Langit Semarang tampak meredup meski hari belum sepenuhnya gelap. Angin sore membawa aroma campuran kopi sachet, debu stadion, dan sedikit gugup yang melayang di d**a Malda Miura. Meskipun langkahnya di lintasan makin mantap dan tiap catatan waktunya membuat pelatih nasional mengangguk puas, hatinya justru seperti stopwatch yang lupa ditekan: terus berdetak tanpa tahu harus berhenti di mana. Sementara itu, di tempat yang berbeda, Yulianto justru sibuk berlari maraton versi lain—maraton sosial, intelektual, dan emosional. Setelah pulang dari pelatnas, ia kembali tenggelam dalam kesibukan naskah novel yang mandek, undangan podcast absurd, serta sesi konseling dadakan yang entah kenapa selalu datang dari perempuan-perempuan muda berwajah galau dan akun i********: estetik. "Mas Yuli, aku tuh

