PROLOG

700 Words
Yogyakarta, 2 Desember 2018 16.30 WIB Hujan pertama di bulan Desember 2018                Sore ini, langit menyombongkan diri. Ia menampilkan warna orange bergradasi merah dan ungu, layaknya sedang berdeklarasi pada alam semesta bahwa ia adalah yang terindah disini. Untuk Sebagian orang, mungkin langit berhasil menjadi yang terindah, namun tidak bagiku. Gradasi langit, tidak seindah warna mata kekasihku, corak kombinasi antara merah dan ungu, tetap kalah manis dengan senyum kekasihku yang punya lesung pipit dikedua pipinya. Ah, jika sekarang kekasihku tersenyum, mungkin langit akan merasa menjadi runner up, juara dua, atau bahkan minder untuk bersaing perihal keindahan.                Melodi hujan sore ini juga setuju dengan pendapat ku, sedari pukul 13.00, tak henti- hentinya turun memeluk bumi. Menjadi penyebab beberapa manusia dengan jas dan dasi, berlari menepi agar tidak basah. Aku memandang dari balik jendela apartemen. Pandangan ku lurus ke arah badan jalan Bantul yang sore ini becek karna hujan. Sial, hujan sore ini, mengingatkan ku pada hujan sore itu. Hujan nakal, yang mempertemukan dua anak berseragam putih abu- abu. Satu pemalu, satunya lugu. Bahkan aku tidak bisa menggambarkan bagaimana parahnya suasana canggung saat itu.                “sial” umpat ku                Kenapa aku selalu bergumam dan memikirkan kejadian tahun 2009 silam. Ini selalu terjadi saat aku melihat tetesan hujan turun dari langit, bahkan hanya mendengar deras tenangnya suara hujan, sudah mampu menyeret ku kembali pada kejadian paling romatis di bumi pada saat itu . Sekeras apapun aku mencoba, satu adegan pun tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan ku.                Aku mulai menyeruput kopi tubruk yang sebenarnya sudah ku bawa sedari tadi.  Sekarang, kopi ku dingin. Buih krim s**u yang tadi aku bubuhkan, telah karam di dasar cangkir berwarna coklat caramel ini. Mataku terlepas dari permukaan kopi dingin, kini keduanya terlempar pada sebuah teras toko, terlihat ada dua anak berseragam putih abu- abu yang bersenda gurau di tengah perang antara angin dan hujan yang semakin menjadi- jadi. Luar biasa, apakah sore ini Tuhan memang berencana mengingatkan ku pada hari itu? Rasanya semuanya tampak sama, suasana hujan, angin, seragam SMA, langit sore. Semuanya tampak sama, bahkan burung merpati yang bertengker di pohon rambutan di seberang pasangan muda itu, juga sama. Ah tidak, kejadian itu bagaimana pun tidak bisa terulang oleh siapa pun, tidak ada yang mampu merubah suasana hujan yang menyebalkan, menjadi indah dan romatis selain kekasih ku. Aya                Seuntai nama yang sejujurnya sudah aku tahan agar tidak keluar dari bibir ini, satu kata yang mampu membuat bibir ku yang sedari tadi kelu, kini tertarik membentuk sudut 45 derajat.                Aku Dion, Dion Pratama,                Aku seorang kapten di salah satu perusahaan akomodasi laut, yah, anggap saja aku ini nelayan, karena bagiku tidak ada bedanya. Nelayan mencari makan di laut, aku pun sama. Nelayan mempertaruhkan hidupnya di laut, aku pun demikian. Hanya saja aku tidak perlu membawa jaring dan pancing. Tapi tetap saja, rasa takut nelayan saat jaring yang diangkat ternyata kosong, sama dengan rasa takut ku saat kapal penuh dengan muatan minyak tanah, dan di tempa ombak sebesar gunung. Intinya sama.                Selama menjalani itu semua, Tuhan memberikan scenario cinta luar biasa pada ku. Aku tidak yakin, apakah ada seseorang di bumi ini yang mempunyai kisah yang sama. Bisa ku katakana, ini bukan kisah cinta romantis seperti Rama Shinta. Bukan juga tragis seperti Romeo dan Juliet. Semuanya hanyalah tentang bagaimana aku sangat mencintai Aya. Cerita tentang samudera yang selalu saja tersenyum saat aku menyebut nama Aya, alasan yang selalu menguatkan mental ku untuk berani minta cuti kepada komandan hanya agar bisa pulang dan bertemu dengan Aya. Seorang gadis yang selalu setia menemani laki- laki yg hidup tanpa alamat yang jelas seperti aku. Ini adalah kisah seorang Dion, Aya, dan tentang samudera.                  Seperti yang aku katakan. Semuanya bermula karena hujan. Hujan yang membuat para penggarap sawah sujud syukur, karena memang pada saat itu hujan jarang turun. Sawah kering. Petani gagal panen. Impor beras naik. Jika sekarang Jogja terasa panas, maka pada saat itu Jogja terasa terpanggang matahari.                                                                                                      ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD