Suatu sore, beberapa hari sebelum keberangkatan, Miura dan Yulianto duduk di atas bukit kecil, tak jauh dari kompleks latihan. Langit mulai berubah jingga. Angin membawa aroma pinus dan embun dari kejauhan. “Dunia akan lebih berat kali ini,” gumam Miura, suara lirihnya seolah kalah oleh desir dedaunan. Yulianto tak langsung menjawab. Ia merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan secarik kertas yang sudah terlipat rapi. Miura menerimanya dan membuka pelan. Di dalamnya, hanya satu kalimat: "Kalau kamu jatuh… jangan bangun karena dunia menuntut. Bangunlah karena kamu ingin berlari lagi, untuk dirimu, untuk kita." Miura menatap Yulianto. Lama. Matanya tak berkedip, seperti menyimpan air mata yang terlalu dalam untuk dijatuhkan. “Kamu tahu,” katanya akhirnya, suara serak, “Dulu aku takut kehil

