Langit Jakarta seringkali tak mengenal belas kasih. Panas yang menyengat siang hari seolah menjadi metafora dari kepala Yulianto Atmaja yang nyaris meledak oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar. Tapi dalam sunyinya, waktu seperti enggan berjalan. Detik berdetak lamban. Hati tetap diam di titik kehilangan. “Kenapa selalu begini?” gumamnya lirih saat menatap langit-langit kamarnya, yang kini penuh dengan foto-foto Miura, catatan latihan, dan lembar-lembar surat yang tak pernah sampai. Di ruang kerjanya yang sempit, tumpukan draf naskah baru berserakan. Seharusnya ia menulis novel cinta yang ditunggu penerbit. Tapi cinta macam apa yang bisa ia tulis, jika hatinya sendiri terasa seperti amplop kosong tanpa isi? Malam itu, lam

