06. Dalam Pantauan

1122 Words
Sean memberi perintah kepada Freddy untuk mengirimkan anak buahnya meluncur ke apartement Ana. “Awasi Miss Rose selama 24 jam.” Dia tidak mau Ana berdekatan dengan Luke atau lelaki lain. “Sesuai dengan perintah Anda. Miss Rose, sedang dalam pengawasan, Sir.” Tutur Freddy. “Bagus,” ucapnya dalam posisi memunggungi. Sean tidak tertarik pada apa pun kecuali menguncikan tatapannya pada gemerlapan lampu Kota Roma. “Sir, bagaimana mengenai jadwal penerbangan Anda ke Seattle? Apakah Anda mau saya jadwalkan besok pagi?” Melirik Freddy sekilas. Matanya berbicara. Pergilah. “Baik, Sir. Saya permisi.” “Aku tidak mau meninggalkan Roma, dan memberi kesempatan Luke mendekati Ana,” ucapnya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian. Dia kembali menyumpal mulutnya dengan batang rokok lalu menyalakannya. Menghisapnya kuat-kuat membuat kepulan asap terbang bebas. “Seandainya hatiku bisa terbang bebas seperti kepulan asap ini.” Mengibaskan tangannya di antara kepulan asap membuatnya bercerai berai. “Nyatanya, hatiku terpenjara oleh masa lalu kita, Ana.” -- Ana sedang berbincang dengan Luna melalui sambungan telepon. Kali ini, ia menggeram kesal karena Luna membohonginya secara terang-terangan mengenai rivalnya, Caitlin. “Sudahlah Ana, jangan marah-marah.” “Bagaimana aku tidak marah padamu, Luna. Kau mengatakan padaku bahwa Kate di undang secara langsung oleh, Luke. Nyatanya, dia tidak ada di sana.” Suaranya meninggi. “Dasar pembohong.” “Itu artinya keberadaan Kate mengancammu, kan?” “Itu tidak benar.” Sinis Ana. Luna mencibir. “Buktinya baru kugertak saja kau sudah ketakutan.” “Memuakkan.” Memutus sambungan telepon. Ana meraih sweater tipis lalu mendekati jendela dan membuka tirainya. Gemerlapan Kota Roma terpampang nyata. Harusnya pemandangan seperti ini membuat hatinya bahagia. Nyatanya, tidak. Semenjak pertemuannya dengan Sean Ell Benedic, yang misterius juga tatapan mata dan aksen suara yang mengingatkannya pada Harry. Dunia Ana tidak baik-baik saja. Ana meremas dadanya kuat-kuat lalu mengepalkan tangannya hingga darah segar menetes akibat tertancap kuku sendiri. Hal seperti ini pun tak membuatnya merasakan perih, akan tetapi luka di masa lalu yang kembali ke permukaanlah yang terasa menyayat. Mata Ana memanas mengiringi air mata mencuat keluar membasahi pipi putih mulus. “Tuhan, siapa sebenarnya, Mr. Benedic? Setiap kali berdekatan dengannya.” Kembali meremas dadanya kuat-kuat. “Aku merasakan sedang berada dekat dengan Harry.” Ana memejamkan matanya mencoba mengubur kembali kenangan demi kenangan. Alhasil, kenangan paling menyakitkan tersebut membuat air mata mengucur deras. -- Sinar pagi mengintip malu-malu melalui tirai jendela menyapu wajah cantik yang sedang bergelung di balik selimut tebal. Sinarnya yang terasa menyilaukan memaksa sepasang manik biru terbuka sempurna. “Jam berapa ini?” Melirik jam weker yang ia letakkan di atas nakas. “Baru pukul 06.00.” Kembali memeluk guling. Hampir saja kembali mengarungi alam mimpi, terdengar suara bel apartement. Ana menggeram kesal. “Oh My God, mengganggu saja.” Bel apartement kembali berdering. “Sebentar.” Teriaknya sembari memakai sweater untuk menutupi gaun tidur bertali spaghetti. Sebelum membuka pintu utama. Lebih dulu melirik melalui intercom. Ana mengernyit. “Siapa lelaki ini?” Ia tidak mengenali lelaki yang berdiri dalam posisi memunggungi. Ana memutuskan tidak mau membukakan pintu karena lelaki tersebut tidak mau menunjukkan wajahnya. Sial, bel kembali berdering. Jika tamu tersebut tidak segera di temui. Pastinya akan sangat menganggu. Akhirnya membuka kasar pintunya. “Hello, siapa Anda? Bisakah Anda berbalik dan segera katakan, apa tujuan Anda datang ke apartement saya?” Suaranya sinis. Perlahan-lahan lelaki bertubuh kekar tersebut memutar tubuh. Ana terkesiap. Matanya melebar. Tidak percaya dengan lelaki yang berdiri di hadapannya. Mulutnya pun menganga. Jemari kekar terulur menangkup bibir Ana. “Jangan biarkan lalat masuk, darling.” “Nick, kau mengejutkanku.” Memeluknya erat. Nick balas memeluk lalu mengecup puncak kepala dalam dan lama. “Aku merindukanmu. Sangat rindu.” “Aku juga.” “Beberapa waktu lalu Luna berkunjung ke Venesia. Kenapa kau tidak ikut, hm?” Mengusap-usap rambut Ana. “Aku pulang ke Napolli.” “Bagaimana kabar, Mr. Hitman, dan Mrs. Maria.” “Cukup baik.” Sinisnya. Mengurai pelukan. “Terdengar dari suaramu.” Menelisik wajah cantik. “Apakah kau bertengkar dengan mereka?” Aku kesal dengan mereka, karena mereka selalu saja menyudutkanku untuk memakai jasa bodyguard. Kau tentu tahu kan aku sangat membenci laki-laki yang mengekoriku selama 24 jam. Itu memuakkan. “Ana, ada apa?” Mengusap-usap pipi Ana. “Masuklah.” Memiringkan tubuhnya memberi akses bagi Nick masuk ke dalam apartement nya. Lelaki yang mengawasi Ana. Sedang memotret dirinya dan Nick, lalu mengirimkannya kepada Tuan nya. -- Sean menggeram kesal melihat foto-foto yang anak buahnya kirimkan. Kedua tangannya mengepal erat sampai iPhone dalam genggaman hampir remuk karenanya. “Sir, mobil sudah siap.” Tutur Freddy. Mengayunkan sebelah tangan. Freddy paham dengan maksud Tuan nya. Dia membungkuk lalu pergi. “Apakah lelaki ini kekasih mu?” Garis bibir membentuk senyum miris. “Cepat sekali kau membuka hatimu sementara hatiku saja-” segera meninggalkan kamar menuju sedan hitam yang menunggu dengan gagahnya. Melihat kedatangan Tuan nya. Freddy membukakan pintu samping. Setelah Tuan nya masuk. Barulah dia masuk dan duduk di sisi kursi kemudi. “Jalan.” Perintahnya pada sopir. “Tambah kecepatan.” Perintah Sean. Setelah membelah pusat Kota Roma. Mobil yang membawa mereka pergi sampai pada pesawat jet yang menunggu dengan gagahnya. Sean melihat Luke sampai lebih dulu. Bibir kokoh menyungging senyum puas. “Bagus, rencanaku berhasil.” Waktu itu dia mempengaruhi Luke supaya tidak pergi ke apartement Ana. Dia memberi saran supaya Luke mengundangnya ke Seattle untuk berlibur. Beruntung Luke setuju. Sekarang, tinggal memikirkan cara supaya jadwal Ana sibuk dan membatasi pertemuannya dengan Luke. “Hai, Sean, kupikir kau sudah kembali ke Seattle.” Memasang wajah angkuh. “Belum, aku berubah pikiran.” Luke pindah tempat duduk di sisi Sean. “Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi sehingga-” Menolehkan wajahnya. Matanya berbicara. Tidak. Sean membuka layar laptop. Luke mengira rekannya tersebut sedang bekerja. Dia memutuskan pindah tempat duduk. Di saat bersamaan Andrew tiba. “Sorry, aku terlambat-” melirik jam di pergelangan tangan. “Ehm, lima menit.” “Tak masalah.” Jawab Luke. Sean mengacuhkan ke-2 rekannya yang sedang berbincang. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Masa bodoh. Dia sedang fokus pada layar laptop berselancar pada laman website. Jari jemari nampak lihai mengetikkan, Anastasia Rose. Seketika berita tentang Ana muncul. Tentang usia, keluarga, karir juga statusnya yang masih ... “Single.” Memutar bola matanya. “Kalau begitu siapa laki-laki yang masuk ke apartement mu?” Gumamnya. “Freddy, kemarilah.” Freddy duduk di sebelahnya. Sean mencondongkan wajahnya berirama bisikan. Freddy mengangguk tanda mengerti. “Pergilah.” Freddy sedang memberi perintah kepada anak buahnya yang di tugaskan untuk mengawasi Ana. “Pastikan informasi mengenai siapa laki-laki yang sedang bersama Miss Rose, sampai ke ponsel Mr. Sean siang ini juga.” “Baik, Sir.” Jawab lelaki tersebut dari seberang telepon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD