Bab 2 - Dialah Semestaku

1085 Words
*** Aku hanya sedikit merindu Datang tiba perlahan sentuh Bermain sendu asa rasa Ku tertawa riang akan masanya. *** Tangannya berhenti mengetik tatkala benda pipih diujung sana tak ingin berhenti berbunyi sedang ia tak ingin diganggu sama sekali. Apa begitu penting sehingga harus menganggu ketenangannya, fikirnya jengah seharusnya tadi sebelum menyalakan komputer ia mematikan nada dering benda pipih itu atau bahkan menonaktifkannya saja. Melihat handphone itu tak lagi berkedip membuatnya bernafas lega, akhirnya ia tak perlu berbicara panjang lebar pada seseorang yang lagi kurang kerjaan itu dan tentu saja kembali melanjutkan kata kiasannya tadi. **** Nafas kian menyela Cinta makin bertahta rua Ego bertanding logika Benar, ini hanya tentang cerita lama **** Sahutan keyboard itu kembali terhenti tergantikan dengan ketukan pintu diluar sana bahkan tamu itu sepertinya tdk mempunyai kesabaran sama sekali ditandakan dengan gedoran pintu semakin berisik saja. Tetapi saat kakinya ingin melangkah keluar gedoran pengganggu itu terhenti tergantikan keheningan malam ditemani suara jangkrik berpadu dengan nafas manusia itu. Lagi dan lagi. Sedikit menenangkan diri dan memfokuskan fikiran kembali matanya menatap layar komputer dimana puisinya kali ini baru terdiri dua bait saja. Sangat tdk mungkin dilanjutkan karena saat ini fikirannya sudah terbagi bahkan kata demi kata yang dirancangnya tadi lenyap tak berbekas di otaknya. Menjadi penulis kata selalu  seperti ini jika sudah terganggu sedikit saja maka sudah di pastikan segala ide yang terfikirkan sudah terpecah belah tergantikan kebingungan entah apa dan jika dilanjutkan hanya akan menghasilkan tulisan acak kurang memuaskan menurutnya. Menghembuskan nafas pelan ia duduk kembali dan menyimpan dokumen baru itu menamainya "pelangi" lalu mengklik kata save. Dan selesai. Tangannya meraih kertas segi empat kecil berwarna biru muda lalu menulis sesuatu didalamnya. Besok akan ia tempelkan di papan pengumuman seperti biasanya. Tetapi ada yang menganggu fikirannya seingatnya kertas ini ia sudah ia tempelkan sebaik mungkin dan sangat tdk mungkin juga terbang terbawa angin kan? Lalu kemana kertas-kertas yang ia tempelkan itu? Atau ada yang membuangnya. "Kenapa aku harus memikirkannya kalau memang ada yang membukanya tidak masalah kan?" perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus menulis kata demi kata dalam kertas biru tadi. Matanya milirik bulan sejenak melalui jendela kamarnya berusaha menyelami sesuatu disana, tiba-tiba senyumnya tercipta dan melanjutkan tulisan itu segera mengingat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Setelah semua kata tertata rapi sesuai inginnya kertas itu disimpannya dalam selipan buku bacaannya lalu berjalan menuju ranjang kecilnya. Ia memang tdk terlalu menyukai ranjang besar sangat boros tempat menurutnya. Kamarnya juga tdk seluas cerita-cerita di novel. Hanya kamar minimalis impiannya. Dan Juga jangan membayangkan kamarnya penuh dengan stiker atau apalah itu karena kamarnya ini berisikan lemari buku yang sangat identik dengan dirinya. Matanya menatap langit-langit kamar polos itu. Berusaha memutar fikiran agar bisa tetap berjalan sesuai yang seharusnya apalagi semuanya benar-benar sudah apik. ".. Kala supernova mulai berulah lagi lalu apa yang harus kulakukan semesta. Sedang yang menjadi semestaku sangat tdk mengenali raga ini... " Ia memejamkan matanya berusaha menepis sejuta perasaan unik dalam hati tak tersentuhnya. Ternyata mencintai seseorang dalam hening dan tak bergerak seperti ini sangat luar biasa keajaibannya bahkan logikapun sulit menentukan artinya. Saat perasaan Cinta mulai datang ia akan mengendalikan sepenuhnya tanpa memperdulikan kewarasan pemiliknya. Ia akan bertahta menjadi Raja sangat sombong dan angkuh seakan ia akan berhasil padahal bergerak saja tidak. "Apa saya harus mendekatinya? Tapi bagaimana caranya sedang menatapnya saja sudah membuatku senang bukan kepalang lalu bagaimana jika disisinya. Astaga... Aku benar-benar tdk menyangka Cinta begitu unik." Matanya masih terpejam enggan terbuka. Berusaha merespon setiap detak jantungnya yang tak ingin berhenti menggebu-gebu saat pemikirannya memikirkan si semesta itu. Tangannya memegang pipinya. "Astagfirullah... Kenapa harus Cinta sih! Kata org Cinta datang saat pandang bertemu lalu aku? Cuman modal nama dan menatapnya sekali perasaanku sudah sejauh ini? Candaan macam apa ini?" ia menggulingkan badannya ke-kanan dan kiri berkali-kali. Berusaha menepis pikiran tak warasnya. "Ayolah... Engga perlu terlalu terpaku sama yang namanya Cinta Cinta itu. Intinya aku harus fokus sama dunia belajar dan impian mengenai perasaan tak waras dan unik ini nanti juga ngalir sendiri." Semangatnya pada diri sendiri. "... Semestaku percayalah, saat kau mencoba menjelahi dunia bahkan singgah di beberapa wanita tetapi disini aku Tetap menunggu waktu dimana kamu sendirilah yang datang menawarkan rasamu sendiri. Aku seyakin itu? Tentu saja. Bukankah Cinta selalu angkuh dan egois?... " **** "Del,nanti kita ke toko buku pas pulang kampus kayaknya di buku ini jawabannya engga ada. Pusing kepala liatnya." Deliana hanya menganggukkan kepalanya sambari tersenyum lembut menatapnya. "Engga usah senyum gitu deh del, takut jadinya. Jangan-jangan kamu punya rasa sama saya?" Deliana hanya memutar bola matanya malas, aloka dan pemikiran engga mutunya. "Titania, kamu ikut ketoko buku kan?" tanyanya pada perempuan didepannya yang sadaritadi hanya diam menatap kedua sahabatnya bertengkar. "Engga usah. Kamu engga usah pergi Tan, biarin kami yang pergi." Potong Aloka cepat dan dihadiahi tatapan tajam oleh Deliana menandakan dia tdk setuju dengan perkataan sahabat bar-barnya itu. "Kok gitu sih. Kamu kenapa ngelarang Titania sih. Kan Bagus kalau dia pergi lagian sahabat kita juga. Aku engga bakal pergi kalau Titania engga pergi. Titik." Ucapnya final. Titania yang melihat itu hanya menggeleng jengah karena perdebatan tdk penting didepannya. ia sangat tau kenapa Aloka melarangnya pergi karena pasti perempuan itu ingin mengelilingi Mall shopping sana sini sedang dirinya sangat tidak suka hal seperti itu. "Iya aku pergi. Engga usah ribet deh." Mendengar itu Deliana tersenyum senang sedang Aloka menunduk lesu. Gagal shopping. "Oh iya... Kalian tau tentang Kak Abani ketua Rohis itu engga?" tanya Aloka pada kedua sahabatnya yang dibalas dengan gelengan serempak. "Dia itu selalu ngambil notes misterius di papan pengumuman setiap pagi. Belum ada satupun org yang membaca notes kecil itu tapi dia udah ambil dan masukin dalam sebuah kotak dan lebihnya lagi yaa... Dia sesekali membaca notes itu sambil senyum-senyum sendiri di kantin. Kayaknya itu pacar backstreetnya deh dan itu cara mereka berkomunikasi. Unik juga yaa." Deliana dan Titania saling pandang lalu selama beberapa detik. "Terus urusannya sama kita apa?" ucap mereka serempak dan dibalas dengusan oleh Aloka. "Sayakan cuman bilang sahabat unyuku." Titania memperlihatkan wajah ingin muntahnya saat Aloka mengatakan kata lebay seperti itu dan Deliana hanya tertawa kecil melihat keduanya. "Yaudah yuk balik. Kita keluar nunggu taksi mengenai jemputan saya dan Aloka nanti jemputnya pas balik toko buku sekalian nganterin kamu Titania." ia hanya mengangguk lalu berdiri melangkah keluar mengikuti Aloka yang sudah lebih dulu berjalan keluar. Melihat hal itu Deliana segera mengambil slingbag-nya lalu berlari kecil menyusul kedua sahabatnya yang sudah berjalan cukup jauh. Setelah berjajaran mereka melangkah bersama sambari mendengarkan Aloka bercerita. "... Aku benar-benar tdk menyangka. Semestaku sedang berjalan pelan kearahku saat ini... "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD