Malunya Akuuu

1101 Words
"Dasar p*****r! Sudah kubilang jauhi suamiku tetap saja keganjenan pada suamiku!" Bug! Kakinya dengan cepat menyepakku. Dia adalah istri salah satu klienku. Satu bulan lalu dia datang menemuiku, menghajarku habis-habisan sampai pipiku lebam-lebam kebiruan dan badanku sakit semua. Bug! Bug! Bug! Kakinya terus saja menyepakku. Aku meringis sakit. Aku gak bisa memberontak karena tangannya terus mengacungkan belati. Terlihat tajam mengerikan. "Sini uang suamiku!" Teriaknya marah. Aku menggeleng. "Sejak aku berjanji gak akan dekat-dekat dengan suami Ibu, sejak saat itu juga aku gak pernah berhubungan dengannya lagi, Bu." Huh! Dia mengembuskan napas keras. "Kamu pikir aku akan percaya,hah?! Aku tidak percaya ucapanmu!" Dia menyambar tas tanganku, membukanya dengan tergesa, mengambil semua uang di dalamnya. Dilemparnya tas tangan yang kini kosong ke wajahku. "Jangan, Bu. Itu bukan uang dari suami Ibu. Demi Allah." "Kamu tidak pantas menyebut Allah!" Dia mendorongku lalu melangkah menjauh dengan cepat. Aku buru-buru mengeluarkan HP, segera memvidio perempuan itu. Jika bertemu dengan suaminya nanti, aku akan meminta ganti rugi. Enak saja uangku direbut begitu saja. Dengan tubuh terasa sakit semua, aku pelan-pelan berdiri. *** "Kamu yakin, mau bertemu dengan Ferdi?" tanya Lila keesokan harinya. Aku mengangguk mengiyakan. Lila mengembuskan napas. Aku memperhatikan penampilanku di cermin. Aku begitu memukau dengan gaun hijau lembut di bawah mata kaki, serasi dengan anting-anting bulat dan liontin berbandul kupu-kupu. Rambut gelombang sebahu kubiarkan terurai, sementara bibirku yang seksi menggoda kupoles lipstik merah muda, senada dengan sandal berhak rendah yang menghiasi kakiku yang terawat. “Aku sudah menasehatimu berkali-kali jangan ganggu rumah tangga Ana, Yu." “Jangan mulai," kataku. Sejak aku jadi pacar Mas Ferdi, aku dan Lila jadi sering bertengkar. “Kasihan Ana, dia menangis menceritakan semuanya padaku karena suaminya mulai gak perhatian. Apa kamu gak kasihan padanya?” Lila melangkah mendekat kemudian meletakkan kedua tangannya ke pundakku, menatapku penuh harap. “Bukan salahku. Mad Ferdi bilang, hubungannya dan Ana emang udah gak baik-baik saja sebelum kenal aku,” sahutku sambil menurunkan tangannya. “Dan kamu membuat hubungan mereka tambah buruk. Ana itu bos kita, Yu. Gimana kalau dia tau yang membuat suaminya berubah adalah kamu?” “Aku yakin kamu nggak akan memberitahunya.” Lila membuang napas. “Kenapa harus Mas Ferdi?" “Yaa karena aku cinta dia,” sahutku sambil meraih tas tangan berwarna cokelat. Aku tersenyum membayangkan sebentar lagi akan bertemu dengan Mas Ferdi di toko. Mas Ferdi bilang akan mengajakku ke suatu tempat. Dan yang lebih mendebarkan lagi, katanya, dia akan memberiku kado spesial di hari ulang tahunku. *** Lima menit kemudian, aku sudah berdiri di depan toko yang nampak sepi, amat berbeda dengan toko sembako di sampingnya yang begitu ramai. Tak jauh dari toko sembako, sekitar sepuluh orang, tengah mengantri fried chicken yang seperti biasa selalu ramai pembeli. Perlahan, dengan d**a berdebar aku kembali melangkah. Aku yakin, di toko, hanya ada Mas Ferdi karena hanya aku dan Lila-lah yang biasanya menjaga toko. Biasanya, aku jaga toko dari jam 1 hingga jam 5 sore, sementara Lila dari pagi sampai siang. Aku kuliah masuk pagi sementara Lila masuk siang, kami di jurusan yang sama, semester yang sama, hanya beda kelas. “M-Mas sayaaang, maaf membuatmu menung--" Aku ternganga di ambang pintu saat melihat Ana di pangkuan suaminya yang tak lain adalah kekasihku. Kenapa ada Ana? “Eh, bicara apa kamu tadi? Aku kurang dengar. Ciin, kecilin dong, musiknya.” Suara Ana terdengar manja. Mas Ferdi langsung meraih HP di meja kasir kemudian menatapku penuh penyesalan. Aku menarik napas. Sungguh, aku kecewa pada Mas Ferdi. “Bukannya kamu ijin karena ada sesuatu yang gak bisa kamu jelasin padaku? Mau ke mana cantik begitu? Pasti mau kencan, kan?" tanya Ana sambil mengamati penampilanku cukup lama. Aku memandangnya gugup. Jangan sampai Ana mencium gelagat antara aku dan suaminya. Biar saja Mas Ferdi yang mengatakannya pada Ana tentang hubungan kami. “Oh, eh, aku ... aku mau ambil kunci kontrakanku. Kunci kontrakanku tertinggal di sini, kemarin sore tertinggalnya,” sahutku gugup. Ya, Tuhan. Kenapa aku harus berada pada situasi seperti ini? Ana kembali menelisik penampilanku, kali ini lebih lama. “Kok kamu bisa ganti baju?” Untuk sesaat lamanya, aku gak bisa berkata-kata. Sampai tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu. Lila. Iya, Lila. "Saat aku pulang dari kampus, ternyata Lila belum ke kampus, jadi aku bisa masuk kontrakan." Kening Ana berkerut. “Aku gak percaya penjelasanmu. Ayo ngaku aja, kamu jangan-jangan mau kencan, kan? Aku pasti tetap ijinin kamu libur, kok. Hmm? Benar, kan, mau kencan?” “Enggak, aku cuma mau ambil kunci dan juga ....” Aku memandangnya gugup. “Juga?" Bola mata Ana berputar. “Mau beli chicken!” sahutku spontan. Ana langsung terbahak. “Serius mau beli chicken? Masa hanya beli chicken dandan cantik gitu? Jangan-jangan, ada yang kamu sukai, ya, di sini?” tanyanya dengan tatapan menggoda. Deg! “Cowok baru itu, ya?” Tangan Ana terjulur ke arah toko di seberang jalan. Aku langsung menggeleng. “Dik, sudah, kasian Ayu digodain terus. Ambil kuncimu lalu pergi, Yu, jangan pedulikan Ana.” Dasar bodoh! Aku mengumpat dalam hati. Tentu saja gak ada kunci di sini. Meskipun begitu, aku tetap pura-pura mencari--menggeledah laci tempat menyimpan uang, ditumpukan buku, melihat-lihat lantai, dan akhirnya memasang wajah ceria kemudian keluar toko dengan langkah cepat. Saat melewati antrian orang mau beli chicken, tanpa membuang waktu aku langsung ikut mengantri. Kalau aku nggak ngantri, Ana pasti akan heran. Masa aku bilang mau beli chicken, tapi gak jadi beli chicken. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Sungguh sangat melelahkan mengantri panas-panasan begini. Seandainya Ana gak menghadap ke arahku, tentu aku gak sudi berdesak-desakan seperti ini di bawah matahari yang terik. Aku sampai berkali-kali mengusap keringat di wajah. Panasnya. Akhirnya, tiba juga giliranku membeli. Aku pun meminta dua sayap untuk kumakan bersama Lila. Kini, tanganku bergerak cepat membuka tas. Astaga ... kenapa gak ada uang di tas? Aku menepuk jidat saat ingat kejadian semalam. Aku menatap ke arah toko, Ana masih di sana, menatap lekat ke arahku. Gawat. Aku gak boleh ketahuan sedang berbohong. A-ha! Di celana jins yang kukenakan pasti ada uang. Maka, aku segera merogoh saku bagian belakang. Kenapa sulit sekali, sih? Celanaku, kenapa bisa terasa jauh dari tubuhku, sih? Aneh. Perlahan, aku menoleh. Aku langsung membelalak lebar saat mengenali lelaki dewasa yang semalam mengantarku pulang. Siapa lagi jika bukan Om Reyhan? Om Reyhan menatapku dengan satu mata terpicing. Tatapannya turun ke bawah, pada tanganku yang berada di saku celananya. Orang-orang di belakangnya nampak menahan tawa. Duh, Gusti ... rasanya, aku ingin pura-pura pingsan saja. “Maaf aku nggak sengaja, aku bermaksud merogoh saku celaa—" ucapanku terpenggal saat menyadari ternyata aku mengenakan dres. Jangankan menatap Ana, menatap si cowok ini pun, aku gak punya nyali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD