Kamu Cemburu(?)

1033 Words
Mobil yang dikendarai Angga berhenti secara tiba tiba di pinggir jalan. "Kenapa berhenti? Gue belum minta lo berhenti," ucap Noni ketus. Angga menatap pantulan wajah Noni dari kaca tengah. "Pindah sekarang juga. Aku bukan sopirmu," Ucap Angga dengan tatapan garang dari dalam kaca. Noni membuang muka sembari menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Sori, gue enggak bisa duduk di sebelah pria sakit jiwa," jawabnya ketus. Sepertinya hilang sudah kesabaran Angga saat ini, dirinya benar benar sudah tak tahan melihat sikap nyalang Noni, perempuan yang tak jelas di matanya. Angga membuka pintu mobil dan segera turun lalu memutari bagian depan mobil itu. Dengan kasar Angga membuka pintu mobil bagian kiri belakang, lalu menarik paksa tangan Noni untuk keluar dari dalam mobil. "Eh... Mau ngapain lo, lepas ... lepasin tangan gue..." Noni memberontak sekuat tenaganya, namun tetap saja kekuatan itu tak ada artinya bila di bandingkan dengan Angga. Bagaimana tidak? Postur tubuh Angga yang besar tinggi dengan otot otot dilengannya membuat Noni yang tingginya hanya sedada Angga pun mendadak menciut nyalinya saat berada dalam cengkraman tangan besar dengan urat urat yang terlihat walau ditutupi oleh kemeja hitam berlengan panjang itu. "Duduk di depan atau tinggal disini?" Angga menatap Noni dengan wajah memerahnya dan mata berkilauan api. Membuat Noni merasakan aura mistis menggelayuti tubuhnya. "Tt...tapi gue su-" "Selamat tinggal." Tanpa memberikan waktu pada Noni untuk bicara, Angga kembali melebarkan langkahnya dan memasuki mobil kembali. Melihat pintu mobil tertutup membuat Noni mau tak mau harus menuruti permintaan Angga agar dirinya pindah kekursi bagian depan. "Sabar sih, gue belum pake sabuk pengaman," ucapnya dengan pipi yang mengembung. Angga dapat melihat dengan jelas raut wajah ketakutan yang ditampilkan oleh Noni hingga membuat bibir atasna tertarik. "Cepat." Angga kembali menginjak pedal gas secara tiba tiba hingga membuat Noni hampir tersungkur kedepan karena belum siap. "Cepat cepat, ntar kebobolan baru tahu lo." Entah apa yang dimaksud oleh Noni, yang pasti ucapannya mampu membuat Angga menautkan alisnya. 'Kenapa bisa Nona Dhira memiliki sahabat seperti dia? wanita sinting,' batin Angga. Perjalanan ke kantor Noni masih sekitar beberapa puluh menit lagi karena jarak kantor dan hotel tempat mereka datangi cukup jauh. Sementara, cacing dalam perut Noni kini telah berteriak meminta asupan makanan. Noni melingkarkan tangannya tepat di bagian perut, dengan wajah yang menatap sisi kiri kaca mobil sejak tadi, sesekali matanya melirik pada pergelangan tangan kirinya yang dilingkari sebuah jam rantai berwarna hitam. 'Ya tuhan, lapar banget gue. Lupa kalau sejak pagi tadi gue belum makan apapun,' batin Noni menangis merasakan perih pada perutnya. "Bisa cepatan enggak sih. Lama banget sih nyetirnya," celotehnya pada Angga yang tengah serius memperhatikan jalanan. Angga tak menyahut, bahkan kini ia menghidupkan audio mobil dengan volume yang cukup kuat hingga memekakkan telinga. "Stop disini. Gue mau pulang sendiri," teriak Noni dengan suara cemprengnya. Angga masih tak menyahut ia kini justru membuka layar handphone yang berbunyi notifikasi sebuah pesan, sebenarnya ia masih bisa mendengar dengan jelas perkataan wanita sinting di sebelahnya itu, tapi ia lebih memilih pura pura tak mendengarnya untuk menghindari mulut blak balakan Noni. "Gue mau turun. Gue lapar..." Noni kembali berteriak dengan gerakan tangan yang memukul lengan Angga. Ternyata sikap Noni kali ini berhasil membuka mulut Angga walau harus menerima tatapan membunuh itu. "Tolong anda sopan." Beberapa detik kemudian Angga kembali menatap lurus kejalan. Noni mematikan musik dengan wajah yang kembali nyalang. "Gue bilang turunin gue disini. Gue bisa mati kelaparan karna lo." Tapi sepertinya Angga tak memperdulikannya, dan terus melaju seperti tanpa beban. Padahal di sebelahnya sudah ada wanita yang bisa saja pingsan akibat menahan rasa laparnya. Noni terus menggerutu, kalimat sumpah serapah terlontar dalam hatinya melihat sikap Angga yang tak mempunyai perasaan. Namun tiba tiba Angga membelokkan setirnya memasuki sebuah cafe yang tak cukuo besar namun tampak ramai pengunjung. "Ngapain lo kesini? Gue mau turun disana bukan disini." Noni mengerucutkan bibirnya menahan kekesalannya pada Angga. Angga melepas sabuk pengamannya. "Turunlah, pesan makanan apapun yang anda mau. Jangan banyak berfikir, sebelum saya berubah pikiran," ucapnya santai tanpa menoleh ke arah Noni. 'Dasar sakit jiwa ni orang,' umpat Noni dalam hati sembari membuka sabuk pengaman. ***** "Kamu enggak makan mas?" tanya Dhira yang kini tengah melahap salad buah yang telah dipesannya. Tama menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan yang menopang dagunya. "Melihatmu saja aku sudah kenyang," goda Tama dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari Dhira. Dhira memutar bola matanya malas, entah sudah berapa lama Tama hanya duduk di hadapannya tanpa melepaskan pandangannya sedetikpun pada Dhira. "Aku jadi grogi di pandangin terus sama kamu." Berharap jika Tama akan melepaskan pandangannya. Tama terkekeh, sungguh saat ini tak ada pemandangan yang indah baginya selain wanita muda cantik yang berada dihadapannya saat ini. "Setelah ini kamu mau kemana?" tanya Tama sembari mengaduk aduk minumannya di dalam gelas. "Aku mau pulang, tapi aku mau mampir ke apartemenku sebentar. Ada beberapa barang yang harus aku ambil." Dhira menundukkan pandangannya, ia tak ingin Tama berada terus di dekat Tama, semakin lama ia berada di sampingnya maka semakin lebar luka di hatinya. "Kenapa enggak pernah lagi balik ke apartemen? Apa karena aku?" tanya Tama sekenanya dengan santai. Dhira hanya tersenyum getir, bahkan mulutnya tak mampu untuk menjawab sebuah pertanyaan simple seperti itu. Memang apalagi yang bisa di perbuatnya selain pergi sejauhnya dari Tama. Tapi pada kenyataannya semua itu tak serta merta membuatnya benar benar menjauh dari pria yang telah merenggut kesucian bibirnya itu, bahkan dunia pun kini seakan berpihak untuk menyatukan mereka dengan cara yang tak di duga duga, menjadikan Tama seolah sang penyelamat untuknya, semakin membuat dirinya sulit melenyapkan bayangan Tama di hidupnya. "Fokuslah pada Elindra mas. Jangan sakiti dia, aku hanya enggak mau menjadi perusak hubungan kalian." Dhira menarik nafasnya perlahan lalu menghembuskannya. "Kamu cemburu?" Seutas senyuman kini terlihat jelas diwajah tampan Tama, matanya seakan mencari tahu kebenaran dari pertanyaannya. Dengan cepat Dhira menggelengkan kepalanya, ia tak mau jika Tama nantinya akan menguasai dirinya kembali. "Enggaklah..." ucapnya cepat sembari menggigit bibir bawahnya karena gugup. "Benarkah?" tanya Tama kembali masih dengan kedua alis yang mengerjit. Dhira menyedot habis minuman yang ada di dalam gelas, lalu mengambil handphone dan tasnya. "Aku sudah kenyang, ayo kita pulang." Sembari berdiri dihadapan Tama dan melebarkan langkahnya meninggalkan Tama yang masih tersenyum dengan pemikirannya sendiri. "Kamu tak akan bisa lepas dariku, bidadari kecil," guman Tama dengan senyuman puas diwajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD