2. Bunga

1130 Words
"Ya, sudah, biar Mama yang antar kalian ke sekolah pagi ini." Amelia mengelus puncak kepala Arusha dengan penuh kasih sayang. "Sashi ga apa kalo kepagian berangkat sekolahnya?" lanjut Amelia sambil menatap lembut pada anak perempuannya yang pendiam dan pemalu itu. "Iya, ga, apa." Sashi seolah tahu apa yang menimpa kedua orang tuanya. Sashi semalam tidak sengaja mendengar kedua orang tuanya berbicara. Ia memang belum paham apa yang dikatakan sang mama 'perceraian' itulah yang didengarnya. Hanya saja, gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Arusha itu merasa sedih. Ia takut akan kehilangan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. "Nah, Aron, kita antar kakak ke sekolah, ya. Mama pesan taksi online dulu," kata Amelia membuat anak bungsunya kini berbinar-binar karena bahagia. "Holeee ... ikut cekolah Kakak Alu dan Kakak Sashi." Aron kini kegirangan sambil mengangkat kedua tangannya dan hendak melompat. Amelia hanya tersenyum, ia bahagia melihat ketiga anaknya kali ini baik-baik saja. Wanita yang kini sudah siap dengan baju berkerah dan celana panjang berbahan katun berwarna hitam itu segera mengambil ponselnya. Jari-jemarinya yang lentik itu dengan cepat mengetikkan pesanan sebuah mobil taksi online untuk mengantar kedua anak kembarnya sekolah. Pagi, masih sangat pagi untuk ukuran anak SD berangkat sekolah. "Tunggu sebentar, Mama ambil dompet dan tas juga siapkan s**u dan air putih untuk Aron. Kalian jangan lupa bawa bekalnya," kata Amelia sambil berjalan menuju ke kamarnya. Saat masuk ke dalam kamar, terdengar suara mandi terburu-buru. Arsa, ia mandi sangat terburu-buru saat ini. Entah, semalam tidur pukul berapa. Sebab, tidak biasanya Arsa terlambat bangun dan tergesa-gesa. Ponsel Arsya berkedip berulang kali. Nama seorang wanita tertera pada layar benda pipih itu. Nama kesayangan yang membuat hati Amelia merasakan sakit yang luar biasa. Arsa memberi nama Prita dengan sebutan Bungaku. Sepintas, Amelia membaca pesan yang terpampang dalam layar tersebut. Sebuah pesan dari wanita yang kini juga nasibnya sedang diujung tanduk. Pesan untuk membuat drama. Tak terasa air mata Amelia menetes. "Ka-kamu ...." Arsa tampak gugup saat Amelia sedang menatap ponselnya. Amelia buru-buru menghapus air matanya dan segera mengambil tas selempang lamanya. Tas yang dikirim oleh Diana--sahabat baiknya saat SMA dulu. Tas yang menjadi kesayangan mereka bertiga bersama dengan Tia. Arsa tampak kelimpungan saat ini. "Tenang saja, aku tidak membuka ponselmu. Lagi pula ponsel itu ada pasword rahasianya." Amelia berusaha tersenyum meski ingin sekali marah. "Mel ... aku bisa jelaskan semuanya. Ada yang harus kamu dengar saat ini," kata Arsa dengan panik karena melihat Amelia tidak baik-baik saja. "Maaf, aku akan mengantar anakku ke sekolah dulu. Pesanan mobil online-ku juga lima menit lagi sampai." Amelia menolak ajakan Arsa untuk berbicara saat ini. "Mereka juga anak-anakku, Mel. Tak bisakah kamu memberikan aku waktu hingga semua masalah ini selesai?" tanya Arsa berusaha lembut, tetapi Amelia tetap berjalan keluar dari kamar. Arsa tidak bisa mengejar Amelia saat ini. Ia harus ke kantor dengan cepat. Berita perselingkuhannya langsung menyebar dengan pesat bak debu yang bertebaran dan semua orang langsung tahu. Arsa tidak tahu bagaimana bisa Fajar, atasannya sendiri bisa memergokinya kala itu. "Argh ...!" Arsa berteriak karena sangat frustrasi saat ini. Teriakan Arsa terdengar hingga ruang tamu. Anak-anak sangat terkejut saat mendengar suara keras dari sang ayah. Aron langsung memeluk Arusha karena ketakutan. Amelia juga terkejut mendengar suara teriakan sang suami. "Mama ... Papa kenapa?" tanya Sashi dengan mata berkaca-kaca. "Eh, mungkin Papa kaget ada cicak. Yuk, kita berangkat, itu mobil online-nya sudah nungguin kita." Amelia menunjuk ke depan di mana ada sosok sopir yang sudah turun dari mobil yang dikemudikannya. Mereka berempat pun segera menuju ke halaman. Ada sebuah kebiasaan yang mendadak hilang dari ketiga anak-anak Amelia. Mereka kini sudah sangat jarang mencium punggung tangan papa mereka. Alasan kesibukan membuat Arsa juga lupa memperhatikan ketiga anaknya. "Maaf, Pak, jadi menunggu lama." Amelia merasa tidak enak hati pada sosok sopir muda dan tampan itu. "Ga, apa, Bu. Saya barusan datang juga. Mari, silakan masuk." Sopir itu mempersilakan Amelia dan ketiga anaknya masuk ke dalam mobil. Arusha duduk di kursi depan samping kemudi. Kebiasaan ketika mereka semua bepergian bersama. Sedangkan Amelia dan kedua anaknya berada di kursi penumpang nomor dua. Entah kapan terakhir keluarga mereka naik satu mobil yang sama. Amelia kini justru berkaca-kaca saat mengingat nasib rumah tangganya yang diambang kehancuran. "Nah, sudah, sampai," kata sopir itu dan membuat Amelia terkejut.. "Wah ... ayo kita turun. Ini ongkosnya, saya bayar cash saja," kata Amelia sambil menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan. "Ini gratis, Bu. Aplikasi sedang promosi besar-besaran." dusta sopir itu yang entah tujuannya apa. "Wah ... saya kok ga perhatikan, ya, Pak, kalo ada gratis kaya gini. Terima kasih, semoga ke depannya semakib maju dan banyak rezekinya," doa Amelia dengan tulus. Mereka berempat pun turun dari mobil taksi online itu. Tanpa menyadari siapa sebenarnya sosok sopir taksi itu. Amelia merasa tidak mengenal sosok laki-laki muda itu. Entahlah, pernah lihat, tetapi di mana. "Ma ... Mama kenal sama Om tadi?" tanya Sashi yang saat ini tangannya digandeng oleh Amelia. Amelia menoleh ke arah sang putri. Ia tidak paham siapa yanh dimaksud olehnya. Apa maksudnya sopir taksi tadi? Rasanya untuk apa sang putri menanyakan hal itu? "Om? Om siapa?" tanya Amelia dengan bingung. "Om yang tadi nyupirin kita," kata Shasi sambil memegang tangan sang mama. "Oh, enggak. Baru lihat pagi ini saja. Emang kenapa?" tanya Amelia yang mendadak penasaran lalu menoleh ke belakang mencari sosok yang ditanyakan oleh sang putri. "Om itu dari tadi liatin Mama dari spion depan. Pas aku ga sengaja liat, Om itu senyum ke aku," adu Sashi pada sang mama. "Oh, mungkin karena tadi udah dekat, makanya Om supirnya liatin Mama." Amelia tidak mau memikirkan banyak hal saat ini. "Nah, itu kelasnya, Mama, antar sampai sini, ya. Nanti kalo pulang sekolah, Mama, jemput lagi. Jangan pergi-pergi sebelum Mama datang," pesan Amelia pada kedua anak kembarnya. Kedua anak kembarnya hanya mengangguk sebagai jawaban. Amelia paham beberapa waktu belakangab ini, kedua anaknya mendadak menjadi pendiam. Mereka berdua seolah paham dengan yang menimpa kedua orang tuanya. Benar atau tidak, kedua anaknya pasti pernah sesekali melihat mama mereka menangis. Sementara itu, Sultan masih berada di depan gerbang sekolah kedua anak Amelia. Ia mengamati Amalia dari jauh. Tentu, wanita yang telah lama mencuri hatinya itu tidak akan sadar. Sultan--kakak tingkat beda jurusan dengan Amalia saat kuliah dulu. Sultan Anggara Permana, sosok sederhana yang sebenarnya kaya raya. Sejak kecil sudah terbiasa hidup sederhana. Begitulah didikan kedua orang tuanya. Hingga usia tiga puluh enam tahun ini, ia masih betah melajang. Sultan, sosok karismatik dengan sepasang lesung pipi menambah daya tarik bagi kaum hawa. Tidak hanya itu, tatapan matanya yang teduh banyak membuat lawan jenisnya terpikat. Tak banyak yang tahu tentang kehidupan pribadinya. Ia sosok pribadi yang sangat tertutup. 'Mel, kamu masih sama seperti dulu. Cantik dan baik hati, dua hal yang bikin aku ga bisa move on pada gadis lain. Hampir empat belas tahun aku menunggumu, apakah juga akan sia-sia?' Sultan hanya bermonolog di dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD