Pagi di Semarang terasa berbeda. Tidak ada kicau burung yang biasanya menenangkan hati Yulianto, bahkan sinar matahari yang masuk lewat jendela rumahnya pun tampak redup. Yulianto duduk di tepi ranjang dengan wajah muram. Sudah beberapa hari ia berusaha menepis firasat buruk itu, tapi setiap kali ia mencoba menguatkan diri, ada saja hal yang membuat dadanya kembali sesak. Di meja samping tempat tidur, rosario masih tergenggam dari malam tadi. Doa sudah ia panjatkan berulang kali, namun ketenangan belum juga datang. Hari-hari baginya berjalan lambat. Yulianto mencoba menenggelamkan diri dalam aktivitas. Ia menulis untuk blognya, merekam beberapa podcast, bahkan ikut nongkrong dengan teman-temannya di Geng Semrawut. Tapi tetap saja, pikirannya selalu kembali pada Miura. Di setiap jeda, ia

