Dimarahi

1032 Words
Suasana Pelatnas sangat ramai karena para atlet sibuk berlatih untuk mempersiapkan diri dalam tour Eropa yang akan diselenggarakan tiga minggu lagi, Turnamen dunia Thomas Cup dan Uber Cup akan berlangsung dilanjutkan dengan Swiss Open, Danemark Open dan juga France Open, padahal sebelumnya mereka baru saja mengikuti Malaysia Open dan Malaysia Master. Jadwal tahun ini sangatlah padat, sehingga membuat para atlet harus berjuang keras untuk mempertahankan kebugaran tubuhnya tak terkecuali bagi sosok Faiz Faisal. Pemain tunggal putra itu berusaha untuk latihan keras demi menjaga staminanya agar tetap bugar dan berlatih berbagai variasi pukulan. Di bawah asuhan pelatih Diki Selalu Bahagia, atlet ranking dua dunia itu senantiasa berusaha menunjukkan prestasi yang baik agar terus menjadi andalan di sektor tunggal putra, terlebih sebentar lagi akan menghadapi event besar seperti kejuaraan dunia beregu putra, Thomas Cup dan juga turnamen Eropa lainnya. Ia juga mengincar ranking satu dunia yang saat ini ditempati oleh pemain Denmark. Kebetulan persaingan di nomor tunggal putra sangat ketat karena masing-masing negara kuat memiliki andalan. Selain itu bermunculan juga para pemain muda yang tampil cemerlang yang patut diwaspadai. "Faiz, kamu latih terus jump smash menyilangnya." Terdengar suara Diki memberikan arahan. Smash menyilang Faiz masih belum akurat karena masih sering tersangkut di net. Faiz pun terus berlatih bersama yang lainnya. Meski peluh sudah membasahi bajunya namun ia tak pernah merasa lelah. Mimpinya adalah ingin menjadi pebulu tangkis terhebat di dunia. Suasana lapangan siang itu semakin ramai. "Saya harap kamu terus mengasah kemampuan kamu!" Diki kembali memberikan arahan. Meskipun skill yang dimiliki Faiz luar biasa namun tetap harus mengasah kemampuannya. Apalagi ia kadang terpancing permainan lawan, di atas lapangan pun ia banyak melakukan kesalahn sendiri karena kurang bisa fokus dan mengontrol emosi, salah satu kelemahan yang dimiliki para pemain muda dimana pun dan itu berakibat fatal di lapangan. Sementara itu, di saat Faiz sedang sibuk berlatih Evi pun memutuskan untuk menonton latihan Faiz Faisal sampai satu jam lamanya hingga ia lupa segalanya. Selama sesi menonton ia kesal bukan main karena Faiz Faisal selalu melakukan kesalahan sendiri dan tidak fokus. Di atas kertas seharusnya ia mampu memenangi pertandingan. Diki pun mengomel kesal kepadanya. Ia kalah dari Beny Irawan yang kemampuannya jauh di bawahnya. Bahkan pemain itu terancam didegradasi saking jarang dikirimkan ke berbagai turnamen dan selama dalam sesi latihan selalu kalah. Kemenangan atas Faiz kali ini adalah yang pertama setelah sekian lama selalu menunjukkan performa buruknya. "Seharusnya kamu bisa main lebih tenang lagi. Jangan terlalu terburu-buru ingin mematikan bola! Coba dua atau tiga pukulan lagi. Fikus dan konsentrasi untuk membaca permainan lawan, ingat jangan mudah terpancing!" Terdengar suara Diki memberikan arahan. Jiwa muda Faiz yang mudah terprovokasi sangat berpengaruh. Pemuda itu masih kesulitan mengontrol emosinya di lapangan dan itu sangat menguntungkan pihak lawan apalagi jika melawan pemain senior. "Astaghfirullah aladzim, kenapa saya teh malah nonton bukannya segera kembali menyapu ruang gudang." Evi bermonolog. Ia selalu saja khilaf kalau sudah melihat penimpilan memukau dari sosok Faiz Faisal yang selalu membuatnya leleh. Kalah menang baginya, Faiz Faisal adalah sosok kebanggan yang harus selalu didukung. Evi melengang, meninggalkan tribun penonton. Para pelatih tak pernah mempermasalahkan jika ada karyawan yang menonton asalkan pekerjaan mereka sudah selesai. Namun mereka tak sadar jika ada juga karyawan seperti Evi yang lalai akan pekerjaannya. "Kamu darimana saja, Evi?" Mas Paijo terlihat sedikit kesal kepada Evi karena sejak tadi ia mencarinya namun tak ketemu dan nomornya pun mendadak sulit dihubungi. Padahal ada banyak pekerjaan yang membutuhkan bantuannya. "Maaf Mas, Saya teh tadi ada perlu sebentar." Evi beralasan. Ia berusaha untuk membela diri agar tak dimarahi oleh Paijo. "Kamu jangan seenaknya kalau sefang bekerja saya tahu kok, kamu malah nonton latihan. Gaji kamu saya potong baru tahu rasa." Mas Paijo menegur Evi sekaligus memberikan ancamannya kepada gadis itu yang mulai berbohong. Ia tak suka dengan ketidakjujuran dan kelalaian. "Maaf, Mas." Evi meminta maaf atas tindakannya yang lalai akan pekerjaan namun ia tadi penasaran ingin melihat pertandingan latihan antara Faiz Faisal dan Beny Irawan alias Beben yang menurutnya terlalu sayang untuk dilewatkan. Pertandingan itu sangat menarik. "Maaf!maaf! Gampang sekali kamu meminta maaf! Saya tidak butuh maaf kamu, saya butuh tenaga kamu." Paijo terlihat marah. "Tugas kamu itu beres-beres bukan nonton pertandingan!Sekali lagi kamu lalai! Saya tak segan-segan memecat kamu dari tempat ini! masih banyak orang yang mau kerja di sini." Paijo kembali menunjukkan sifat tegasnya. Ia hanya ingin supaya anak buahnya itu berdisiplin. "Maaf, Mas sekali lagi saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Evi menunjukkan penyesalannya. Ia tak bermaksud lalai akan tugasnya. "Ya sudah sekarang kamu segera bekerja! Ingat, jangan ulangi lagi perbuatan ini! Sekatlrang Tolong bersihkan gudang!" Paijo memberikan perintah. Lama-lama kinerja Evi semakin menurun karena ia lebih banyak diam tak tentu di tepi lapangan untuk menonton padahal tugas utamanya adalah membersihkan lingkungan pelatnas. "Baik, Mas." Evi mengangguk paham. Ancaman Paijo membuat dirinya ketakutan karena kalau ia sampai dipecat ia harus angkat kaki dari tempat tersebut dan ia tak akan bisa lagi berdekatan dengan idolanya Faiz Faisal. Bukankah, tujuan utamanya bukan semata-mata pekerjaan, melainkan sosok Faiz Faisal yang memang menjadi incarannya. Ia datang ke pelatnas dengan misi pribadi. Gadis berkulit gelap itu lantas pergi meninggalkan atasannya untuk segera menuju tempat yang ditunjuk. Ia tak mau membuat Paijo marah lagi. Evi akui itu adalah salahnya, ia terlalu antusias jika itu berhubungan dengan Faiz Faisal. *** Gudang itu letaknya ada di pojok, di sana sudah ada satu petugas kebersihan lain yang sibuk mengeluarkan barang-barang bekas yang sudah usang. "Ini barang-barangnya mau dikemanakan Bang Miun?" Evi memperhatikan barang yang kini ada di dekat pintu. "Sepertinya sebagian mau dibuang, lagian sudah pada usang, di sini juga banyak tikus." Pria bernama Miun itu mengeluarkan beberapa peralatan olah raga yang sudah usang dan tidak terpakai. Dengan penuh semangat, Evi pun membantunya. Meskipun tubuhnya kecil namun ia merasa kuat dan lincah dalam mengangkut barang-barang. Setelah selesai, ia menyapu ruangan yang kini kosong sebelum akhirnya mengepelnya. Bang Miun sendiri sibuk membuang barang-barang itu ke bak sampah. Ingatannya langsung tertuju ke rumahnya begitu melihat pemandangan gudang. Ia paling malas jika berurusan dengan gudang, dan kini ia rela bekerja seperti itu. Ia rindu kedua orang tuanya yang entah sedang apa sekarang, sejak tinggal di Jakarta ia tak pernah menghubunginya lagi. Namun ia juga merasa kesal jika mengingat masalah yang tengah dihadapi. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD