one : loves of his life

1462 Words
"Papiiii, liat nggak seragam sekolah aku ada dimana? Kok di lemari nggak ada sih?" "Berarti masih di laundry room, Jala. Cari aja." "Kalau buku bimbel aku liat gak, Pi? Kemarin aku taruh di meja depan TV, tapi kok nggak ada lagi?" "Coba liat di laci bawah meja ya, Sayang. Kalau nggak salah Papi taruh disana." "Oke, Papi. Thank you." "You're welcome, princess." "PAPIIII, TERNYATA SERAGAM AKU BELUM DISETRIKA!!! APA INI TANDANYA AKU NGGAK USAH SEKOLAH?" Dalam waktu sedetik, ekspresi Hamdan langsung berubah. Dari yang semula tersenyum manis kepada Lara, jadi memasang ekspresi jengkel pada Jala yang baru saja kembali dengan seragam kusut di tangannya. Anak laki-laki Hamdan itu membulatkan mata sembari mengangkat seragamnya dengan kedua tangan. Menunjukkan bagaimana satu setel seragam sekolah itu terlihat sangat kusut dan tidak akan presentable jika langsung dipakai. Hamdan berkacak pinggang dan menggelengkan kepala. "Kok bisa seragam kamu belum disetrika Bibi?" Jala mengangkat bahu. "Mana kutahu, Pi. Bibi lupa nih kayaknya." "Mana mungkin Bibi lupa? Buktinya seragam Lara udah disetrika gitu." Jala ingin membuka mulut lagi untuk menjawab, namun kembarannya yang sudah berseragam rapi muncul sembari membawa sebuah modul bimbingan belajar tebal di satu tangan. Lara mendelik pada Jala. "Dia tuh emang baru masukin seragamnya ke keranjang cucian kemarin, Pi! Selama ini, seragam kotornya numpuk di gantungan baju belakang pintu kamar, ewwww jorok banget! Makanya belum disetrika Bibi," ujarnya jujur kepada sang papi. Jala langsung merengut. Tidak terima karena rahasianya baru saja dibongkar oleh Lara yang sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Hamdan sendiri memijat kepalanya. Pusing. Padahal ini masih pagi, tepatnya baru hari pertama sekolah untuk semester genap dua anaknya itu, dan Jala sudah bikin ulah. "Yaudah, buruan kamu setrika seragam kamu sekarang." "Mending nggak usah sekolah aja nggak sih, Pi???? Baru hari pertama juga ini, pasti belum belajar deh." "Mana ada ya. Pokoknya kamu harus sekolah." "Tapi, Pi..." "Nggak ada tapi-tapi, buruan setrika seragam kamu." "...masalahnya aku belum mandi, Pi. Soalnya bangun kesiangan. Hehe." "Hah?! Udah gila ya lo?!" Seruan dari Lara itu sudah cukup untuk mewakilkan isi kepala Hamdan tanpa ia perlu repot-repot mengatakannya. "Ini udah jam berapa, Ja??? What the hell??? Gue nggak mau ya datang telat gara-gara lo!" Amukan Lara itu hanya membuat Jala terkekeh m. "Makanya, aku nggak usah sekolah aja ya, Pi? Biar Lara nggak dateng telat." Hamdan menghembuskan napas lelah dan memandangi Jala yang masih cengengesan. Ia pun sadar kalau anak laki-lakinya itu memang masih mengenakan baju tidur semalam, jelas sekali kalau ia memang belum mandi. Sedangkan ini sudah jam berapa. Jala benar-benar membuat dirinya dan Lara terancam terlambat. Namun, tentu saja Hamdan tidak akan membiarkan itu terjadi. Mau Jala bikin alasan seperti apapun, Hamdan tetap akan mengantarkan dua anaknya itu ke sekolah. Maka Hamdan pun mematikan kompor, menghentikan kegiatan memasak french toast untuk sarapan mereka yang tadinya ia lakukan. Ia pun berjalan menghampiri Jala dan mengambil seragam dari tangan anaknya itu. "Biar Papi yang setrikain. Kamu buruan mandi sana, nggak pake lama ya, Jala." "Piiiiii, nggak sekolah ajaaaa." Jala merengek. Hamdan hanya memberikan Jala tatapan tegas tanpa mengatakan apa-apa, dan itu cukup untuk membuat Jala pada akhirnya mencebik dan kembali ke kamarnya untuk mandi serta siap-siap ke sekolah. Sementara itu, Lara sudah merengut dan memandang Jala jengkel hingga kembarannya itu menghilang dari pandangannya. Dia tidak merasa senang sama sekali karena rencananya untuk datang pagi di hari pertama sekolah kemungkinan besar akan gagal. "Kamu tenang aja, nggak akan telat kok nanti." Hamdan menenangkan putrinya. Lara berdecak. "Jala tuh ngeselin banget, Pi! Nggak ngerti lagi aku. Kalau bisa tuker tambah kembaran, udah aku tuker dia tuh." "Hush, nggak boleh gitu." Hamdan memperingatkan. "Mau dia senyebelin apapun juga tetap saudara kamu. Blood is thicker than water, remember?" Lara mendengus saja. "Yaudah, Papi setrika seragamnya Jala dulu ya. Kamu bisa lanjutin panggang toast-nya kan, Sayang?" Kali ini Lara mengangguk hingga Hamdan pun menyunggingkan senyum dan mengusap lembut kepala putrinya itu. Dalam hati ia merasa beruntung karena setidaknya, Lara tidak banyak ulah seperti Jala dan bisa diandalkan. Namun, sebelum berjalan menuju laundry room untuk menyetrika seragam sekolah Jala, Hamdan terlebih dahulu menoleh pada Lara yang kini sudah berdiri di depan kompor. "Tapi toast punya Jala jangan dijahilin ya, Lara?" "Nggak janji, Pi," ujar Lara santai sembari mengangkat bahu. Hamdan menggelengkan kepala. Walau Lara memang lebih bisa diandalkan, namun terkadang Lara bisa lebih jahil daripada Jala, apalagi kalau sudah terlebih dahulu dibuat kesal oleh kembarannya itu. Lihat saja nanti, paling Jala akan mendapati toast miliknya keasinan karena Lara menaburkan garam dan bukannya gula disana. *** "JALAAA, f**k YOUUUU!" "Jangan kurang aja ya, k*****t! Don't f**k f**k me! I'm your Aa!" "Anak-anak, language please..." Teguran dari Hamdan itu tidak diindahkan sama sekali oleh kedua anaknya yang kini sedang saling bertukar tatapan marah. Terutama tatapan yang diberikan Lara kepada Jala, benar-benar menunjukkan rasa sebal dan kesal yang tinggi. Andai kehidupan seperti film kartun, mungkin mata Lara sudah mengeluarkan api sekarang. Tidak lama kemudian, Lara mendengus keras pada Jala dan bergegas keluar dari mobil untuk berlari menuju gerbang sekolahnya yang hampir ditutup oleh satpam. Karena terlalu takut terlambat, Lara bahkan sampai lupa berpamitan dengan Hamdan yang kini hanya mampu menatap punggung Lara yang berlari menjauh. Berbeda dengan saudara kembarnya, Jala justru lebih santai. Padahal, siswa-siswa lain sudah berlarian seperti Lara menuju gerbang sekolah. "Kenapa kamu diam aja? Buruan sana berangkat, nanti gerbangnya keburu ditutup," tegur Hamdan kepada Jala yang masih duduk santai di kursi penumpang sampingnya. "Iya, Pi, ini mau berangkat nih," jawab Jala malas-malasan. "Tapi aku masih inget buat pamit sama Papi, nggak kayak Lara yang main kabur aja." Jala pun mencium punggung tangan Hamdan yang mana dibalas dengan Hamdan menjewer pelan salah satu telinga anak laki-lakinya itu. "Kamu harus minta maaf sama Lara nanti," ujarnya. "Gara-gara kamu lama, makanya kalian hampir telat begini. Tau sendiri, Lara paling nggak suka datang telat ke sekolah." "Dia tuh lebay aja. Buktinya sekarang nggak telat." "Jala..." Jala mendengus. "Iya, nanti minta maaf." "Good." "Tapi, kayaknya lebih baik Papi beliin aku motor aja deh biar aku bisa berangkat ke sekolah sendiri dan nggak perlu dianter Papi bareng Lara lagi." Hamdan melotot dan menggelengkan kepala. Tegas ia berujar, "Nggak ada." "Pi—" "Sana berangkat. Itu pak satpamnya udah siap-siap nutup gerbang." Jala merengut. "Yaudah aku berangkat dulu. See you, Pi." "See you." Hamdan hanya bisa geleng-geleng kepala memandang Jala yang juga menjauh dari mobilnya dan berjalan menuju sekolah. Mobil Hamdan masih terparkir di depan gerbang sekolah anak-anaknya itu hingga mereka sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya. Hamdan baru bisa bernapas lega setelah memastikan mereka sampai di sekolah dengan aman dan tepat waktu. It was a kinda rough morning actually. Seragam Jala yang belum disetrika lah yang menjadi biang masalah dan menuai keributan di rumah tadi. Selain itu, Jala juga membuat mereka hampir terlambat karena ia memakan waktu yang cukup lama untuk bersiap-siap akibat bangun kesiangan. Alhasil, Lara yang merupakan seorang siswa teladan dan paling anti yang namanya datang ke sekolah terlambat, ngamuk dan menggedor-gedor pintu kamar Jala hingga kembarannya itu keluar dan protes keras akibat Lara yang dianggapnya mengganggu ketenangan. Tidak perlu ditanya, mereka jelas bertengkar. Rasanya Hamdan sampai migrain karena kedua anaknya yang berdebat dan sama-sama tidak mau mengalah. Pertengkaran mereka pun jadi lebih heboh ketika sarapan dan Jala mendapati toast miliknya yang asin bukan main hingga rasanya seperti makan bongkahan garam. Jala pun langsung tahu siapa dalang di balik toast asin tersebut, sehingga perdebatan tidak henti-hentinya dan Lara terjadi hingga di sepanjang perjalanan Hamdan mengantarkan mereka ke sekolah. Padahal ini baru hari pertama keduanya sekolah setelah libur panjang semester dan Hamdan sudah harus melewati kehebohan ini. Untuk hari-hari ke depannya, Hamdan yakin tidak akan jauh berbeda. Sebab dari dulu pun memang sudah begitu, tidak pernah tidak heboh di pagi hari sebelum anak-anaknya berangkat sekolah. Kadang kala, Hamdan merasa bangga pada dirinya sendiri. Dari Jala dan Lara TK hingga kini mereka sudah SMA, Hamdan lah yang setiap pagi menyiapkan keperluan mereka untuk sekolah sekaligus menghadapi perdramaan yang terjadi setiap paginya. Tidak bisa dikatakan mudah, tentu saja. Tapi syukurnya, Hamdan bisa melewati itu semua dengan baik meski ia hanya sendirian mengurus dan menghadapi kedua anaknya. It's not that easy to be a single parent, especially a single daddy. Namun, Hamdan bisa melalui itu semua dan seharusnya ia merasa bangga. Yah, walau terkadang rasanya lelah bukan main dan super pusing hingga tak jarang ia harus menenggak obat sakit kepala. Sebelum menjalankan mobilnya menuju kantor, Hamdan terlebih dahulu menghembuskan napas dan berujar pada diri sendiri, "You did well, Hamdan. You did well." Kata-kata itu merupakan mantra yang sering diucapkan Hamdan pada diri sendiri selama lima belas tahun lamanya ia menjadi seorang ayah. Bisa dibilang, mantra itulah yang menguatkan Hamdan selama ini. Menyemangatinya untuk selalu jadi ayah yang baik bagi Jalandra Aldari Erlangga dan Laraina Krasiva Erlangga; the loves of his life.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD