Aku, Elma

1204 Words
Aku punya musuh yang kunamai anomali. Ia bukanlah manusia, hewan, tumbuhan, atau makhluk hidup yang ada di sekitarku. Ia adalah keberadaan yang rumit dan susah dijelaskan kecuali kalau aku menceritakannya pelan-pelan. Orang lain punya anomalinya sendiri, tapi tidak semuanya. Orang lain menyebutnya dengan istilah yang berbeda. Namun, kami menyepakati satu kata yang mudah untuk menjelaskannya: trauma. Dalam kasusku, aku sering mengalami sesak napas dan serangan panik secara tiba-tiba. Anomaliku biasanya terpicu ketika aku berada dekat dengan laki-laki. Tidak semua laki-laki. Hanya laki-laki tertentu dengan ciri-ciri yang sulit kujelaskan. Hanya aku yang bisa membedakan laki-laki mana yang bisa memicu anomaliku. Cukup dari matanya saja. Kalau laki-laki itu mempunyai sorot mata yang sama dengan laki-laki yang pernah memberikan anomali ini padaku, aku akan mengalami serangan panik yang hebat. Pada akhirnya, aku berusaha untuk menjaga jarak dengan laki-laki mana pun. Aku tidak peduli meski harus tinggal di rumah yang jauh dari keramaian seperti tempat tinggalku saat ini. Rumah yang kutempati ini bukanlah rumah yang dihiasi percakapan hangat sebuah keluarga. Bukan. Aku tinggal di sebuah kamar yang sederhana—cenderung kumuh—di sebuah kost yang sama sederhananya. Kamarku tidak memenuhi kriteria kamar ideal sama sekali. Tidak ada sinar matahari, tidak ada kehangatan, bahkan air kamar mandi kerap berbau busuk. Aku rebahkan tubuhku di kasur. Tadinya ia terasa empuk karena busanya yang tebal. Sekarang, busa-busa itu mencuat sehingga aku bisa melihat bercak hitam jamur darinya. Aku bohong jika aku bilang aku tidak peduli setelah insomniaku semakin buruk. Aku bisa pindah kamar atau memilih tempat tinggal baru. Aku selalu punya pilihan. Namun, aku tidak berencana pindah dalam waktu dekat. Aku memandangi ponselku beberapa saat sebelum memutuskan menghubungi Detektif Yaka. “Malam, Detektif. Aku sudah ke kantor polisi, tapi sepertinya Kapolres tidak punya waktu untukku. Terima kasih atas bantuan Anda hari ini.” “Ah… saya minta maaf.” Suara getir di ujung panggilan itu adalah Detektif Yaka, pria yang baru beberapa bulan menerima kasus secara independen. “Terus terang, saya sudah berusaha menghubungi Kapolres lewat ajudan beliau. Tetapi mungkin beliau sedang sibuk. Saya dengar ada kasus n*****a yang sedang ditanganinya. Maaf menyia-nyiakan waktumu, Elma.” “Bukan masalah besar, Detektif. Anda sudah banyak membantu saya sampai sekarang. Maaf mengganggu waktu Anda malam-malam begini. Saya akan tutup panggilannya.” “Tunggu. Sebentar saja. Saya memang belum berhasil memenuhi permintaanmu, Elma. Tapi beberapa jam yang lalu ada kolega saya yang berkata pernah melihat kalung putih seperti yang kamu cari. Saya kirimkan fotonya sekarang.” Foto yang dimaksud Detektif Yaka muncul di kolom chat-ku, kubuka dan kuperhatikan dengan seksama. Foto itu memperlihatkan seorang wanita seusiaku, mengenakan kemeja biru muda yang tampak manis, dua kancing teratas tidak dimasukkan. Ia sedang tertawa ke arah kamera— mungkin yang memotret adalah temannya—dengan kalung putih di leharnya. Sepintas, kalung itu sangat mirip dengan kalungku yang hilang. Masalahnya, kalungku adalah kalung yang mudah dibeli di mana saja. Kalung itu kudapatkan dari kakekku. Kakek menghadiahkannya sebelum dia meninggal dunia. Sekitar satu tahun yang lalu. Aku kemudian menghilangkannya saat pertama kali tinggal sendirian di kostku sebelumnya, saat kebakaran besar terjadi. Waktu itu aku sedang tidak berada di kost. Lalu saat kembali, pemadam kebakaran telah berusah payah memadamkan api. Tidak banyak yang bisa kutemukan dari sisa kebakaran; dua potong baju, satu rok panjang, satu celana panjang, dan satu set pakaian dalam yang terbakar sedikit. Aku mencari kalung itu lebih dari sepekan. Selalu tidak membuahkan hasil. Aku juga berpesan kepada petugas kepolisian yang melakukan olah TKP agar memberiku kabar kalau menemukan kalungku. Namun, kabar itu tidak kunjung kudengar. Sampai aku memesan jasa Detektif Yaka, sudah 8 detektif swasta yang kuhubungi untuk menemukan kalungku. Ada yang berusaha keras mencarinya, lebih banyak yang mengambil uang muka lalu memutus kontrak secara sepihak. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Sebab mencari kalung hanya buang-buang waktu. Untuk itulah, aku berjanji memberikan uang yang banyak kepada Detektif Yaka. Aku sungguh berharap dia berhasil. Aku melihat ada yang berbeda pada dirinya. Ia terlihat tulus dan mencintai pekerjaannya. Pertemuan awal kami masih membekas di ingatanku seperti baru kemarin terjadi. Saat itu hujan deras mengguyur Terademis. Kami berjanji untuk bertemu di kafe yang sepi. Ketika sampai di kafe, aku menemukan pria muda yang kikuk itu sudah menungguku. Melihatku, ia seketika berdiri. Dia langsung mengenaliku. Padahal, aku hanya mendeskripsikan diriku sebagai ‘wanita yang sedikit menyeramkan’. “Saya khawatir kamu tidak jadi datang siang ini.” Itulah kalimat pencair suasana di antara kami. Pria itu yang membuka percakapan. Detektif Yaka punya kebiasaan tersenyum kikuk setiap kali selesai bicara. Kupikir, dia mungkin berusaha terlihat ramah di depanku. Mungkin penampilanku cukup meninggalkan kesan bahwa aku wanita yang putus asa. Pada akhirnya, aku memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk menemukan kalungku. “Foto ini sudah lebih dari cukup, Detektif. Bagaimana aku bisa bertemu dengan wanita ini?” tanyaku. Menurutku, memulai dari foto ini lebih baik daripada tidak petunjuk sama sekali. “Itu yang ingin saya bicarakan. Saya paham kamu hanya ingin kalungmu kembali, Elma. Tetapi, setelah mendengar istri saya bercerita tentang nasib anak-anak yang putus pendidikan setelah SMA, saya khawatir dengan kondisimu.” “Aku sudah dewasa, Detektif. Dan aku punya pekerjaan. Anda tidak perlu mengkhawatirkan urusan pribadiku.” “Saya tahu. Hanya saja … kalau kamu ingin melanjutkan kuliah, saya bisa membantu. Saya punya kenalan yang bisa diandalkan. Dia adalah staf di salah satu perguruan tinggi. Kebetulan, dia juga mengenal wanita di foto yang saya tunjukkan. Kalau kamu mau, saya bisa memasukkanmu ke perguruan tinggi yang sama dengan wanita itu. Tentu saja, ini hanya tawaran. Mohon maaf jika saya terlalu lancang.” Aku terdiam di ujung telepon. Tawaran itu tidaklah buruk. Sambil menyelam minum air. Keheningan pun mengisi jarak antara kami. Lantas, setelah mengucapkan terima kasih aku menutup panggilan tanpa memberikan jawaban. *** Bukan sekali dua kali aku berpikir untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Dari balik kaca toserba di mana aku bekerja, aku kerap melihat rombongan mahasiswa yang bersiap melakukan demonstrasi ke alun-alun Teradermis. Berkumpul di terminal bus. Kain diikat di kepala. Megafon diangkat tinggi-tinggi. Kupikir, mereka terlihat keren dengan jas almamater itu. Mungkin aku bisa sama kerennya dengan mereka jika aku berkuliah. Lagipula, tabunganku masih cukup membiayai pendidikanku hingga wisuda, baik di perguruan tinggi ternama apa lagi perguruan tinggi akreditasi B dan C di sekitar sini. Kurasa, hanya ketakutan yang membuatku selalu ragu. Selepas shift jagaku berakhir, aku menerima sebuah brosur digital dari Detektif Yaka. Dia bersikukuh memintaku melanjutkan pendidikan. Brosur yang kuterima memuat dua halaman. Yang pertama adalah informasi kegiatan perkuliahan di Universitas Bisnis Maya Lastri atau UBIMAS, perguruan tinggi swasta ternama di Teradermis. Yang kedua adalah brosur sebuah asrama yang dikelola departemen SDM UBIMAS, yaitu Libra. Konon, lulusan UBIMAS dijamin mendapatkan pekerjaan yang prestise. Aku bersegera mengganti seragam kerjaku dengan kemeja lalu duduk tegap di kursi. Aku bimbang. Sudah lebih dari setahun aku memutuskan hidup jauh dari pergaulan masyarakat. Terkadang ada masa di mana, aku ingin bicara dengan orang lain, mencoba hal baru, dan berbagi masalah. Aku tidak pernah ragu sedikit pun bahwa aku kuat. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri, tanpa orang lain harus mendengarnya. Namun, bagian lain dari diriku yang sudah aku kubur dalam-dalam kembali merangkak naik ke permukaan. Aku ingin diperhatikan. Aku ingin orang lain mengakui keberadaanku. Seharusnya sejak membuat keputusan berat untuk mengucilkan diri, aku siap menerima fakta bahwa Sella tidak akan pernah hilang dari diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD