Episode 3

2290 Words
"Mas Fari, Naya." Melihat kehadiran mereka berdua Dina langsung berdiri dari sofa. Wajahnya terlihat kusut dengan air muka yang disedih-sedihkan. Ada satu hal ganjil yang Kanaya perhatikan. Dina sama sekali tidak berani memandang wajahnya. Ia sangat mengenal Dina. Kalau Dina bersikap seperti ini, itu artinya ia sedang merasa bersalah padanya. Dina pasti  tengah merencanakan sesuatu yang akan menyakiti hatinya. "Ada apa, Din? Mengapa kamu mencari saya sampai ke sini? Kamu ingat 'kan perjanjian kita?" Tukas Ghifari ketus. Kanaya tahu bahwa Ghifari mulai tidak nyaman melihat sikap Dina yang terlalu nekad. "Maaf, Mas. Aku kemari karena ini," Dina membuka tas tangan dan menyerahkan sebuah amplop putih berlogo Rumah Sakit Ibu dan Anak ke tangan Suaminya. Sekarang Kanaya mengerti apa maksud kedatangan Dina ke rumahnya. Sama persis sama seperti yang ingin ia lakukan di kantor Ghifari sekitar satu jam yang lalu. "Apa ini, Din?" Ghifari mengerutkan kening. Bingung disodori amplop dari rumah sakit begitu saja. Adegan inilah yang seharusnya ia perankan di kantor suaminya tadi. Lagi-lagi Dina selangkah lebih maju darinya. Dina telah memperhitungkan semuanya. "Baca saja, Mas." Pinta Dina. Dalam diam Ghifari membaca kata demi kata dalam selembar kertas dari rumah sakit. Makin lama ekspresi wajahnya semakin tegang. Sedangkan Kanaya, ia hanya tersenyum kecil. Ia sudah menduga kalau Dina pasti akan membuat suatu gebrakan. Dan harus ia akui gebrakannya kali ini luar biasa berani. "Tidak mungkin! Mana mungkin kamu hamil. Kamu 'kan mandul, Din? Kamu pasti bohong?" Sergah Ghifari. "Aku tidak bohong, Mas. Aku memang hamil anak, Mas. Sebenarnya hasil lab ini sudah ada padaku dari dua hari yang lalu. Hanya saja aku bingung harus mengatakan apa pada Mas. Soalnya ini 'kan menyangkut soal Naya juga. Tapi setelah aku pikir-pikir, anak ini juga berhak tau soal siapa ayahnya. Anak ini kan tidak salah apa-apa, Mas?" Tangisan pilu Dina hanya dipandang datar saja oleh Kanaya. Terlepas Dina hamil atau tidak. Ayah bayinya itu Ghifari atau tidak, ia sudah kehilangan respek pada mereka berdua. Dilukai dengan begitu keji telah membuat jiwanya mati rasa. Ia tidak bisa lagi membedakan kebenaran dan kebohongan dari mulut mereka berdua. "Ada apa ini sebenarnya, Fari? Bukannya dia ini temannya si Naya yang baru diceraikan suaminya karena mandul? Bagaimana mungkin sekarang dia bisa hamil anakmu?" Bu Mariam yang sedari tadi memperhatikan kekacauan ini mencoba menyimpulkan sesuatu. Benang merah mulai saling terkait satu persatu. Sikap Kanaya yang tiba-tiba dingin dan membangkang. Ghifari yang terus gelisah dan serba salah, sepertinya bermuara dari wanita yang setaunya adalah sahabat menantunya ini. "Iya, Bu. Saya Dina ehm temannya Naya. Saya dan Mas Fari telah... telah cukup lama bersama. Dan kini saya telah mengandung anak Mas Fari, calon cucu, Ibu." Ujar Dina dengan suara terbata-bata. Bu Mariam terkesima. Ia tidak tau kalau putranya berani bermain api dengan sahabat istrinya sendiri. Sampai hamil lagi! Jujur keturunan Ghifari adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Tentu saja ia akan menerima dengan senang hati darah dagingnya sendiri. Cucu yang sangat ia idam-idamkan, kalau memang anak itu darah daging Ghifari. Tetapi ibunya? Tidak mungkin! Sampai mati pun ia tidak sudi bermenantukan wanita berhati iblis ini. Memelihara seorang penghianat itu tidak mudah. Ibarat kata ia memberi makan seekor ular berbisa di rumahnya. "Jangan percaya begitu saja, Bu. Bisa saja anak dalam kandunganya bukan anak Mas Fari. Dia ini 'kan baru diceraikan suaminya karena mandul. Masa tiba-tiba ia bisa hamil? Jangan mau dibodohi seorang pelakor, Bu?" Kali ini Nabila lah yang bersuara. Ia tidak tahan hanya diam saja melihat drama murahan di depan matanya. Ia sudah bertahun-tahun mengincar Ghifari. Masa ia dikalahkan sebegitu mudahnya oleh seorang janda kegatela* ini? Ia bukan Kanaya yang akan nggeh-nggeh saja setiap kali ditindas orang. Lihatlah si lemah itu. Jelas-jelas dihianati sahabat sendiri, tetapi ia hanya diam saja. Coba kalau ia yang menjadi Kanaya. Sudah habis perempuan itu digundulinya. "Saya pelakor? Terus kamu apa? Bertahun-tahun terus mengintili suami orang? Kamu dan saya itu tidak ada bedanya!" Pembelaan diri Dina membuat Kanaya tersenyum miris. Lihatlah dua orang pelakor saling menuding. Muak dengan segala drama-drama murahan yang berlangsung di depan matanya, Kanaya memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Ia sedang tidak ingin menyaksikan pemandangan buruk. Terlebih lagi saat ini ia tengah mengandung. Dari pada membuang-buang tenaga, kebih baik ia mematangkan rencananya. Ragu-ragu, Kanaya meraih ponsel. Mencari-cari nama Safa di nomor kontaknya. Setelah menghela napas panjang dua kali, ia pun menekan kontak nama Safa. "Hallo, Fa. Gue bisa minta tolong, nggak?" Kanaya langsung saja mengatakan keinginannya begitu Safa menjawab panggilannya. "Lo kenapa, Nay? Nggak biasa-biasanya lo ngomong kagak pake intro. Mana suara lo tegang amat lagi. Lo kenapa sih?" Beginilah kalau berbicara dengan Safa. Sedikit saja ada perubahan dalam intonasi suaranya, ia akan langsung curiga. Safa terlalu mengenal dirinya. "Nggak apa-apa, Fa. Eh by the way, lo lagi di mana?" "Sesuai dengan postingan gue yang baru sejam lalu lo love, gue ada di kebun kopi, Nay. Eh lo tadi mau minta tolong apa? Penisirin gue." "Ehm, Gini. Kalo gue numpang tinggal di perkebunan kopi keluarga lo sampai gue lahiran, bisa nggak Fa? Gue nggak punya temen lain yang gue percaya lagi soalnya." "Wait... wait... wait. Coba lo jelasin apa maksud kata-kata lo tadi secara garis besar aja, biar gue ngerti. Gue suka nggak ngotak kalo cuma dikode-kode." "Oke. Gue hamil, sementara Mas Fari malah diduga menghamili Dina. Gue mau divorce tetapi gue nggak mau kalau Mas Fari tau gue sedang hamil anaknya. So, gue mau semedi di kebun kopi sana. Laporan selesai." Jeda sejenak. Sepertinya teman kecilnya itu kaget mendengar ceritanya. "Satu pertanyaan lagi. Si Dina itu siapa?" "Lo inget nggak, saat beberapa tahun lalu gue cerita kalo gue berteman akrab dengan seorang pasien yang di duga mandul? Yang sering ketemu sama gue setiap gue check up di rumah sakit? Nah, Dina ya si pasien b******k itu." "Ok. Noted. Lo bisa ke sini secepatnya. Ntar setiba lo di sini, baru kita atur segala sesuatunya. Inget kabarin dulu kedua orang tua lo." Satu masalah selesai. Tinggal satu masalah lagi, Haikal Baihaqi. "Tapi Bang Haikal bagaimana? Dia nggak ngebolehin gue nginjek perkebunan lagi sejak... sejak... peristiwa itu?" Teringat pada tingkah kelewatannya di masa lalu, membuat Kanaya resah. Haikal memang sangat membencinya sejak kejadian  sepuluh tahun yang lalu itu. "Gue masih punya saham 25% di perkebunan ini sebagai bagian dari keluarga Baihaqi. Udah, lo nggak usah khawatir. Secepetnya aja lo ke mari. Emang lo mau anak lo diambil mereka?" "Ya nggak lah. Oke, Fa. Setelah gue nyelesaian permasalahan gue di sini, gue akan ke sana secepatnya. Doain gue kuat ngejalanin semua ini ya, Fa?" Setelah mendengar jawaban aaminn dari Safa, Kanaya memutus menutup panggilan telepon. Suara-suara orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan kian kencang di ruang tamu. Kanaya menajamkan pendengarannya. Ada satu suara lagi yang ikut berbicara. Yusuf Albani, bapak mertuanya. Seperti masalah ini semakin serius karena ayah mertuanya sampai turun tangan. Tidak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk perlahan. Bik Sumi, Asisten Rumah Tangganya berpesan bahwa ia ditunggu di ruang keluarga. Sidang akan segera dimulai rupanya. Sebelum menuju ke ruang keluarga, Kanaya berpikir sejenak. Bagaimana pun ini adalah keputusan besar. Ia harus berpikir ulang sebelum mengambil sikap. Ia tidak mau kalau suatu hari nanti, keputusannya ini akan ia sesali. Hanya saja hati dan kepalanya saat ini sedang tidak bisa diajak bekerjasama. Emosinya kerap memuncak setiap kali mengingat adegan silat lidah  Dina dan suaminya di kantor tadi. Pikiran-pikiran liarnya terus berseliweran karena kemarahan yang belum terlampiaskan. Makanya ia berniat untuk mendinginkan hati dan kepalanya terlebih dahulu. Bertanya jujur pada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang ia inginkan dalam situasi ini? Apa yang sekiranya bisa membuatnya bahagia lagi setelah penghianatan menyakitkan ini? Apa yang masih bisa ia selamatkan dari situasi terburuk ini. Setelah memikirkan baik buruk keputusannya sekali lagi, Kanaya berdiri. Ia telah siap dengan satu keputusan final. Ia akan bercerai dengan Ghifari. Dengan langkah yang terasa lebih ringan Kanya keluar dari kamar menuju ke ruang keluarga. Situasi di ruang keluarga terasa tegang oleh keheningan. Masing-masing orang yang duduk di sana, seperti sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Kanaya melirik Dina sekilas. Mantan sahabatnya itu terlihat lesu dan bingung. Dari sekilas pandang ini saja, Kanaya sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Bahwasannya rencana besar Dina itu tidak menemukan muaranya. Kanaya tersenyum tipis. Dina tidak tau sedang berhadapan dengan siapa. Mana mungkin kedua mertuanya bisa ia kelabuhi dengan sebegitu mudahnya. Dina ini terlalu banyak menonton sinetron. Di ruang keluarga saat ini duduk kedua mertuanya, suaminya dan Dina. Keberadaan Nabila sudah tidak tampak lagi. Sepertinya bapak mertuanya tidak ingin ada telinga lain yang mendengar sidang ini. Bagaimana pun ini adalah aib keluarga. "Duduk, Nay." Ujar ayah mertuanya. Kanaya mengangguk sopan dan mendekati sofa. Ia memilih duduk di samping ibu mertuanya. Ia tidak sudi lagi duduk bersebelahan dengan Ghifari. "Bapak, ibu, Ghifari dan Dina telah membuat satu keputusan. Dan Bapak harap kamu juga menyetujui keputusan kami ini," Kanaya hanya mengangguk kecil. Apapun keputusan keluarga besar ini toh tidak akan ada hubungannya dengan dirinya lagi. Ia akan segera keluar dari dari sangkar emas penuh tekanan keluarga Albani ini. "Seperti yang kamu ketahui, Dina mengaku telah hamil anak Fari. Ayah tau, mereka berdua memang salah. Tapi anak dalam kandungan Dina tidak salah 'kan? Lagi pula jujur Ayah juga mengharapkan generasi penerus Albani." Yusuf menghentikan kata-katanya sejenak. Ia ingin melihat reaksi menantunya. Apakah menantunya ini marah, kecewa atau sedih. Namun sampai sejauh ini air muka menantunya ini biasa-biasa saja. Tidak ada kemarahan atau kesedihan yang  terpancar di kedua bola mata menantunya. Tatapan menantunya dingin dan datar. Hal ini di luar ekspektasinya. Ia sempat mengira kalau menantunya ini akan histeris. Ternyata semua kekhawatirannya itu tidak perlu. "Kami telah membuat keputusan bahwa setelah anak itu lahir, maka kamu dan Fari lah yang akan merawatnya. Di mata hukum dan masyarakat anak itu akan menjadi anak kandung kalian berdua. Artinya, anak itu akan kami terima dengan tangan terbuka, tapi ibunya tidak. Keluarga Albani tidak akan mungkin menerima seorang janda dengan riwayat cerai. Terlebih lagi akhlaknya tiada baik. Berselingkuh dengan suami orang, apalagi suami teman baiknya sendiri adalah seburuk-buruknya perempuan," wajah Dina kian busuk saja saat mendengar celaan bapak mertuanya. Jadi ini yang membuat wajah Dina lesu seperti prajurit yang kalah perang? Heh, Dina akhirnya menyadari kalau ia telah salah strategi. "Fari pun buruk sebagai seorang laki-laki dan suami. Tetapi bagaimana pun ia adalah seorang Albani. Dia anak kandung Ayah." Makanya salah pun tetap dibela 'kan, Yah? Coba kalau Naya yang salah. Jangan harap ada kata maaf. "Tetapi semua ini tergantung pada hasil test DNA setelah anak itu dilahirkan. Kalau anak itu terbukti memang darah daging Fari, maka apa yang ayah putuskan tadi akan segera kita realisasikan. Akan tetapi jika anak itu bukan anak Fari, maka Ayah akan menuntut Dina atas dasar pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan." Di akhir kalimat ayah mertuanya dengan sengaja menatap Dina. Dan kali ini Kanaya benar-benar melihat wajah Dina kian pias. Hanya ada dua hal yang terlintas dibenaknya. Entah Dina memang pura-pura hamil, atau ia memang hamil tapi bukan dari benih Ghifari. Makanya ia jadi ketakutan setengah mati. "Setelah mendengar semua ini, apa pendapatmu, Naya? Apakah kamu juga setuju dengan keputusan kami?" Pertanyaan ayah mertuanya membuat Ghifari, Dina dan ibu mertuanya serentak memandangnya penasaran. Mereka semua pasti menunggu-nunggu jawabannya. "Naya tidak ingin mencampuri hal yang bukan urusan Naya, Yah." Jawabnya singkat. "Bukan urusan kamu? Maksudnya?" Ayah mertuanya mengerutkan kening. "Bukan urusan Naya karena Naya ingin bercerai dengan Mas Fari, Yah. Jadi apapun keputusan Ayah dan keluarga, tidak ada sangkut pautnya dengan Naya lagi." Lanjut Kanaya tegas. "Tidak bisa! Bukankah tadi sudah Mas katakan kalau Mas tidak mau bercerai. Kamu tuli, Nay?" Teriak Ghifari putus asa. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Kanaya. Seharusnya ia bahagia karena tidak diceraikan dan malah mendapat anugerah seorang anak. Ia memang salah. Tetapi toh ia sudah mencoba menyelesaikan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Lagi pula semua pihak telah setuju dengan keputusannya ayahnya. Dan anehnya malah Kanaya yang menolak. Jalan pikiran istrinya ini memang susah ditebak. "Keputusan Naya sudah bulat, Mas. Dengar baik-baik, Mas. Naya meminta cerai bukan karena kehamilan Dina. Tetapi karena perselingkuhan Mas. Masalah hamil atau tidak hamilnya Dina, itu masalah lain. Apakah Mas pikir setelah kejadian ini, perasaan Naya pada Mas akan tetap sama?" Kanaya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Mas. Di pikiran Naya saat ini, bukan hanya soal Dina, Mas. Tapi pada Dina-Dina lain yang ada di luar sana. Naya sudah tidak bisa lagi mempercayai Mas. Dan pernikahan tanpa kepercayaan itu omong kosong, Mas. Seperti rumah tanpa fondasi. Rapuh!" "Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi, Nay?" Mata suaminya berkaca-kaca. Penyesalan tergambar jelas di raut wajahnya. "Jujur Naya tidak tau, Mas. Saat ini Naya sedang muak membicarakan soal cinta. Mas ingat tidak, tujuh tahun lalu Mas pernah berikrar bahwa Mas akan selalu mencintai dan setia pada Naya lebih lama dari selama-lamanya. Tapi sekarang apa yang terjadi, Mas? Mas malah menjadi orang yang paling menyakiti Naya lebih sakit dari sesakit-sakitnya. Sudahlah, Mas. Kita akhiri saja semua ini. Jangan bilang kalau Mas masih mencintai Naya, kalau Mas nyatanya sanggup menghianati Naya. Basi, Mas." "Kenapa Nay, kenapa kamu keras kepala seperti ini? Tidak bisakah kamu memaafkan Mas kali ini? Kali ini saja, Nay?" pinta Ghifari mengiba-iba. Ia sama sekali tidak menduga kalau keisengannya akan berakibat sefatal ini. "Sudahlah, Fari. Kalau si Naya sudah tidak mau, tidak usah dipaksa. Seperti kamu nggak laku saja. Jangan takut, masih banyak perempuan baik-baik yang antri mau menjadi istrimu di luar sana. Kamu tidak perlu terus memohon-mohon seperti ini." Dengus Mariam sewot. Ia kesal karena anak laki-lakinya sampai mengemis-ngemis begitu pada istri mandul tidak tau dirinya. "Ibu benar, Mas. Banyak sekali wanita yang antri ingin menjadi istri Mas di luar sana. Jangan 'kan yang di luar. Yang di dalam saja banyak kok, Mas. Dina dan Nabila misalnya. Benar 'kan, Bu?" sindir Kanaya kalem. Walau ibu mertuanya tidak membalas kata-katanya, tapi delikan matanya sudah mewakilkan. Ibu mertuanya senang karena punya peluang untuk mendapatkan menantu seperti yang ia inginkan. Keputusannya untuk bercerai dengan Ghifari memang sudah tepat bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD