Suara kartun anak-anak yang menggemaskan sama sekali tidak membuatku tenang. Di sofa, aku masih berlutut. Berharap-harap cemas sambil menatap layar ponsel. Mengabaikan kernyitan mama yang mondar-mandir sambil membawa sapu dan kain pel. Mungkin beliau mengerti kalau anak gadisnya ini sedang dirundung kegalauan hati. Bayangkan saja, ini sudah berminggu-minggu hampir sebulan sejak jobfair kemarin, namun selama itu pula aku sama sekali belum menerima kabar lagi soal lamaran yang telah kusebar di beberapa perusahaan.
Please! Aku benar-benar tidak ingin mendapat kabar buruk sekarang.
Namun sepertinya tuhan berkehendak lain. Kabar itu datang sepuluh menit kemudian. Napasku terembus panjang, tanda penyerahan saat membaca email yang kalimat pertamanya saja sudah merupakan permintaan maaf. Daripada kulanjutkan dan semakin sakit hati, kumatikan data seluler dan menaruhnya sembarangan. Aku menelungkupkan kepala di bawah bantal sofa. Menangis, meratapi nasib yang entah kenapa selalu sial. Ini lebih buruk. Biasanya aku lolos di tahap seleksi, baru ditendang saat interview. Tapi, sekarang peluangku sirna sedari awal.
Sepertinya benar. Aku memang tidak terlalu pintar, tidak bisa diandalkan, sulit beradaptasi dan tidak punya kemampuan.
Intinya, aku tidak berguna.
"Gika, kalau nggak punya kerjaan, bantuin mama, dong! Siram-siram tanaman, cuci piring, atau apalah! Mama eneg lihat kamu duduk sambil bengong!" Terdengar suara dari dapur. Seruan Mama tak langsung membuatku beranjak dan malah samakin menenggelamkan tubuhku, tidur menelungkup di sofa.
Mama berdecak pelan lalu berjalan cepat sambil membawa spatula dan berhenti tepat di depan dengan dua tangan berkacak pinggang.
"Gika! Bangun! Astaga, Gusti! Kamu kalau nggak mau ker—"
"Gika ditolak lagi, Ma!" Aku memekik kesal. Kata-kata 'kerja' sudah terdengar horor di telinga. Aku bangkit, memandang Mama yang langsung syok melihat bekas air di pipiku.
"Gika nggak bakal kerja karena Gika nggak becus kerja! Gika itu nggak pintar, makannya ditolak terus! Buat apa dulu capek-capek kuliah? Buang tenaga, buang duit! Mending duitnya buat nikah saja! Biarin Gika jadi ibu rumah tangga yang nurut sama suami daripada mondar-mandir cari kerjaan nggak jelas seperti ini. Kalau begini, kan, jadi sia-sia!" Cerocosku mengeluarkan semua uneg-uneg serta kekecewaan. Jujur, aku lebih eneg melihat diriku yang lontang-lantung di rumah dan menyia-nyiakan waktu.
Mama duduk dan langsung memeluk. Ditepuknya punggungku pelan, mencoba menenangkan tubuhku yang masih bergetar. "Cup, cup, cup, siapa yang bilang Gika nggak becus? Siapa, hah? Biar mama hajar sekalian sini! Gika itu pintar, cantik, dan bisa diandalkan, makannya kamu jangan rendah diri terus."
Aku hanya diam. Mama pasti bicara begitu karena aku anaknya.
Mama melanjutkan lagi, "Kalaupun sekarang belum beruntung, itu artinya tuhan ingin Gika di rumah dulu, bantuin mama. Nanti kalau sudah waktunya, Gika pasti bisa menemukan tempat paling nyaman, ngerti?" Tanyanya melepaskan pelukan lalu memandangku dengan dua mata teduh.
Praktis, Aku mengangguk. Mama tersenyum simpul.
"Kalau gitu, kamu mandi dulu sana. Jalan-jalan saja. Refreshing. Kalau kamu di rumah terus, kapan dapat jodohnya?"
Mulutku mengkerucut. Lagi-lagi jodoh yang dibahas. Udah tahu anaknya tidak secantik Selena Gomez juga tidak cerdas setara Maudy Ayunda. Daripada cari sendiri, aku lebih rela dijodohkan asal tidak dengan om-om umur 60-an atau orang pengangguran. Mau makan apa anak kita kalau dua-duanya sama-sama menganggur? Makan batu?
Baru saja aku akan melangkah mengambil handuk, ponselku berkedip dua kali. Aku mengernyit. Orang dari zaman apa yang sampai sekarang masih mengirim SMS?
Penasaran, kubuka pesan yang ternyata dari Rian.
Sambel Rujak
Heh, kemana saja, sih, lo? Kok, nggak balas pesan gue? Jadi nggak kerja di tempat gue?
Buset, deh! Ini gue kayak nggak guna banget jadi bos. Harusnya lo yang mohon-mohon sama gue, bukan gue yang stress cari lo. Tahu diri sedikit, dong, jadi orang.
Senyumku terulum membaca pesan itu. Meski bahasanya tetap menyebalkan, tapi setidaknya mampu membuatku tertawa dan mengalihkan sedikit kegalauan hati.
Aku hampir lupa kalau aku masih memiliki satu harapan lagi!
***
Outlet baru Patronum belum lama beroperasi. Penataannya masih sedikit amburadul. Di sudut-sudut ruangan ada tumpukkan kardus berserakan yang belum sempat dibersihkan. Meski begitu, tempat ini tetap layak disebut toko bergaya kekinian. Perabotan dan aksesori yang dipilih terlihat fancy dengan wallpaper garis-garis warna-warni yang dilengapi etalase-etalase sederhana dari kaca dan stainless steel. Pas untuk memamerkan berbagai sepatu yang modelnya kebanyakan berdesain sporty dan santai.
Mbak-mbak penjaga kasir berkaos putih dengan label 'Patronum' di d**a tersenyum ramah. Aku balas tersenyum.
"Bisa saya bantu, Kak?" Tanyanya dengan senyum lebar.
"Ehm, saya mau bertemu Rian. Katanya, langsung disuruh ke toko ini."
"Kantor Mas Rian ada di atas, Kak," ucapnya menunjuk tangga yang terletak agak ke dalam. "Perlu saya antarkan?"
Aku menggeleng. Menolak karena ada pelanggan lain yang masuk dan mungkin lebih membutuhkan bantuannya. Maka, langsung kulangkahkan kaki menaiki tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Cukup minimalis dan tidak memakan banyak tempat, hanya berupa trap-trapan yang menempel langsung di tembok dengan pegangan kayu.
Jika di lantai satu kita bisa lihat sepatu-sepatu keren dan lucu, disini tampak menjemukan dengan kubikel-kubikel kecil yang terisi penuh dengan kertas, printer, dan komputer. Belum lagi di setiap inci pada sisi ruangan, tergeletak kardus-kardus berisi map dan stok perlengkapan kantor lainnya. Pandanganku beralih kearah meja panjang yang berisi coffee maker, juga Berbagai jenis teh dan kopi instan yang tersedia di pantry. Sementara teko listriknya dibiarkan menyala dan sedikit beruap, tanda air akan mendidih. Kemudian, di samping ada lorong yang tepat di ujungnya terdapat satu ruangan terbuka. Mungkin gudang barang. Tampak rak-rak tinggi berisi kardus-kardus sepatu yang tersusun rapi disana.
"Hai!"
Spontan, aku menoleh memandang gadis berambut pendek sebahu dengan tampilan casual. Jeans dan kemeja longgar warna putih. Kepalaku terangguk, menyapa.
"Lo pasti anak baru. Udah ditunggu Rian, tuh."
"Mejanya dimana, ya, Mbak?"
Perempuan itu menunjuk satu ruangan berdinding kaca yang terletak di sebelah lorong. Samar-samar aku melihat Rian berdiri membaca sesuatu di depan rak file di dalam ruangannya. Meski berdinding kaca, aku tidak bisa melihat keseluruhan karena stiker abstrak ditempel di tengah dinding yang menghalangi pandangan.
Sempat aku berterima kasih padanya, lalu berjalan menuju ruangan yang ia tunjukkan tadi. Aku melongok kedalam. Rian masih belum beranjak dari tempatnya. Setelah aku berdehem, barulah ia sadar dan menoleh.
"Eh, sorry. Nggak sadar lo udah datang," katanya sambil menutup map yang entah apa isinya, lalu berjalan, kemudian duduk di balik meja.
Jika kebanyakan bos besar memiliki meja luas dan kursi bersandaran tinggi, maka meja dan kursi di ruangan ini terkesan simple. Hanya meja kayu minimalis warna krem dengan laci-laci longgar. Benda diatasnya tidak berbeda dengan meja kubikel di depan. Monitor (ada pula laptop dan tablet), printer dan tempat map. Jangan lupa, vacuum cleaner mungil dan tempat sampah otomatis di bawah kaki meja. Ruangan ini benar-benar cocok dengan sifat si pemilik yang praktis dan perfeksionis.
"Mau berdiri sampai kapan?"
Aku tersadar dalam sekejap, menghalau apapun di pikiran. Kulangkahkan kaki, lantas duduk tepat di depan meja Rian.
"Kayaknya kantor lo sibuk banget," kataku. Dia melirik sekilas, kemudian kembali menatap layar monitor.
"Iya. Baru pindahan kantor dan toko juga baru buka. Jadi, ya...agak berantakan."
"Memangnya dulu kantor kalian dimana?"
"Di kontrakan," jawabnya. "Lo ngerti pajak juga, kan?"
Aku mengangguk. "Gue ada sertifikat Brevet Pajak," infoku, lalu mengulurkan salinan sertifikat yang kumaksud.
Dia membaca sekilas sebelum menaruhnya di atas meja. "Nanti, lo tanya Radiv untuk detail kerjaan disini."
"Oke," aku mengangguk lagi. Kubuka tas dan mengambil map berisi CV, transkrip nilai dan dokumen-dokumen lain yang biasanya dibutuhkan untuk melamar pekerjaan. "Nih, surat lamaran, CV, transkrip nilai dan lain-lainnya."
Tanpa menerima, tangannya menunjuk ke atas meja. "Taruh situ."
"Lo nggak mau ngecek dulu sebelum gue masuk?"
"Nanti aja."
"Yakin?" tanyaku lagi memastikan dengan tatapan curiga. Siapa tahu jahilnya kumat dan ternyata lowongan itu cuma omong kosong saja. Udah tidak punya kerjaan, ditipu pula. Malu, dong!
"Iya, bawel. Gue mau lihat cara kerja lo dulu."
"Habis, lo kayak nggak serius kasih gue kerjaan."
"Lo pikir perusahaan gue abal-abal, sampai sembarangan nge-hire orang?" katanya sedikit tersinggung. Ia mengalihkan pandangan dari monitor, ganti menghadapku. "Awas aja kalau nggak becus, langsung gue tendang dari sini."
Praktis, aku merapatkan bibir. Kalau saja bukan calon bos, sudah lebih dulu kutendang dia sebelum ia menendang ku.
Lihat saja nanti. Lo pasti akan mengakui otak gue yang brilian!
***
"Gue Radiva." Gadis berambut sebahu itu tersenyum ramah. Langsung kubalas uluran tangannya
"Gika, Mbak."
Ia terkikik geli, membuat bahunya bergetar naik turun, sementara mata sipitnya membentuk bulan sabit.
"Nggak usah panggil 'Mbak' kali. Panggil Radiv aja. Gue seumuran sama lo dan Rian."
Aku hanya terkekeh pelan menanggapi. "Kenal Rian udah lama?"
Kepalanya terangguk. "Yups! Dari Kuliah," sahutnya lalu menggeser kursi, kembali ke tempatnya. Ada empat kubikel yang saling mepet dan berhadapan di tengah ruangan ini. Kubikel kami (aku dan Radiv) bersebelahan, sementara di depan milik dua orang lainnya. Kalau tidak salah namanya Seno dan Angga.
"Gue, Rian sama Seno satu kampus. Kalau Angga teman satu komunitas game Rian, tapi kita sering kumpul bareng." Jelasnya lagi.
Kepalaku terangguk-angguk. "Jadi, cuma gue yang baru disini?"
Radiv berganti menulis sesuatu di memo. "Bisa dibilang begitu. Kita berempat udah kerja di Patronum sejak pertama berdiri. Ehmm, sekitar lima tahunan lebih mungkin? Eh, ini kerjaan lo, ya," katanya seraya memberikan memo itu padaku.
"Disini cuma ada empat orang. Seno bagian gudang dan pembelian bahan, Andra bagian desain bantuin Rian dan ngurus website, sementara gue awalnya handle pembukuan, tapi agak overload karena harus mengurus ini-itu di marketing. Makanya, gue bersyukur banget ada lo. Rian itu ribet dan skeptisan. Dia cuma hire orang yang memang dipercayai doang."
Aku meringis mendengar penuturannya. Yah, sejak kecil aku tahu kalau pria itu memang perfeksionisnya minta ampun. Alasan itu yang membuat kami tidak henti-hentinya berdebat dan bentrok karena aku memang sedikit serampangan dan masa bodoh. Makanya, aku sedikit ragu saat dia menawariku pekerjaan. Apa motivasinya bisa-bisa menerimaku jadi salah satu karyawannya?
Percaya? Halah! Pret!
Sembari menunggu Radiv selesai merekap pekerjaannya yang akan dilimpahkan padaku, aku memandang ke sekeliling ruangan yang sepi.
"Yang lainnya kemana, Div?"
"Seno ngecek pabrik, kalau Angga…biasa lah dia sering ilang-ilangan gitu. Paling juga makan di warteg depan sana."
Aku hanya mangut-mangut mendengar penjelasannya.
"Gika!"
Aku memutar tubuh. Menemukan Rian yang sedang memakai jaket.
"Ikut gue keliling. Ngecek toko."
"Kok sama gue?"
"Biar lo tahu kondisi di toko lain lah."
"Harus sekarang banget?"
Tak berniat menanggapi, pria itu langsung berjalan begitu saja tanpa menunggu. Cepat-cepat aku memasang fantofel. Ini yang tidak kusuka dari pekerjaan formal. Harus memakai sepatu berhak yang membuat tumit sakit.
Aku berlari kecil, menghampirinya yang ternyata masih berdiri di ambang pintu. Sebelum mendahuluinya, kudengar ia memanggil. Aku menoleh, lalu mengernyit tak suka saat dengan kurang ajar dia meneliti penampilanku dari atas ke bawah dengan tatapan tajam dan kerutan di dahinya.
"Apaan sih!?" Kucoba menghidari pandangannya.
"Lo pakai baju kaya gitu?"
"Memang kenapa?" Wajar kan orang kerja pakai blus dan rok span?
"Pinjam bajunya Radiv sana. Lain kali pakai jeans panjang, celana atau pakaian yang longgar aja."
"Hah?" Aku menatapnya tak mengerti.
Lalu, dia kembali melanjutkan, "Untuk pakaian, pakai yang santai aja. Jangan model yang kayak gitu. Pikiran orang nggak ada yang tahu."
***