With s*x without love

2578 Words
 Malam itu ... Malam yang seharusnya adalah waktu terbaik untuk memejamkan mata membiarkan tubuh beristirahat di peraduan. Namun tidak bagi sepasang anak manusia yang tengah di mabuk cinta. Menghidupkan malam yang telah hening dengan aktifitas panasnya, memejamkan mata hanya untuk meresapi sebuah kenikmatan. Peraduan yang seharusnya menjadi tempat beristirahat merangkap menjadi tempat melakukan aktifitas melelahkan, hingga dinginnya pendingin ruangan tidak mampu membuat peluh membanjiri tubuh polos mereka.  Wanita itu memejamkan mata ia meremas bahu kekar Banyu, tubuhnya terus bergerak naik turun di pangkuan Banyu membiarkan milik lelaki tampan ini menyentak di dalam tubuhnya menciptakan rasa yang membuatnya bagai di awang-awang "Terus, baby ... permainan kamu semakin lama semakin liar membuatku mabuk kepayang." Banyu terus meracau, sementara sang wanita tidak menjawab hanya lenguhan demi lenguhan yang terdengar. Wanita itu semakin kuat meremas bahu lelakinya saat merasakan bagai ada ledakan kenikmatan dalam tubuhnya, Banyu dengan sigap membalik keadaan kini ia berada di atas mengambil kendali permainan.   Wanita itu terus meracau mengharap pada sang kekasih agar rasa itu tidak akan pernah usai. Hentakannya semakin kuat seiring dorongan yang sudah tidak dapat ia kendalikan, pelepasan yang begitu memabukkan. Tubuh kekar Banyu terkulai lemas  di atas sang wanita tangannya masih tetap meremas bagian depan d**a ranum tubuh langsing itu, sang wanita terengah mengatur nafasnya yang masih sedikit tersengal usai permainan panjang. Yang sepertinya akan terus berlanjut, mungkin sampai matahari bersinar seperti biasanya. "Baby ... I love you ...." bisik Banyu lalu mengecup daun telinga wanita itu. "I love yuo too ...." jawabnya lalu mendorong tubuh Banyu, kini mereka berbaring berdampingan. Banyu memiringkan tubuh menghadap sang kekasih, ia peluk perut ratanya, Banyu meletakkan wajahnya di ceruk leher jenjang sang wanita. Menghirup dalam-dalam aroma harum lavender yang bercampur aroma khas peluh kenikmatan hingga matanya terpejam. "Ruby ... Ruby ...." Lirih Banyu menangkap suaranya sendiri, hingga ia sadar dari lelapnya saat cahaya mentari mengintip dari celah tirai kamar keberasannya. Ia meraup kasar wajahnya, "mimpi lagi! Kenapa dia tidak juga pergi dari hidupku." *** Satu waktu di tempat berbeda. "Non ...." suara Ceu Irah terdengar dari balik pintu. Dialah wanita paruh baya yang telah mengabdikan hidupnya pada keluarga Soebandriyo, pengabdian yang berimbal balik materi yang tidak sedikit. Di kampung halamannya di tanah sunda sana, Ceu Irah sudah bisa membeli beberapa petak sawah dan membangun rumah dari hasilnya menukar tenaga di keluarga kaya itu. Ia merawat Laura sejak ibunya meninggal, hingga kini Laura hampir meninggalkan masa remajanya sang pengasuh masih setia.  "Non Laura, bangun atuh, Neng. Udah ditunggu Papi di meja makan." Dengan logat sunda yang khas Ceu Irah membangunkan 'anak' kesayangannya. Dengan langkah berat Laura mendekati pintu, matanya juga belum sepenuhnya terbuka. Ceu Irah merengut melihat Laura yeng baru bangun tidur, rambut acak-acakan dan hanya menggunakan piyama bercelana pendek dengan atasan tanpa lengan. "Neng geulis udah siang baru bangun, udah ditungguin Papi sama Aden-aden di bawah." ujar Ceu Irah lembut, hanya kelembutan dan kasih sayang Ceu Irah lah yang membuat Laura betah di rumah. "Bilangin Papi aku mandi dulu, kalo buru-buru pergi aja, biasanya juga aku selalu sarapan sendiri." Jawab Laura dingin. Tanpa menunggu jawaban Ceu Irah, Laura kembali menutup pintu kamarnya. Melangkah malas menuju kamar mandi. *** Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar begitu Laura memasuki ruang makan, semua menoleh dan menatap Laura yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. "Selamat pagi tuan putri, satu-satunya mahkluk tercantik di rumah ini." Ujar Dimas kakak pertamanya. Laura bergeming lalu menarik kursi untuk ia duduki. "Ehem ...." Suara dehaman wanita cantik yang baru beberapa minggu Dimas nikahi terdengar. "Oh iya, aku sampe lupa! Sekarang udah ada bidadari cantik di sampingku. Laura, enggak jadi deh pujian Kakak tadi kakak tarik lagi." ralat Dimas sambil mengelus punggung tangan istrinya. Sejak berpacaran dengan lalu menikah kakak sulungnya ini menjadi semakin hangat, dan banyak bicara. Sedangkan kakak keduanya masih tetap sama, cuek. Laura hanya tersenyum kecut, "jangan cemberut gitu dong, adik ipar kakak ini juga enggak kalah cantiknya." Kini istri Dimas yang bicara. Laura fokus mengoleskan selai nanas di atas roti tawarnya. "Laura, kamu udah pikirin mau kuliah di mana nanti?" tanya Papinya. "Laura baru naik kelas tiga, Pi. Masih lama, belum tentu sekolah Laura lulus." Jawab Laura tanpa menatap sang lawan bicara, ia mengunyah sarapannya dengan tenang. "Kamu harus persiapkan semuanya sejak awal, walaupun kamu perempuan kamu juga nanti bakal mewarisi bisnis Papi. Ya sudah Papi harus segera ke bandara." Ujar Papinya, lalu meninggalkan meja makan dan bergegas menuju mobilnya. Laura menghela nafas berat selalu itu yang Papinya katakan pada pertemuan mereka yang hanya sebentar dan terjadi dalam kurun waktu lama, bagi Papinya anak-anaknya hanya bagai boneka tanah liat yang ia bentuk sedemikian rupa untuk mengurus bisnis yang ia sangat cintai. Bukan bisnis yang ia jadikan sarana untuk membahagiakan anak, tapi anak yang ia jadikan sarana untuk membahagiakan egonya dalam berbisnis. "Gue juga cabut dulu. Ada pemotretan." Daniel meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan. Daniel ini putra kedua keluarga Soebandriyo, mahasiswa semester akhir bisnis management di universitas terbaik negeri ini. Dia sedikit keras kepala berbeda dengan Dimas kakaknya. Sejak sekolah, secara diam-diam ia mulai menjalani hobinya sebagai seorang model. Itulah kenapa penampilannya sangat modis, dengan wajah tampan dan tubuh proporsional. Bukan hal yan mudah hingga ia bisa mencapai popularitasnya saat ini, saat pertama kali Papinya tahu ia menjadi model terjadi peperangan besar antara ayah dan anak itu. Hingga lambat laun Papinya menyerah akan kekeras kepalaan putranya yang sudah dapat dipastikan menurun darinya, hanya saja dengan sebuah perjanjian jika Daniel tetap akan menjalankan bisnis Papi dengan baik, dan menjadikan bisnis sebagai prioritas utama setelah selesai kuliah. Setelah menghabiskan roti dan susunya Laura berpamitan pada sepasang pengantin baru yang sedang asik saling menyuapkan makanan. Seolah dunia hanya milik mereka berdua, setelah menikah Dimas memang menempati rumahnya sendiri, rumah yang ia jadikan sebagai mahar untuk mempersunting wanita pujaannya itu. Rumah mereka masih satu kompleks dengan rumah Papinya hingga tidak memerlukan waktu lama jika Dimas ingin berkunjung. Wajar saja jika Dimas tergila-gila pada wanita itu, dia sangat cantik, pintar dan dari keluarga terpandang. Sempurna. "Kak Dimas, aku berangkat sekolah dulu, ya." Ujar Laura sambil mengelap bibirnya yang merah alami dengan selembar tissu. "Iya, kamu hati-hati kalau ada yang gangguin bilang sama Kakak." Jawab Dimas. "Iya, Bye Kak Ruby." Laura melambaikan tangan pada kakak iparnya, yang tersenyum sempringah sambil membalai lambaian tangan Laura. Laura berjalan menuju teras di mana sang supir sudah menunggunya. Ada Ceu Irah yang sedang menyapu juga di sana. Laura teringat jika ia sudah ada janji dengan Banyu. "Mbu, nanti aku pulang telat deh kayaknya, ada kerja kelompok." Laura berpamitan pada Ceu Irah karena hanya dia satu-satunya orang yang pasti akan menunggunya di rumah. "Sama Neng Meisya, Non?" tanya Ceu Irah. Ceu Irah yang biasa mendapat sapaan spesial dari Laura -Mbu- entah apa artinya, mungkin Ambu. Sudah hafal betul pada kedua sahabat Laura itu, bagi keluarga Laura Meisya dan Celine adalah gadis yang baik. Ya mereka memang baik, hanya mengambil keputusan yang salah saja dalam hidupnya. "Iya." Jawab Laura. "Ya udah, hati-hati ya geulis." jawab Ceu Irah sebelum Laura memasuki mobilnya. Ia juga mengatakan hal yang sapa pada sang sopir agar tidak menjemputnya sepulang sekolah nanti.  *** "Enggak di jemput sopir?" Celine menyenggol siku Laura dengan sikunya di depan gerbang sekolah, Laura sedikit terkejut dengan perlakuan sahabatnya itu. "Enggak Cel, dia aja janji sama si hot daddy!" Meisya yang berdiri di samping Laura menyambar jawaban. Laura hanya mengulum senyum. "Oh ... kayak apa, sih, orangnya? Penasaran gue." tanya Celine. "Pokoknya empat jempol deh!" celetuk Meisya dengan mengangkat kedua ibu jarinya karena tidak mungkin juga ia mengangkat empat ibu jarinya.  Tidak lama sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan mereka, pintu samping kemudi terbuka menampakkan sesosok lelaki tampan di balik kemudi. "Masuk." Suara beratnya terdengar, Laura memasuki mobil setelah sebelumnya melambaikan tangan pada kedua sahabatnya. Meisya tersenyum sambil melambai sedangkan mulut Celine sedikit terbuka melihat mahluk paling tampan yang pernah ia lihat. Ia masih muda, berbeda dengan daddy nya yang sudah paruh baya. "Kita mau ke mana, Bang?" Laura memberanikan diri bertanya. "Ke rumah saya." Jawab Banyu. Laura memegangi perutnya, berharap Banyu tidak mendengar cacing-cacingnya yang mulai bernyanyi. "Enggak usah di tutupin, saya dengar." Ucap Banyu tanpa ekspresi. Rasanya Laura ingin menghilang ditelan bumi saja kali ini. Malu. Sekitar tiga puluh menit berlalu, dalam keheningan akhirnya mobil yang Banyu kendarai sudah terparkir di sebuah rumah berlantai dua. Rumah yang di d******i warna putih dengan taman luas di depannya. Rumah ini memang tidak sebesar rumah Laura, tapi tampak indah. Laura membuntuti langkah Banyu ke dalam rumah. Sepi. "Abang tinggal sendiri?" Laura tidak tahan untuk tidak menanyakan hal itu, melihat tidak ada siapapun selain mereka berdua di rumah ini. "Kamu bisa masak?" Bukan jawaban yang Laura dapat, malah sebuah pertanyaan. "Aku bisa masak mie instan sama telur ceplok." Jawab Laura sedikit merendah. "Itu dapur, kamu boleh masak di sana kalau mau makan. Sepertinya di kulkas masih ada bahan makanan." Kalimat itu terdengar sebelum Banyu menaiki anak tangga jari telunjuknya menunjuk dapur minimalis yang bisa di lihat dari ruang tengah di mana mereka berdiri sekarang. *** Laura menggerutu sebelum menyantap makanannya, ia memasak telur orak-arik dengan brokoli dan jagung manis, tidak lupa keju yang di potong dadu sebagai pelengkapnya. Ia menatap ke arah tangga, belum ada tanda-tanda Banyu turun. Ia kembali melahap makanannya membiarkan piring jatah makanan Banyu tak tersentuh. "Kamu tanda tangani ini." Suara Banyu membuatnya tersentak, hingga batal menyuap makanan terakhirnya. "Apa ini, Bang?" tanya Laura sebelum meneguk air minumnya. "Perjanjian kerja sama kita, kamu baca baik-baik jika ada yang tidak kamu setujui, kita batalkan saja." Kata Banyu, seraya menarik kursi lalu duduk di hadapan Laura dengan meja makan sebagai pembatasnya. Laura membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis di atas kertas putih itu, semua tertuang dengan jelas dan terperinci tentang apa saja hak dan kewajiban Laura dan Banyu dalam kesepakatan itu. Dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas Laura membaca dengan tenang tapi perhatian Laura selalu saja terfokus pada poin pertama perjanjian itu tertulis dengan jelas With s*x without love.  Laura tersenyum miring, miris. Begitu sulitnya ia menemukan cinta untuknya. Tapi cinta juga bukan tujuannya, cinta bukanlah hal yang penting bagi dirinya. Dengan santai Laura mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja lalu menandatangani surat perjanjian itu sudah ada tanda tangan Banyu di sebelahnya. "Ini, Bang. Aku udah masakin makanan buat Abang kalau Abang mau." Kata yang mengiringi tangan Laura yang mengembalikan kertas itu pada Banyu. Alis Banyu sedikit terangkat hingga dahinya berkerut. "Memasak buat saya enggak ada dalam perjanjian itu," kata Banyu. "Kita ini manusia, Bang. Bergerak bukan hanya dengan perintah otak tapi juga hati, jangan terlalu terpaku dengan selembar kertas." jawab Laura, seraya membetulkan ikatan rambutnya yang sedikit berantakan. Tangannya yang terangkat ke atas membuat Banyu bisa dengan leluasa melihat bentuk dadanya walau masih terbalut kemeja sekolah. "Maksud kamu?" Tanya Banyu, seperti ada keraguan di wajahnya. "Abang tenang aja, aku enggak akan melanggar perjanjian itu. Aku cuma enggak tega, makan sendiri ngebiarin Abang kelaperan." Jawab Laura santai. Bibir Banyu sedikit bergerak, ia menahan senyum, selain cantik dan seksi Laura juga cerdas dan baik. *** "Lumayan." jawab Banyu ketika Laura bertanya bagaimana rasa masakannya. "Enggak enak, ya, Bang?" Laura mencondongkan tubuhnya, mencoba mencari ketidak sukaan di wajah tampan Banyu. "Abang kan udah bilang lumayan. Kamu tau yang menurut Abang enak?" "Apa?" "Makan kamu!" Laura menarik mundur tubuhnya, Banyu tersenyum sambil menggeleng. Geli melihat ekspresi terkejut Laura, rasanya jadi ingin melumat lagi bibir sensualnya itu. Tapi ia urungkan mengingat aja jadwal pertandingan bola dari tim kesukaannya malam ini, jadi dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya agar nanti malam bisa fokus menonton.  Laura hanya sibuk dengan ponselnya, berkirim pesan singkat dengan Celine dan Meisya sementara Banyu meminta agar tidak diganggu selama mengerjakan pekerjaannya. "Laura, kamu nginep, ya. Temenin Abang nonton bola." Perkataan Banyu terdengar saat Laura tengah mengedit hasil foto selfinya, menambahkan beberapa emoticon lucu untuk menutupi gambar Banyu yang tidak sengaja ikut terekam. "Emang Abang terlalu jelek apa sampe harus ditutupin gambar sapi melet gitu!" Laura tersentak, ia tidak sadar jika Banyu memperhatikannya sejak tadi. "Eh ... enggak ... bukan gitu, Bang." Laura berusaha membela diri, sedangkan Banyu tampak tidak peduli. "Sana mandi, kamu pake aja baju Abang buat ganti." "Iya." Karena masih malu, Laura tidak banyak menjawab. *** Keinginan Banyu untuk berkonsentrasi menonton pertandingan sepak bola sepertinya hanya angan-angan saja, nyatanya ia harus membagi perhatiannya pada Laura yang terus berceloteh menceritakan berbagai hal tentang masa remajanya kini. Banyu yang memang merasa kesepian karena hidup sendiri merasa sedikit terhibur dengan adanya Laura. Ia berbeda dengan wanita-wanita yang biasa ia sewa sebelumnya, mereka hanya memberi kepuasan lalu pergi dengan kepuasan juga karena mendapat banyak bayaran. Tidak begitu dengan Laura, padahal sejak kemarin Banyu memberinya kartu kredit tapi ia belum menerima laporan jika Laura menggunakannya. Sebenarnya apa yang gadis kecil ini cari. "Kamu enggak dicariin keluarga kamu?" Tanya Banyu, Laura sedikit tercekat. "tidak akan ada yang mencariku." batinnya. "Tadi udah sms Mbu kalo aku nginep di rumah Celine," jawab Laura kemudian. Laura menguap karena waktu sudah hampir tengah malam, tanpa ada upaya menjaga sikap, polos dan apa adanya. Itulah yang Banyu lihat dari Laura. "Kalo kamu udah ngantuk, tidur aja dulu." Ucap Banyu lalu kembali fokus pada layar televisi. "Iya," jawab Laura yang sudah tidak kuat menahan kantuknya, Banyu sedikit terkejut mendapati Laura merebahkan tubuhnya di sofa berbantal pangkuannya. Tidak begitu lama hembusan nafas teratur Laura terdengar, ia terlelap. Banyu menatap wajah cantik itu dalam-dalam lalu mengelusnya pelan. *** Laura terbangun merasakan kakinya yang keram, matanya mengerjap sudah ada bias cahaya dari balik jendela, sepertinya malam telah berlalu. Kini ia setengah sadar telah berada di atas ranjang, kamar ini juga ia kenal karena sudah pernah masuk sebelumnya untuk mengambil baju ganti di lemari. Laura menggerakkan kakinya yang terasa berat, rupanya kaki seseorang tengah menindihnya. Ia terperanjat menyadari Banyu sedang memeluknya erat, ia tertidur lelap, pasti karena menonton bola sampai larut malam. Laura berusaha mendorong kepala Banyu yang berada tepat di samping kepalanya, sesaat ia tersadar kalau tangan Banyu menyelusup ke dalam kaos yang ia kenakan. Telapak tangan Banyu yang terasa hangat mengenggam lemah satu gunung kembarnya yang sudah tidak tertutup bra. Seketika jantung Laura terasa bagai hampir meledak menyadari bra yang ia kenakan telah raib dari tubuhnya, tapi Laura segera menutup rapat matanya saat merasakan gerakan Banyu. Sepertinya ia bangun. "Aduh ... bagaimana ini?" * Dita Andriyani * Info pembelian koin. Karena masih banyak temen-temen yang belum mengerti cara pembelian koin, sekarang aku mau ngasih tau cara pembelian koin. 1: Buka profil kalian di Dreame atau Innovel. 2: Klik bagian store atau toko. 3: Pilih jumlah koin yang ada kalian beli, di sebelahnya udah ada harganya, ya. 4: Nanti ada dua pilihan pembayaran. Pilihan 1: Codapay. Ini banyak pilihannya bisa pake E-wallet, seperti OVO, DANA, LINKaja, kartu kredit dan DOKU wallet. Bisa juga melakukan pembayaran di Indomaret/Alfamart. Bisa juga menggunakan pulsa. Pilihan 2: Gpay. Nanti kalian akan diarahkan untuk melakukan pembayaran menggunakan pulsa, atau kartu kredit, bisa juga membeli saldo Google Play di minimarket. Setelah melakukan pembayaran silakan cek dompet atau wallet kalian, dan koin sudah bisa digunakan untuk membuka bab berbayar. Buat yang bertanya-tanya kenapa, sih, ceritanya pake acara dikunci segala? Padahal, 'kan, aku bacanya udah pake kuota. Maka jawabannya adalah, karena sebuah novel juga dibuat menggunakan otak dan hati seorang penulis padahal saat meng-upload cerita seorang penulis juga menggunakan kuota. Maka marilah menjadi pembaca yang bijak, untuk mengapresiasi seorang penulis dengan membuka ceritanya dengan koin, karena selain ide penulis juga meghabiskan banyak waktu untuk membuat sebuah novel yang kalian nikmati. Toh, kalian juga bisa membuka bab berbayar dengan koin gratis yang bisa kalian klaim di aplikasi bukan?  Asalkan kalian sabar menyelesaikan misi yang diberikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD