Selama 1095 hari, Aku Mencintaimu

1385 Words
            “Cita- citaku adalah menjadi seorang pelaut, lalu aku akan menjadikanmu sebagai pelabuhanku” 3 Januari 2009                “Dion, kamu mau lanjut kuliah dimana?” tanya Bu Hasri, guru Matematika kelas 12 yang setiap pagi membuka pelajaran dengan sederet motivasi tanpa titik.                “saya tidak kuliah Bu. Saya mau masuk kedinasan saja” jawabku                “Oh ya? Mau dimana?” tanya Bu Hasri lagi                “PIP Bu, Semarang” jawab ku                “kamu mau jadi pelaut? Enggak kasihan sama isteri dan anakmu nanti? Jadi pelaut itu jarang pulang loh, memang sih gajinya banyak, tapi kan resikonya juga besar. Kalau tiba- tiba kapalnya terbalik gimana? Atau kena serangan ombak gimana? Belum lagi kalau terdampar, kalau ibu sih, enggak mau punya anak mantu pelaut. Ibu kasih tau ya—”                “KULIAH ITU HARUS YANG JELAS, JADI DOKTER ATAU GURU CONTOHNYA” teriak satu kelas bersama- sama memotong Bu Hasri. Kami sudah tau, jargon beliau memang seperti itu, jika siswa menjawab ingin menjadi tentara, pelaut, designer grafis atau yang lainnya selain dokter dan guru, maka sudah pasti akan diceramahi dengan kecepatan bibir minimal 10 kata per sekon.                Setelah 3 tahun duduk sebagai murid SMA, dan sekarang berada di penghujung kelas 12, cita- cita ku tidak pernah berubah, aku ingin menjadi pelaut. Terlepas dari bagaimana tanggapan dan stigma orang lain, aku tetap akan mengejar cita- cita ku menjadi seorang pelaut. Ya, benar. Sekarang aku duduk sebagai murid tahun akhir SMA. Semuanya tetap sama bagiku, sejak pertama kali mos sampai sekarang bersiap foto untuk buku Angkatan, aku masih berteman dengan siswa konyol anak juragan tekstil bernama Riko, aku semakin menyukai hujan, dan tentu saja aku semakin mencintai Aya. Setelah perkenalan singkat kami di depan masjid 3 tahun yang lalu, aku semakin ingin bertemu dan berbicara dengan Aya. Kelas kami memang bersebelahan, namun sepertinya Aya adalah siswi yang tidak suka duduk bergosip saat istirahat ataupun pergi ke kantin ramai- ramai saat jam kosong. Aku hanya sesekali melihat Aya bersama dengan 2 atau 3 orang temannya pergi ke perpustakaan dan ke masjid. Leni, salah satu teman Aya yang pernah diam- diam aku temui, aku bertanya banyak hal padanya, sudah pasti tentang Aya.                Hampir setiap hari aku bertemu dengan Leni dan asik mendengarkan apapun yang dia ceritakan tentang Aya. Jadi selama ini Dion belum pernah berbicara dengan Aya? Tentu saja pernah, membahas tugas portofolio matematika Bu Hasri yang sengaja digabung semua kelas. Dan itulah satu- satunya waktu dimana aku bersyukur ada mata pelajaran matematika di dunia ini.                Baiklah, sekarang aku telah mengetahui bahwa Aya sangat menyukai makanan pedas, Aya yang menyukai film kartun Disney, Aya yang menyukai warna abu- abu, dan sudah pasti Aya yang sangat mencintai hujan.                “mau tau yang paling special nggak Dion?” ucap leni dengan memicingkan salah satu matanya                “apaan?” tanyaku penasaran                “sekarang tanggal berapa?”                “3 Januari”                “ini hari ulang tahun Aya” ucap leni                “hah? Serius Len?” Belum sempat Leni menjawab--                  “iya benar, hari ini ulang tahun aku” kalimat yang tiba- tiba terdengar dan seketika membuat aku dan Leni saling bisu. Suara itu tidak lain adalah, Aya. Ya Tuhan, jantungku berdegup sangat kencang saat ini, rasanya seperti ingin meledak. Belum pernah aku berada sedekat ini dengan Aya. Dia menatap ku pula. Leni mulai menyuduk sikutku dan menggeleng- gelengkan kepalanya, isyarat bahwa aku harus lekas pergi.                “jadi selama ini kamu punya kerjaan sampingan jadi narasumber, Len?” ucap Aya mendekat.                “nggak kok, nggak gitu Ay, aku Cuma—barusan cumin itu kok, anu—” jawab Leni gagap. Jangan tanya bagaimana aku sekarang. Mematung.                “anu?” tanya Aya mendesak Leni Leni yang terus saja memicingkan matanya, membuatku kasihan padanya. Baiklah Dion, mungkin ini saatnya untuk berani berbicara pada Aya.                “maaf Aya, ini bukan salah Leni, aku yang minta Leni buat cerita tentang kamu. Maaf aku udah lancang” ucapku, gerogi tentu saja. Aya diam, mungkin memang diam sudah menjadi kebiasaan Aya.                “kalau ingin kenalan, harusnya bicara langsung saja, jangan jadi pengecut.” Kata Aya Aku sontak mendongak dan memandang Aya yang kini memegang tangan Leni.                “ayo Len, Ibu kamu udah nunggu di depan” Aya menuntun Leni menjauh dariku, mereka perlahan menjauh, dengan Leni yang terus menatap ke arah ku dan bicara minta maaf tanpa suara, yaah seperti itu lah.                Memendam cinta itu sulit, namun mendengar jawaban setelah menyatakan cinta itu jauh lebih sulit. Selama tiga tahun, sudah puluhan kali aku mencoba untuk menyatakan perasaan ku pada Aya, bahkan aku sudah belajar bagaimana caranya dari Riko yang setiap malam minggu menyatakan perasaan kepada perempuan yang berbeda. Namun entah mengapa, saat niat ku sudah bulat, semuanya tiba- tiba buyar saat jarak Aya semakin dekat denganku.                Rasanya sama dengan pada saat aku TK, aku ditunjuk untuk mengucapkan Pancasila, dan aku pun sudah sangat hafal itu. Namun, saat aku naik ke depan panggung dan melihat Ibu ku duduk di barisan kursi terdepan, semua sila- sila yang tersusun di ingatanku entah minggat kemana. Aku lupa, dan akhirnya menangis. Baik, apakah aku harus menangis juga di depan Aya? Jangan gila Dion.                “udah cukup Dion! Lu nggak denger Aya ngomong apa tadi, Lu pengecut b**o!” ucapku memaki diriku sendiri                “hari ini ulang tahun Aya, ini momen yang pas buat nyatain semua yang selama ini Lu rasain” Kembali lagi bayanganku berbicara.                Maka sore ini telah aku putuskan, bahwa aku akan pergi dan mengatakan semuanya pada Aya. Jikalau aku lupa atau buyar nantinya aku tidak peduli, sudah cukup aku memerhatikan Aya dari balik jendela kelas selama ini, sudah cukup aku duduk selama 10 menit di depan masjid setiap istirahat hanya untuk melihat Aya sholat dhuha, atau memanggil Leni setiap pulang sekolah hanya untuk mendengarkan apa yang Aya lakukan dan apa yang Aya makan di kantin. Segera aku mengambil ponsel, dan mengirimkan pesan kepada Leni                “Len, minta alamat Aya” Begitu kataku. Tidak lama, ponselku berdering.                Satu Pesan Baru                Leni: “gila kamu?! Mau ngapain?? Calling Leni….                “halo”                “please Len, aku pingin ngomong sama Aya”                “apaan sih Dion, jangan gila kamu. Aku kasih nomor Aya aja kamu gak berani chat dia, apalagi alamat rumah, nggak nggak ada”                “please Len percaya sama aku kali ini”                “…..”                “Len?”                “udah aku kirim ke e- mail kamu” Segera aku membuka e- mail dan benar saja, Leni sudah mengirim alamat Aya.                “udah masuk Len, makasih banyak yah”                “iya sama- sama, semoga berhasil Dion, inget Bapaknya Aya galak”                                                                    *** 2 Desember 2018 18.15                Kembali lagi ku teguk secangkir kopi yang menjadi semakin dingin. Jika mengingat apa yang terjadi sore itu, semua beban yang aku rasakan entah mengapa seketika hilang. Bahkan sekarang pun sama, bagiku sore itu, 3 Januari 2009 adalah hari dimana Tuhan memberikan bukti atas kuasa- Nya, semua beban yang aku rasakan, baik karena lelah menunggu muatan di pelabuhan, masalah teknisi baru yang tidak becus dalam bekerja atau pasang surut laut yang menguji kesabaran. Semua itu seketika lenyap saat aku mengingat satu kalimat yang Aya sampaikan padaku sore itu,                “apa yang kamu rasakan, aku juga merasakan hal yang sama Dion. Namun kondrat wanita memang menuggu, maaf jika aku tidak bisa menampakkan perasaan yang aku miliki untuk kamu, karena aku sama sekali tidak pandai tentang ini semua” Itu adalah kalimat terbaik yang pernah aku dengar. Saat Leni mengirim alamat rumah Aya, pada saat itu aku segera datang kesana, dengan modal nekat dan satu kalimat yang sudah aku catat di robekan kertas sisa ulangan harian, agar aku tidak lupa.                Rumah Aya tidak susah aku temukan, tepat di seberang kedai kopi dan wedhang wuluh yang berada di sisi kanan jalan.                Ternyata aku tidak harus mengetuk pintu, Aya sudah berada di depan gerbang sore itu. Aku masih ingat betul apa yang ia kenakan, celana standar hitam dengan baju model kimono bercorak merah dan ungu, dengan jilbab yang senada membuat aku semakin ciut dengan kecantikan Aya.                Mungkin Leni sudah memberitahu Aya bahwa aku akan datang. Lalu semuanya berjalan seperti yang aku rencanakan.                “Aya, aku suka sama kamu” Satu kalimat yang butuh waktu 3 tahun untuk bisa diucapkan. Dan itu pun harus aku tulis dalam sebuah kertas.                Jadilah sore itu, entah harus dengan apa aku menyebutnya. Hari jadian kami? Hari dimana aku bisa bicara berdua dengan Aya? Atau hari dimana aku sangat bersyukur Tuhan telah menciptakan hujan di dunia ini? Entahlah, yang jelas, sore itu aku sangat Bahagia karena Aya juga mencintaiku.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD