyum yang merekah. "Kamu? Mau apa lagi?" seru Dhira ketus tanpa menoleh. "Dhir, aku mau bicara." Vero menarik kursi yang ada di hadapan Dhira. Belum sempat pria itu duduk, Dhira segera berdiri hendak meninggalkan cafe itu tapi dengan cepat Vero menarik tangan Dhira memohon agar perempuan itu memberinya kesempatan untuk menjelaskan. "Jangan pegang. Lepas..." Dhira mencoba menarik pergelangan tangannya tapi usaha nya sia sia Vero semakin mengencangkan pegangannya. "Tolong dengarkan aku dulu. Sekali ini saja." Vero memasang mode serius di wajahnya dengan tatapan penuh harap. Tanpa berbicara Dhira kemudian duduk kembali di kursi nya sambil menghela nafas kasar dan kembali melepaskan tangannya dari genggaman Vero. "Kamu sakit? Wajah kamu pucat." Vero ingin menyentuh tangan Dhira kembali tapi tak di beri izin oleh sang pemilik. "Hati aku yang sakit," jawab Dhira ketus. "Oke... Aku minta maaf waktu itu aku pergi tanpa kabar." Vero menghela nafas kasar. Tak ada sahutan dari Dhira. Keduanya terdiam seakan mengunci mulut rapat rapat sekian menit sebelum makanan dan minuman yang di pesan telah tiba di hidangkan di meja tempat mereka duduk. "Terima kasih mbak." Dhira melempar senyum pada pelayan yang menghidangkan makanan. "Sama sama. Silahkan menikmati," sahut pelayan cafe. Dhira dan Vero meneguk minuman mereka masing masing, terjebak di situasi seperti ini sungguh canggung. Bagaimana tidak tempat ini menyimpan banyak cerita tentang kebersamaan mereka berdua. Dua orang yang dulu menjalin kasih tanpa ada paksaan kini bertemu seperti orang asing yang tak mengenal satu sama lain seperti memiliki dinding pemisah diantara keduanya hingga tak bisa mendengar kata hati yang sesungguhnya. "Maaf untuk hari itu." Vero memulai pembicaraan. "Untuk apa? Kamu enggak salah. Cuma aku yang terlalu bodoh mengharap kamu datang." Dhira berusaha menyembunyikan perasaan sedih yang mulai meronta di dadanya. "Aku bisa jelaskan semuanya." Vero menghela nafas panjang. "Sebelum keberangkatan itu, sebenarnya aku sudah siap untuk kesini. Tapi, Ayah tiba tiba kasih kabar ke aku kalau bunda saat itu kecelakan, mobil yang di naiki nya menabrak trotoar sampai naik kebahu jalan menabrak sebuah pertokoan. Saat itu aku shock, ayah meminta untuk berangkat saat itu juga." Vero menjelaskan dengan lirih. Suasana hening, Dhira merasa bersalah atas sikapnya pada Vero. Tapi, perasaan itu terkalahkan degan kekesalan dan amarahnya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD