Bab 2

1112 Words
Nia terkikik sendirian sambil mengingat bagaimana ekspersi kedua pasang selingkuhan itu ia permalukan dan bagaimana ekspresi kedua orang itu ketika ia memilih membuka aib mereka di depan orang banyak. Sekali lagi Nia terbahak-bahak ketika membayangkan kedua orang itu pasti mendapatkan masalah setelah ia membongkar keburukan mereka. Setidaknya Nia berpikir jika ia tidak akan hancur sendirian. Ada dua orang lain juga yang akan ikut hancur bersamanya. "Itu akibatnya karena sudah mengkhianati aku. Ha-ha!" Sekali lagi Nia meneguk vodka langsung dari botolnya, sementara sloky yang ada di depannya ia abaikan begitu saja. Suara hentakan yang dimainkan seorang DJ terkenal membuat Nia larut dalam kebahagiaan dan juga kesedihan. Di tempat ini ia melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan juga rasa gundah atas pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang terdekatnya. Nia bangkit dari duduknya, berjalan menuju lantai dansa dan bergabung dengan orang-orang yang meliukkan tubuh mereka dengan bahagia. Hal itu pula berlaku pada Nia. Nia berteriak, menari, dan berpesta riang melupakan kesakitan yang di rasakannya. Aksi Nia tidak pernah luput dari perhatian seseorang yang sedari tadi memperhatikan Nia sejak awal gadis dewasa itu masuk ke dalam kelab malam ini. "Kamu kenal perempuan itu, Bro?" tanya seseorang di sampingnya. Dia menoleh seraya menggelengkan kepalanya. Dia memang tidak mengenal wanita itu, tapi tadi ia melihatnya di kantor. Wanita itu adalah wanita yang sama yang mempermalukan kedua pegawai di kantornya dan membongkar kebusukan yang dilakukan oleh salah seorang oknum karyawannya. "Dia seperti wanita patah hati. Kamu, tidak tertarik sama dia, Bro?" tanya temannya lagi penasaran. "Tidak. Aku ada istri di rumah." Pria itu menggeleng sebagai tanggapannya. Tidak ada perselingkuhan yang akan ia lakukan selama ia masih memiliki istri. Meski hasratnya tidak pernah tersalurkan, ia tidak akan menodai pernikahan mereka. "Ya ampun, Bro, istrimu sudah sakit-sakitan. Kamu sebagai pria dewasa tidak mungkin bisa menahan diri untuk tidak menyalurkan hasratmu ke perempuan." Temannya itu berceloteh seraya menggeleng menatap pria itu miris. "Aku pria setia. Aku akan tetap setia pada istriku." Pria itu, namanya Bima Sanjaya, berusia 38 tahun dan masih terlihat tampan serta gagah. Orang tidak akan mengira jika Bima,--sapaan akrabnya-- sudah berusia sekian dan memiliki tiga orang putra. Sekali lagi Bima menatap perempuan yang berada di kantornya tadi. Pria dewasa itu menelan ludahnya melihat tubuh molek perempuan itu. Sesuatu yang tidak seharusnya berdiri kini mulai menggeliat bangun meminta untuk di bebaskan. Bima tidak kuat jika terus-terusan berada di sini. Pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan temannya. "Mau ke mana, Bro?" Temannya bertanya tapi tidak dihiraukan oleh Bima lagi. Sementara Juan yang memanggil Bima tadi mendengkus melihat sikap temannya itu yang terlalu setia pada istri yang sudah tak sedap di pandang. Juan Jendral Hariez, pria bule keturunan jerman dan menetap di Indonesia sudah lebih dari dua puluh tahun itu mengalihkan tatapannya pada Nia yang masih menari liar di dance floor. Juan tersenyum dan bangkit dari duduknya menghampiri Nia. Kali ini Juan memiliki firasat bagus tentang perempuan ini dan temannya. Juan, pria lajang berusia 32 tahun dan berbeda usia 5 tahun dengan Bima, adalah pria yang suka melanglang buana dari perempuan satu ke perempuan lainnya. Tidak mempercayai pernikahan dan tidak mempercayai yang namanya cinta. Bukan karena ia pernah terluka oleh perempuan, tapi lebih karena ia sendiri sering melihat dan mendengar tentang kandasnya sebuah hubungan baik pacaran, pertunangan, atau pernikahan dari orang-orang sekitar. ______ Suasana gelap menyambut Bima ketika pintu rumah sudah terbuka. Mata tajamnya masih dapat melihat sekitar melalui cahaya yang datang dari luar ruangan atau kamar lain. Bima menaiki tangganya menuju lantai dua dimana kamar sang istri berada. Setelah tiba di lantai dua, Bima membuka pintu kamar dan tertegun melihat sosok wanita kurus masih duduk dengan tenang di tempat tidurnya. "Kenapa belum tidur?" tanyanya melangkah masuk. Ditariknya sebuah kursi kecil untuk ia duduki di samping tempat tidur istrinya. Hera--istri Bima-- menyambut kedatangannya dengan senyum seperti biasa. "Aku nunggu kamu, Mas." "Untuk membahas soal itu lagi?" Bima mendengkus untuk yang kesekian kalinya dengan pembahasan mereka. "Mas, izinkan aku berbakti sama mas. Aku sebagai istri sudah tidak berguna lagi. Aku mohon mas untuk menuruti permintaanku kali ini," ujar Hera penuh permohonan. "Aku menolaknya, Hera. Aku sudah katakan kalau aku tidak berniat untuk menikah lagi," tolak Bima. "Demi kamu dan anak kita, Mas. Menikahlah agar istri barumu bisa merawat kamu dan ketiga putra kita. Mereka masih butuh sosok ibu yang akan membimbing mereka. Aku mohon, Mas." Hera masih keukuh untuk terus membujuk agar Bima menikah lagi. Dirinya di vonis terkena penyakit diabetes oleh dokter sejak dua tahun yang lalu. Kakinya pun sudah tidak bisa berjalan normal. Tubuhnya yang dulu terawat kini kurus kering dan tidak menyisakan lemak. Rambut pendeknya semakin tak terawat seperti saat ia masih sehat. Hera sudah sering sekali memohon pada suaminya untuk menikah lagi agar kebutuhan sang suami terpenuhi. Semenjak sakit, Hera tidak bisa melayani Bima baik keseharian atau di tempat tidur. Hal itulah yang membuatnya memutuskan untuk memberi izin suaminya menikah lagi. Tapi, seperti biasa, suaminya akan menolak saran Hera. "Tapi--" "Mas, aku mohon untuk sekali ini dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang kamu dan anak-anak saja. Tapi, juga seluruh keluarga kita," sela Hera. "Aku mau kamu melanjutkan keturunan kamu, Mas, seperti yang kamu cita-citakan ingin memiliki tujuh orang anak. Sedangkan aku sudah tidak bisa mengabulkanmya lagi." Hera menatap Bima sedih. Bima menatap istrinya tajam. Meski sudah mendapat izin bukan berarti ia langsung menyetujuinya. Bima tidak ingin menyakiti Hera. "Aku tidak akan--" "Aku tahu kamu pria setia, Mas. Aku tahu kamu tidak akan mengkhianati pernikahan kita. Aku juga tahu kamu tidak ingin menyakiti aku." Tangan kurus Hera menarik tangan suaminya dan menggenggamnya erat. "Aku juga pasti akan merasa cemburu dan sakit hati kalau melihat kamu dan istri barumu. Aku tidak mengingkari soal itu." Hera tersenyum seraya menghela napas. Sementara air matanya terus mengalir dan membasahi tangan yang terkait tersebut. "Tapi, aku akan terus merasa tertekan jika memikirkan keadaanmu setiap hari seperti apa. Aku mohon mas mengerti dengan keinginanku." Di tatapnya lekat mata sang suami yang juga membalas tatapannya. "Cari istri yang kamu inginkan. Tapi, aku minta satu hal sama mas," ujar Hera pada Bima. "Hera, kamu tahu 'kan kalau aku tidak--" "Jangan lupakan aku dan anak-anakmu kalau sudah punya istri baru. Tetap rawat mereka seperti sebelum kamu punya istri kedua." Bima tertegun dengan tekad bulat Hera yang terus meminta untuknya menikah lagi dan mencari istri kedua. Bima bingung apa yang akan ia putuskan. Pikirannya terus mendiktorin agar ia tidak mengkhianati pernikahan mereka. Bima menghela napas berat seraya menatap istrinya yang terus berusaha agar mengikuti sarannya. "Aku akan mencari wanita yang bisa menjadi istri keduaku," tandas Bima tegas. Hera tersenyum lebar menatap haru suaminya yang menuruti keinginannya. Meski ada rasa sakit yang pelan-pelan menyusup ke dalam relung hatinya, namun Hera tetap berusaha untuk kuat demi suami dan juga ketiga putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD