Stadion Hangzhou sore itu nyaris sempurna. Langit membentang cerah, suhu bersahabat, dan atmosfer kompetisi terasa seperti final Piala Dunia—tapi dengan napas Asia. Debur sorak sorai, gemuruh musik latar, dan dentuman langkah kaki para atlet mengisi udara yang begitu padat. Di atas lintasan merah yang mengkilap karena sapuan sinar matahari, bendera-bendera negara peserta bergoyang pelan, seolah mereka juga sedang menahan napas, menanti sesuatu yang lebih dari sekadar lomba lari. Di lane 4, berdiri Malda Miura—nomor punggung 427. Tubuhnya tegak. Bahunya relaks. Tapi matanya tajam, setajam mata elang yang telah mengunci mangsa di kejauhan. Hari itu, ia tak sekadar berlari untuk menang. Tapi untuk menutup luka, menjemput janji, dan mungkin… menyusul cinta. Di kursi pelatih, tak jauh dari

