lima belas menit dari Hongkong

1415 Words
Malam semakin larut. Raisa akhirnya pergi dengan wajah tidak puas, dan suasana kompleks kembali hening. Juya masih duduk di balkon, menatap kosong pada cangkir yang kini tinggal setengah isi. Angin malam berhembus lembut, membuat rambut hitam lurusnya ikut bergoyang. Lampu mobil lain tiba-tiba menyorot jalanan. Juya menoleh cepat—dan kali ini hatinya lega. Mobil itu milik Leon. Sahabatnya turun dengan langkah santai, mengenakan kemeja kerja yang lengannya sudah digulung. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap ada senyum tipis yang khas. Juya tanpa sadar ikut tersenyum, lalu berdiri sambil menyandarkan tubuh di pagar balkon. Ia menunggu sampai Leon masuk ke rumah, sebelum akhirnya lampu balkon seberang menyala. Tak lama, Leon muncul di sana dengan segelas air dingin di tangannya. Begitu melihat Juya, bibirnya langsung melengkung lebar. “Rabbit!” serunya setengah berteriak. “Masih melek aja? Jangan bilang kamu lagi maraton video Jungkook lagi?” Juya terkekeh kecil. “Bukan, aku cuma lagi nikmatin cokelat panas. Lagian, salah kamu juga. Biasanya kalau aku ngeliat balkon kosong, tandanya kamu pulang lebih cepat. Ini malah pulang jam segini.” Leon mengangkat bahu, lalu bersandar di pagar balkon seperti meniru pose Juya. “Kerjaan numpuk. Dimas sama Bastian sibuk meeting, Haikal entah ke mana. Jadi semua numpuk di aku.” “Mhm…” Juya mengangguk-angguk, memperhatikan raut lelah di wajah sahabatnya. “Pantes muka kamu kusut. Jangan lupa minum vitamin, Leon.” “Siap, Bu Dokter.” Leon menirukan nada menggoda, membuat Juya menggeleng sambil tersenyum geli. Hening sejenak. Angin malam berembus lagi, membawa suasana yang menenangkan. Dari seberang jalan, dua sahabat itu hanya saling pandang, seakan tak perlu banyak kata. Sampai akhirnya Leon kembali membuka suara. “Oh ya, barusan ada yang mampir. Tebak siapa?” Juya sempat terdiam, Pura-pura tidak tau. Tangannya otomatis mengerat pada cangkir. Ia berusaha menampilkan wajah santai. “Aku nggak tahu. Siapa?” Leon mendesah pelan. “Raisa.” Hatinya mencelos mendengar nama itu disebut langsung, meski dari luar ia mencoba tersenyum. “Terus? Kamu ketemu dia?” “Enggak. Katanya Kena yang bilangin aku masih di kantor.” Leon menghela napas, jelas tidak suka membahas lebih jauh. “Rabbit, kamu tau kan aku paling males bawa-bawa urusan pacar ke rumah. Apalagi kalau sampai ganggu Kena. Aku nggak ngerti kenapa Raisa bisa segitu ngeyelnya.” Juya hanya terdiam, menatap sosok sahabatnya itu dari kejauhan. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan—tentang bagaimana Raisa juga tidak pernah menyukai dirinya, tentang rasa tidak nyaman yang selalu ia rasakan saat nama perempuan itu muncul. Namun, seperti biasa, ia memilih menyimpannya rapat-rapat. “Sudahlah,” akhirnya ia berkata pelan. “Yang penting kamu udah pulang dengan selamat. Istirahat, Leon. Besok kerja lagi kan?” Leon mengangguk, lalu tersenyum lelah. “Iya. Kamu juga jangan tidur malam-malam terus, Rabbit. Nanti kantong matamu makin tebel.” Juya mendengus, berpura-pura kesal. “Dasar buaya receh.” Mereka berdua tertawa kecil, dan malam kembali tenang. Dari balkon masing-masing, dua sahabat itu sekali lagi membuktikan bahwa apa pun yang terjadi di luar sana, pada akhirnya mereka selalu kembali ke titik yang sama—kebersamaan yang tak pernah tergantikan. 💜 Flashback SMA adalah masa penuh warna bagi Juya dan Leon. Dari dulu Leon sudah terkenal playboy, silih berganti menggandeng pacar. Tapi anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyentuh, apalagi menjelekkan Juya. Semua tahu, gadis itu ada di lingkar perlindungan Leon. Dan Juya sendiri? Wajahnya cantik, senyumnya manis, tidak sulit bagi laki-laki untuk jatuh hati. Tapi sikap cueknya adalah benteng tinggi yang sulit ditembus. Juya tidak pernah meladeni rayuan, tidak pernah memberi kesempatan pada mereka yang mencoba mendekat. Seolah-olah, hanya di hadapan Leon ia bisa tertawa bebas, menjadi dirinya yang sesungguhnya. Hari itu, sepulang sekolah, Juya terjebak dalam keadaan yang menjengkelkan. Jemputannya belum datang, sementara ponselnya mati total. Satu-satunya cara adalah meminjam ponsel satpam sekolah. “Nomor siapa yang kamu ingat, Juya?” tanya Pak Satpam. Juya menggigit bibir. Nomor rumahnya sendiri? Lupa. Nomor ibunya? Sama saja. Nomor Leon? Itu yang paling ia hafal, karena Leon sering sekali meminjam ponsel satpam untuk alasan konyol: kadang sekadar nelpon mamanya minta uang jajan tambahan, kadang hanya untuk iseng ngerjain teman. Dengan ragu, Juya menekan angka demi angka. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara yang amat dikenalnya masuk ke telinga. “Halo? Ini siapa?” suara Leon, sedikit serak. “Ini gue, Juya. Jemputan gue nggak datang, ponsel gue mati. Bisa jemput gue nggak?” tanyanya cepat, tanpa basa-basi. Ada jeda sejenak, lalu terdengar suara Leon yang santai, seakan tidak ada masalah. “Tunggu gue, lima belas menit lagi sampai.” Klik. Sambungan terputus. Juya mengembuskan napas lega. Ia mengucapkan terima kasih pada satpam, yang kemudian pamit pulang karena sekolah sudah sepi. Tinggallah Juya seorang diri di gerbang yang tertutup. Lima belas menit lewat. Tidak ada tanda-tanda Leon datang. Tiga puluh menit berlalu. Masih tidak ada. Juya menghela napas berat, melipat tangan di d**a. “Dasar Leon… lima menit dari Hongkong kali ya, bukan dari rumah.” Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Hari kian sore, langit mulai menghitam. Angin bertiup membawa bau tanah basah. Awan menggumpal tebal di atas kepala, tanda hujan akan turun kapan saja. Juya menendang kerikil kecil dengan kesal. “Pasti orang itu muter dulu ke Sabang, terus jalan santai ke Merauke. Kenapa juga gue percaya sama dia?!” gerutunya. Dan benar saja. Belum sempat Juya melanjutkan ocehannya, rintik hujan turun, lalu berubah deras hanya dalam hitungan detik. Seragam putih abu-abunya langsung basah kuyup. Rambut hitam lurusnya menempel di wajah, sepatu kainnya becek dan berat. “Ya ampun, lengkap sudah penderitaan gue hari ini,” gumam Juya, menggigil kedinginan. Tapi meski marah, meski kesal, entah kenapa Juya tidak benar-benar bisa benci pada Leon. Dalam hati kecilnya, ia tahu Leon akan datang—meski terlambat, meski menyebalkan, Leon selalu menepati janji pada akhirnya. Dan memang, di tengah hujan yang deras, suara klakson motor akhirnya terdengar di kejauhan. Samar, makin lama makin dekat. Juya mengangkat wajahnya, matanya menyipit menembus tirai hujan. Ia bisa mengenali motor sport berwarna hitam itu dari jauh. Leon. Dengan jas hujan yang tidak dipasang rapi, malah hanya menggantung di bahu, membuatnya tampak seperti pahlawan kesiangan yang terlambat datang ke medan perang. 💜 Motor berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang sudah hampir gelap. Ia membuka helmnya, rambutnya yang sedikit acak-acakan karena angin membuatnya tampak seperti nggak merasa bersalah sama sekali. Sementara itu, Juya berdiri di bawah hujan deras, wajahnya merah bukan karena dingin, tapi karena nahan emosi. “LEON!!!” teriak Juya begitu sahabatnya turun dari motor. “GUE UDAH NUNGGU BERAPA JAM, HAH?! TIGA JAM!!!” Leon menoleh santai, seolah nggak ada yang salah. “Ah, masa sih? Perasaan gue baru bentar. Kan gue bilang lima belas menit. Lima belas menit versi gue, bukan versi jam dunia.” “LIMA BELAS MENIT APANYA?! INI NAMANYA TIGA JAM, LEON!” Juya menggeram, memeras ujung seragamnya yang udah kayak kain pel. Leon malah nyengir. “Yaelah, Rabbit. Ternyata lo cocok banget jadi bintang iklan sampo anti-lepek. Liat deh rambut lo, licin banget sekarang.” “LEON!!!” Juya hampir melempar sepatu basahnya ke arah sahabatnya itu. Leon terkekeh, terus dengan santai melepas jaketnya yang—anehnya—masih kering di bagian dalam. Ia nyampirin ke pundak Juya. “Udah, udah. Jangan marah mulu. Ntar lo cepet tua.” Juya mendelik. “Cepet tua? GUE?! Astaga, lo tuh ya, Leon… Gue kedinginan begini, basah kuyup begini, nungguin lo tiga jam, dan lo masih sempet-sempetnya ngeledek gue?!” Leon pasang ekspresi polos. “Kan akhirnya gue dateng. Liat, gue hero banget nggak? Dateng di tengah badai, nyelametin sahabat kesayangan gue. Kayak drama Korea gitu.” “Drama Korea dari mana?! Kalau beneran drama Korea, pemeran cowoknya datengnya CEPET, bukannya bikin ceweknya basah kuyup dulu!” Leon ngakak, sampai matanya nyipit. “Yaudah lah, Rabbit. Anggep aja latihan jadi putri duyung. Kan katanya lo suka BTS, bias lo pasti seneng cewek-cewek yang bisa nyanyi sambil kejebur hujan. Lo latihan dulu.” Juya melotot, hampir gemes sampe mau nangis. “Dasar LOEN!!!” Leon ngasih helm ke arahnya. “Udah, ayo naik. Ntar lo masuk angin, nyokap gue yang marah. Gue nggak mau dimaki gara-gara bikin Rabbit sakit.” Juya nempokin kepala Leon pake helm sebelum dipake. “Kalau gue masuk angin, gue sumpahin lo pacaran sama nenek-nenek!” Leon ketawa keras. “Yaelah, Rabbit. Nenek-nenek aja mungkin lebih sabar daripada lo.” Juya mendengus, tapi akhirnya naik juga ke motor. Hujan masih deres, tapi entah kenapa hati Juya sedikit lebih hangat. Meski nyebelin, meski telat, Leon tetep dateng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD