Hujan

1491 Words
Aku Fabio Berusia 16 tahun, aku tinggal di daerah pelosok yang jauh dari kota. Tetapi entah mengapa aku berbeda dengan teman teman yang lain, di saat mereka mengisi kehidupannya dengan bermain bersama anak-anak lainnya, justru sebaliknya aku harus menghadapi masalah, di mana masalah tersebut harus diselesaikan oleh orang dewasa bukan anak kecil sepertiku yang seharusnya menikmati dimasa masa sekarang. Ini semua dimulai semenjak ada kesalahpahaman antara keluargaku dan keluarga Lila. Oh iya, Lila ini seumuran denganku kita juga berteman sejak kecil. Tetapi semuanya berubah semenjak sesuatu kejadian menimpa diriku dan Lila. Hari itu, Minggu pagi. Aku sedang bermain dirumah Lila, kami bermain seperti biasa dihalaman sampai saat hampir menjelang siang ibu Lila memanggilku. "Fabio! kamu bisa bantuin nyari tanaman sama bibi ga?" Aku pun langsung menjawab panggilan bibi, Lalu berpamitan kepada Lila dan meyakinkannya untuk kembali pada waktu sore hari. Saat itu aku berfikir mencari tanaman hanya disekitar kebun, tetapi ini aneh. Bibi mulai masuk kawasan hutan. Lalu aku bertanya kepada bibi, kenapa kita mencarinya tidak di kebun saja. "Bibi lagi mencari obat herbal yang ampuh untuk keperluan mendadak, soalnya tanaman yang bagus ada dikawasan hutan." Aku dan Ibu Lila terus mencari tanaman tersebut. Oh iya, tanaman di sini yang kami maksud itu daun sukun, yang kata orang tua dulu-dulu itu bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Semakin lama semakin jauh sampailah kami di tengah perbatasan hutan. Bibi melihat pohonnya, tetapi pohon tersebut berada di celah tebing yang tinggi. "Fabio! itu pohonnya!" Dengan percaya dirinya aku memanjat tebing tebing tersebut, untuk bisa menggapai pohon itu. "Wah kamu jantan sekali ya ! Bibi jadi pengen punya menantu kayak kamu!" seru ibu Lila. Aku yang mendengar suara teriakan bibi, menjadi lebih percaya diri. Tapi entah mengapa kepercayaan diriku itu malah membawa malapetaka, akhirnya pada pijakan-ku yang hampir mendapatkan daun tersebut, aku tergelincir jatuh. Kakiku luka dan banyak mengeluarkan darah. ibu Lila yang melihat kondisiku, yang cukup memprihatinkan, langsung menghampiriku. "Ya ampun, Fabio. Bibi bilang pelan pelan. Kamu, sih. Bandel," ujar ibu Lila yang tengah memarahiku. Akhirnya kami pun gagal mendapatkan daun tersebut karena ibu Lila sudah khawatir dengan kondisi yang-ku alami. "Baiklah, kalau begitu kita pulang saja, ya. Bibi lihat kaki kamu mulai memar. Nanti bibi beri obat, ya." Aku yang seharusnya terlihat keren di depan bibi, malah mengecewakannya dan terlihat seperti ga berguna. Lalu kami pun pulang menuju desa. Dalam perjalanan pulang, aku sendiri malu dengan posisiku yang sekarang digendong oleh bibi. Tetapi yang selalu kupikirkan adalah. bagaimana jika Lila tidak mau main lagi sama aku, karena aku sudah menjadi beban untuk ibunya. Tiba tiba saja ibu Lila mengucapkan sebuah kata-kata yang membuatku merasa tenang. "Tenang aja. Lila pasti bakal terus jadi teman kamu kok sampai kapanpun, bahkan kalo bisa jadi calon istrimu." ia mengungkapkannya sambil memasang senyumnya. Aku bertanya pada bibi sambil tersipu malu. "Kenapa bibi bisa berkata seperti itu?" "Hehehe. Habisnya, kamu keliatan cemas begitu, sih." menjawab pertanyaan-ku barusan, ia pun hanya geli hati. Aku pun senang, kata-kata bibi membuatku jadi tidak malu lagi untuk bermain sama Lila. Tak lama kami berjalan, kami pun tiba di sebuah pohon yang rindang. "Haduh. Kita istirahat di sini dulu, ya. Bibi capek, mau cari air dulu untuk kita minum," ucap ibu Lila dengan santainya menurunkan-ku dan membiarkanku bersandar di pohon. "Kamu tunggu sini, ya. Awas ada harimau." ... Waktu pun terus berjalan. Tanpa disadari, aku pun tertidur pulas di bawah pohon. Saat aku bangun dari tidurku, kakiku tidak terasa sakit lagi. Darah yang dikeluarkan juga sudah tidak ada. Tapi, bibi tidak bersamaku saat aku membuka mata dari tidurku. Tiba tiba aku mendengar teriakan orang-orang dan suara Lila yang memanggil namaku dan bibi. "Fabio. Ibu! Kalian di mana?!" Aku pun menjawab panggilan tersebut dengan lantang dan keras. Lila yang mendengar suara teriakan-ku, akhirnya menghampiriku bersama warga. "Fabio dimana ibu?! Terus kenapa kamu kelihatan santai-santai di sini? Bukannya kamu tadi siang mau tolong ibu cari tanaman?" tanya Lila, belum memberi peluang untuk diriku menjawab pertanyaannya. Bodohnya aku hanya berbicara apa yang sekarang sedang dilakukan bibi. "Hah?! Bisa-bisanya kamu memerintahkan ibuku buat mencarikan kamu air. Kenapa ga kamu!? Kamu kan laki laki." Entah kenapa Lila menjadi tidak terkendali, ia membentak-ku terus-menerus. Akhirnya, aku menceritakan kejadian saat di tebing bersama bibi. Tetapi karena Lila kehilangan kontrol emosinya, akhirnya Lila pun masih terus membentak-ku. "Mana?! Kalau kamu terjatuh pasti ada memar atau tidaknya darah yang keluar dari kakimu!" Aku terus menjelaskannya kepada Lila, tetapi tetap saja Lila tidak mau percaya karena diposisi-ku yang sekarang ini terlihat baik-baik saja. Aku baru saja sadar ketika melihat bekas luka di kakiku. Saat aku tertidur, di bagian kakiku yang luka sudah terdapat daun-daun. Dan aku berfikir, kalau bibilah yang mengobatiku saat aku lelap tertidur. Lalu seorang warga menemukan bibi tergeletak di tepi bebatuan yang tidak jauh dari sungai. Lila pun Menangis melihat kondisi ibunya yang memprihatinkan. "Ibu! ibu! bangun ibu!" "Nak. Lebih baik kita langsung bawa saja ibumu ke rumah sakit, ya," ujar salah satu seorang warga yang tengah mengamati kondisi ibunya Lila. Aku pun hanya bisa terdiam melihat situasi seperti ini, di mana baru kali ini aku melihat Lila menderita sekali. Keesokan harinya. Bibi pun dirawat selama beberapa hari dirumah sakit. Saat ibuku mendengar kabar tersebut dan aku terlibat pada tragedi ibu Lila, aku pun ditanya banyak hal sama ibuku. "Fabio! jawab. Apa yang sebenarnya terjadi kenapa ibu Lila bisa sampai dirawat seperti itu." nada bicaranya amat jauh dari kata lembut dan tenang. Lalu aku menceritakan hal yang sama, sama dengan apa yang-ku ceritakan pada Lila. Aku lega, karena ibu mengerti itu sebuah kecelakaan. Tetapi tetap saja, dalam pandangan ibuku, aku adalah orang yang gagal karena sudah menyusahkan orang lain. Begitulah yang saat ini aku rasakan. "Sekarang kamu siap-siap. Kita berangkat," ucap ibuku, nada bicaranya kali ini sudah mulai tenang dan sedikit lembut. Bodohnya lagi, aku malah bertanya pada ibuku kalau kita akan pergi kemana. "Ya ampun, kamu ini. Kamu ga punya rasa bersalah sama ibu Lila? Atau sama Lila?" tanya lagi ibuku, nadanya mulai melonjak naik. Aku yang mendengar perkataan ibu, tiba tiba langsung merasakan sakit pada hatiku, karena aku gagal menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi pada akhirnya, aku tetap menerima ajakan ibu untuk menjenguk ibu lila meskipun dengan perasaan malu di sepanjang jalan. Sesampainya dirumah sakit, aku kaget melihat semua keluarga Lila memandangku dengan tatapan sinis. Aku pun hanya diam dan terus berjalan hingga sampai ke ruang rawat ibu lila. Di setiap langkah yang-ku pijakan, pastinya aku pun mendapat cacian dari keluarganya Lila yang sedang menjenguk bibi. Aku benar benar tidak percaya diri, kemauanku untuk menjenguk tiba-tiba turun. Aku merasa takut membayangkannya saja, sudah membuatku sakit. Saat aku hendak membuka pintu, aku mendengar suara tangisan seorang perempuan. Ya. Suara tangisan itu tidak lain dan tidak bukan berasal dari Lila. Pikiranku sudah mulai kacau, aku tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana keadaan bibi sekarang, bagaimana jika Lila benar benar membenciku. Setelah aku dan ibuku membuka pintu, aku melihat papanya Lila dan Lila sedang menangis. Lalu, melihat kedatangan kami, papa Lila langsung menghampiriku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau papanya Lila menghampiriku dengan mengangkat salah satu kakinya dan menendang wajahku. "Untuk apa kamu kesini, hah?! Sampah! Kamu bikin kacau semua. Masih berani kamu datang kesini!?" ibuku yang langsung melerai papanya Lila, tidak terima melihatku diperlakukan seperti binatang yang sedang mengemis makanan. "Heh! Jangan asal main fisik, ya! Saya tahu, anak saya itu salah. Tapi itu, kan kecelakaan! Semua itu bisa terjadi!" Tak mau kalah dengan argumen dari ibuku, papanya Lila kembali mengeluarkan kalimatnya. "Kecelakaan atau bukan, dia tetap saja gagal! Dia seharusnya membantu ibunya Lila, bukan membebankan dan malah asik-asikan tidur saat ibunya Lila berusaha untuknya." Aku berfikir, apa bibi tidak menceritakan hal sebenarnya, ya? Mengapa paman sampai benar-benar mengira aku hanya santai santai saja saat di hutan. Apa jangan-jangan bibi sudah tiada. Kami pun mendengar suara nafas dari arah tempat tidur. Itu suara bibi yang sedang berusaha untuk memanggilku. "Fabi ... Fa ... " Aku pun menjawab dengan rasa menyesal, dan langsung menghampiri bibi. Lila yang masih sedih akan kondisi ibunya hanya bisa menangis dan terus menangis. Anehnya, aku hanya bisa merasakan tangan bibi yang mengusap kepalaku. Aku merasakan tangan bibi sudah tidak ada tenaga lagi, tetapi bibi tetap memberikan kasih sayangnya untukku. Entah mengapa aku merasa aneh, sebab biasanya bibi selalu tertawa ringan padaku. Bukan hanya aku. Lila,ibuku dan papanya Lila pun terkejut melihat kebiasaan itu hilang. Karena yang kita tahu, bibi itu orangnya selalu menjaga keramahannya lewat tertawanya yang ringan. Tak lama, dokter pun masuk dan menjelaskan apa yang ibu Lila derita sekarang. "Maaf mengganggu waktunya." "Jadi istri saya ini menderita apa, dok?" masih amat santai papanya Lila ketika bertanya kepada sang dokter. Aku terkejut. Bukan, tapi kami semua terkejut karena bibi menderita Disartria. Yang di mana, bibi sudah tidak bisa berbicara layaknya orang normal. Dan yang tidak bisa diterima oleh Lila adalah, kalau ibunya mengalami kelumpuhan walaupun tidak selamanya. Aku benar benar tidak bisa berkata apa apa lagi. Lalu Lila menoleh ke arahku sambil berkata. "Nah, Fabio. Kamu lihat, 'kan bagaimana situasinya? Kita akhiri saja pertemanan kita sampai sini." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD