twenty : clear

1415 Words
"Lara, kamu tau kan kalau yang kamu lakuin hari ini salah?" Lara menganggukkan kepala. Ia lebih dari tahu kalau perbuatannya hari ini tidaklah benar. Bahkan sebelum melakukannya pun, Lara sudah tahu kalau ia tidak seharusnya begitu. "Bisa janji nggak akan begitu lagi?" Lara menghembuskan napas berat, tapi tetap menganggukkan kepala juga. Mereka sudah sampai di rumah sekarang, dan tentu saja Lara diomeli. Bahkan selama perjalanan tadi pun ia sudah dimarahi, dan masih berlanjut juga ketika sudah sampai di rumah. Seperti biasa, lokasi persidangan antara Hamdan dan anak-anaknya setiap kali ada yang membuat masalah adalah ruang keluarga. Kali ini, Lara duduk di sofa berhadapan dengan Hamdan dan juga Jala. Padahal biasanya yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu Jala yang berhadapan dengan Lara dan Hamdan karena memang lebih sering Jala yang membuat masalah. Khusus untuk hari ini berbeda. Lara sih tidak masalah mau dimarahi atau diomeli papinya bagaimana juga, yang membuat kesal itu adalah Jala yang kini sedang melipat kedua lengan di depan tubuhnya, memasang ekspresi menyebalkan, dan sesekali juga ikut mengomeli Lara. He's so annoying! "Kabur-kaburan begitu tuh childish banget tau." Tuh, Jala baru saja memberikan celetukan menyebalkannya. "Gue nggak butuh opini lo, jadi diem aja." "Idih, udah salah masih aja nyolot." "Udah, nggak usah berantem." Hamdan menengahi. "Papi makin pusing kalau kalian ribut. Mau apa Papi sakit vertigo gara-gara kalian?" "Enggak, Pi." Keduanya kompak menjawab. Hamdan pun beralih lagi pada Lara. "Kamu hari ini udah bikin heboh banget. Semuanya khawatir sama kamu-" "Iya, lo juga ngerusak suasana. Padahal orang-orang kayak Tante Hara dan suaminya tuh sibuk banget, dan susah buat ngosongin jadwal, tapi jadi sia-sia karena lo." Jala memotong ucapan papinya dan menjelaskan secara telak mengenai kesalahan saudara kembarnya. "Jala..." Hamdan mengingatkan. "Kenapa, Pi? Kan emang bener gitu." Rasanya mau marah lagi pada Jala, tapi Lara sadar kalau yang dikatakan oleh Jala itu tidak salah. Semua yang datang tadi adalah orang-orang sibuk. Mulai dari Hara yang merupakan calon direktur dari sebuah rumah sakit swasta besar dan suaminya yang setahu Lara adalah CEO di sebuah perusahaan besar juga, Jendra yang merupakan celebrity chef sekaligus pengusaha bersama istrinya, Harlan dan Gema yang kadangkala masih harus bekerja di akhir pekan, bahkan mungkin juga Ambar meski Lara tidak benar-benar tahu apa pekerjaannya. Jika dipikir-pikir lagi, Lara jadi tertohok sendiri dan menyesal. Karena tindakan yang tidak pikir panjang, ia justru membuat waktu orang-orang penting tersebut jadi sia-sia. "Iya, Pi. Aku tau aku salah, jadi kalau Papi mau hukum aku nggak apa-apa," ujar Lara pasrah. "Bagus. Hukum seberat-beratnya aja, Pi." "Papi nggak akan hukum kok." Hamdan menjawab langsung. Jala yang paling terkejut mendengarnya. Ia memandang Hamdan tidak percaya. "Kok gitu sih, Pi?! Biasanya kalau aku yang salah dikit pasti deh langsung dihukum!" Lara sudah mau tersenyum penuh kemenangan pada Jala, namun belum sempat ia mengatakan apa-apa, Hamdan sudah bicara lagi. "Papi emang nggak akan hukum Lara, tapi Papi mau Lara minta maaf sama semua yang datang tadi. Mulai dari Om Harlan, Tante Gema, Tante Hara, Om Wira, Om Jendra dan istrinya, dan...ke Tante Ambar juga." Lara nyaris menganga. Kalau begini sih, lebih baik Lara dihukum saja. Potong uang jajan kek, atau nggak boleh kemana-mana sepulang sekolah selama dua minggu juga nggak apa-apa. Lara sih tidak masalah jika harus minta maaf dengan om-om dan tante-tante yang memang sudah dikenalnya dengan akrab, masalahnya...yang terakhir disebutkan papinya tadi. "Ke Tante Ambar juga?" "Terutama ke Tante Ambar," jawab Hamdan tegas. Kali ini barulah Jala bertepuk tangan. "Kok gitu sih, Pi?" protes Lara. "Aku kan nggak akrab sama Tante Ambar." "Tapi kamu sadar kan kalau apa yang kamu lakukan tadi, kamu paling bersalah sama Tante Ambar. You left because of her, right?" Lara melengos. "Itu Papi tau, terus kenapa masih nyuruh aku berhubungan sama Tante Ambar?" "Tante Ambar itu nggak punya salah apa-apa sama kamu. Tapi kenapa kamu malah begitu? Tante Ambar sendiri bilang kalau dia merasa bersalah karena udah bikin kamu kabur hari ini. She said sorry, when she did nothing wrong. Memang hak kamu mau suka atau enggak sama siapa, Papi pun nggak bisa kontrol itu. Tapi, bukannya sebagai manusia kita harus behave dengan baik ke siapa pun? Kalau kamu seperti tadi, Papi justru jadi merasa gagal mendidik kamu." "Pi...nggak gitu." Lara tidak mau Hamdan menyalahkan dirinya sendiri seperti ini. "Bukan salah Papi." "Terus?" "Sebelumnya aku tanya dulu deh ke, Papi. Hubungan Papi sama Tante Ambar tuh apa? Tolong kali ini jawabnya jujur." "Papi sama Tante Ambar cuma teman..." Jawaban Hamdan masih sama, tapi kali ini ia menambahkan, "...untuk sekarang begitu."  Jala dan Lara sama-sama terkejut. "Untuk sekarang teman, berarti nanti bisa berubah?!" seru Jala semangat. Hamdan hanya mengedikkan bahu. Sementara Lara langsung bersandar lemas di sofa. Jawaban papinya itu sama sekali tidak membuatnya senang. Terlebih lagi, kali ini Hamdan menjawab secara terang-terangan dan jelas untuk menuruti permintaan Lara. "Lara, Papi bukannya mau nikah besok, dan belum tentu juga Papi nikahnya sama Tante Ambar." Hamdan menjelaskan setelah melihat bagaimana Lara yang nampak kecewa karena jawabannya. "Hari ini Papi sengaja ngajak Tante Ambar karena Papi mau kalian mulai beradaptasi, semisal nanti Papi betulan mau kenalin kalian ke calon istri. Seenggaknya biar kalian mulai terbiasa dengan mindset, Papi nggak akan selamanya sendirian." "Jadi, Papi beneran mau nikah?" tanya Lara. "Memangnya kamu beneran nggak mau Papi nikah?" Hamdan balas bertanya. Lara diam, Jala juga. Walau dalam hati mereka sama-sama tahu apa jawaban atas pertanyaan tersebut. "Maaf ya kalau Papi terlalu lama sendiri sampai-sampai di saat pikiran untuk cari pasangan mulai ada, sulit bagi kalian buat nerimanya." "Kenapa minta maaf? Ini kan hidup Papi, jadi Papi berhak mau ngapain aja. Mau nikah waktu kami masih kecil atau nanti pas kami udah nikah duluan juga terserah Papi," ujar Jala. Hamdan tersenyum. "Thank you, Jala. Tapi seharusnya Papi udah dari dulu mempertimbangkan untuk nikah, supaya kalian juga nggak kehilangan figur seorang mami selama ini." "It's okay, Papi. Selama ada Papi, kita baik-baik aja kok." "Jadi, nggak apa-apa kalau Papi sekarang udah mulai mau cari istri dan cari mami buat kalian?" "Nggak apa-apa! Aku seratus persen dukung!" "Kalau Lara?" Lara sudah cukup lama diam dan tidak menanggapi pembicaraan yang terjadi antara Jala dan papinya. Ia hanya duduk bersandar di sofa dan memandangi langit-langit ruang tamu yang dihiasi oleh sebuah lampu gantung cantik. Selagi dua laki-laki di rumah ini berbincang, Lara diam dan berpikir. Rasa tidak rela itu masih ada. Ia tidak siap melihat papinya menikah, sekaligus tiba-tiba jadi memiliki sosok ibu dalam hidupnya yang selama ini tidak pernah dia punya. Tapi Lara juga tahu kalau ia tidak bisa egois. Seperti yang dikatakan Jala tadi, ini adalah hidup papinya, jadi terserah papinya mau bagaimana. Jadi, jika memang papinya sudah mulai mempertimbangkan untuk menikah dan mencari calon istri, harusnya Lara menerimanya. "Lara?" Lara menghembuskan napas dan tanpa semangat duduk tegak lagi hingga berhadapan dengan Hamdan dan Jala. Rasanya tetap saja berat meski ia sudah meyakinkan diri sendiri agar tidak egois. "Tapi nikahnya nggak harus sama Tante Ambar kan?" adalah yang menjadi pertanyaan Lara. "Papi sama Tante Ambar itu dikenalin sama Oma, tapi sebelumnya kami udah pernah ketemu. Sekali waktu Lara berantem sama Anette, sekalinya lagi waktu Papi lagi dinas di luar kota nggak sengaja ketemu. Untuk sekarang, kami masih ada di tahap mengenal satu sama lain dan berteman baik. Untuk ke depannya gimana, Papi belum bisa mastiin, Lara." "Karena hubungan Papi sama Tante Ambar baru temenan doang, berarti Papi nggak menutup pilihan sebatas ke Tante Ambar aja, kan?" "Maksudnya?" "Kalau ada pilihan yang lain, Papi mau?" "Kalau emang nanti ketemu yang lebih cocok, kenapa enggak? Jodoh kan, siapa yang tau." "Oke." Lara mengangguk, cukup puas. "Kalau gitu, semoga Papi nggak jodoh sama Tante Ambar." Jala langsung melotot. "Kok lo jahat banget sih ngomongnya gitu?!" "Gue nggak mau sepupuan sama Anette," keluh Lara jujur. "Papi coba deh kenalan sama Bu Semira. Udah cantik, baik, dan masih single juga! Kalau harus punya mami, aku maunya yang kayak Bu Sermira. Aku kenalin mau ya, Pi?" "LARA, JANGAN COBA-COBA!" tahu kan siapa yang protes keras itu. "Kan udah kenal," jawab Hamdan seadanya. "Oh, ralat. Maksudnya bukan kenalin, tapi jodohin. Gimana?" Hamdan tertawa saja, sementara Jala sudah marah-marah. Berbeda dengan Jala yang menganggap perkataan Lara itu serius, Hamdan justru menganggapnya sebagai candaan semata. Ia merasa jika semuanya sudah clear lewat pembicaraan ini. Setidaknya, anak-anak sudah tahu tentang pertimbangan Hamdan dan kemungkinan apa yang terjadi di masa depan. Walau tidak mudah, tapi Hamdan bersyukur karena mereka bisa mulai menerima, dan itu cukup membuatnya bernapas lega. Untuk sekarang begitu. Tetapi, Hamdan tidak tahu saja jika setelah kejadian ini, kisah percintaannya bakal rumit, dan mungkin, Hamdan betulan akan kena vertigo karena itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD