Putus

1116 Words
"Saya tahu Anda pacar Za, tapi saya paling tidak suka ada pemaksaan seperti ini. Biar Za pulang sama saya." El melepas kuat tangan Ryan dari lengan Za. "Sudah saya bilang, Anda jangan ikut campur," desis Ryan mulai jengkel. Za tahu ini tidak akan baik. Menjadi pusat perhatian karena dua lelaki sama sekali tidak masuk agendanya hari ini. "Cukup. Biar aku pulang sendiri." Za bergegas keluar lobi. Dan kedua lelaki itu tampak mengejarnya. Astaga. "Za, jangan gitu dong. Aku udah susah payah cari waktu biar bisa jemput kamu." Ryan yang lebih dulu menjajari langkahnya. Namun, Za tidak peduli dan terus melangkah cepat. "Aku nggak pernah nyuruh kamu buat jemput aku, Yan!" "Seenggaknya kamu hargai usaha aku." Za tahu Ryan sibuk. Sebagai arsitek senior dia memiliki seabreg di perusahaan konsultan yang menaunginya. "Kemarin-kemarin juga kamu nggak jemput aku. Kenapa tiba-tiba sekarang jemput?" Za terus melangkah keluar area gedung. "Aku ingin minta maaf, Za. Aku nggak mau kamu marah terus begini." Kaki Za berhenti melangkah. "Apa aku nggak berhak marah setelah apa yang kamu lakukan?" "Za, please. Itu nggak seperti yang kamu pikir." Ryan tampak putus asa. "Terima kasih atas kebaikanmu selama ini, Yan. Sori, aku nggak bisa membalasnya. Kamu memimpikan pernikahan secepatnya, sementara aku masih ingin mengejar karier. Mungkin kita memang nggak berjodoh." Ryan menggeleng. "Kamu ngomong apa, sih, Za?" "Kayaknya kita selesei aja. Aku nggak mau nahan langkah kamu yang ingin maju." "Za ...." Ryan tak percaya Za bisa mengatakan itu. "Za, kamu cuma emosi. Aku nggak mau kita putus." Za tak peduli. Setengah berlari dia kembali melangkah. Tepat saat sampai di jalan raya, kebetulan ada taksi kosong lewat, dia segera menyetop taksi itu dan bergegas masuk." "Za!" Dia masih mendengar panggilan Ryan. "Cepat jalan, Pak," ujar Za. Dari luar Ryan terus meminta Za untuk berhenti. "Terus jalan, Pak." Yang dia lakukan tidak berlebihan 'kan? Entahlah, Za sudah tidak berminat lagi melanjutkan hubungan dengan Ryan. Ini keputusan terbaik. Bagi Za yang retak itu sudah tidak bisa diperbaiki. Apa pun usahanya, itu sia-sia. Dari dulu Za selalu menghormati komitmen yang dia bangun, kalau pun ada yang melanggar itu bukan Za, tapi partner-nya. Meskipun begitu, dia tidak pernah kapok untuk mulai hubungan baru. Karena tidak seperti kebanyakan wanita pada umumnya yang menganggap semua laki-laki sama, bagi Za mereka tidak sama. Lelaki baik juga banyak, contohnya El. Za hanya sial saja tidak mendapatkan seseorang sebaik El. Oh, seandainya El itu lelaki normal. Za akan berpikir menjadikan lelaki itu target masa depannya. Sialan! Gara-gara si Ryan pikirannya melantur. "Maaf, Mbak. Ini tujuannya ke mana, ya?" tanya supir taksi menyentak lamunannya. Ya Tuhan, Za lupa argo taksi terus berjalan. Kalau dia tidak menentukan tujuan, dia bisa-bisa tidak makan malam ini. Za melihat jalanan, seperti ketiban sial dua kali. Supir taksi ini malah membawa Za menjauh dari kosannya. "Pak, kok ke arah sini, sih? Kosan saya itu ke selatan," omel Za, melihat argo taksi yang terus merangkak naik. "Ya, Mbaknya nggak bilang mau ke mana." Za merutuk dalam hati. Dia menyuruh supir taksi putar balik. Namun, supir taksi itu bilang harus memutar jalan dulu, soalnya ini jalan satu arah. Daripada Za membayar argo lebih mahal lagi, dia memilih turun. Uang lima puluh ribuannya melayang. Itu kan lumayan bisa buat makan lima kali di warteg dekat kosan. Semua gara-gara Ryan mengajaknya main drama. Sampai-sampai Za lupa kalau isi dompetnya sudah sekarat. Za menelan ludah saat melirik dompetnya lagi. Hanya tersisa sepuluh ribu. Untuk membuat uang ini tetap utuh, Za harus berjalan berapa kilometer dari sini? Hidupnya benar-benar mengenaskan. Za mendesah, dan berjalan gontai. Di tengah kekalutan, suara klakson mobil mengejutkannya. Dia menoleh dan mendapati mobil pendek dark-grey milik El sudah berada di dekatnya. Untuk beberapa saat, dia merasa lega melihat kedatangan El. Situasinya sangat pas. Tanpa pikir panjang, Za langsung naik ke mobil El. "Aku pikir kamu sudah pulang," ujar Za saat El mulai menjalankan mobilnya yang hanya muat untuk dua orang itu. Za tidak terlalu mengenal jenis atau merk mobil, tapi Za heran saja kenapa El lebih suka mobil pendek dan ceper seperti ini. "Aku tadi sengaja ngikutin kamu dari belakang. Takut terjadi sesuatu, apalagi taksi yang kamu naiki tadi jalan berlawanan arah sama kosan kamu." Za mengerang sebal. "Gara-gara naik taksi itu uangku lima puluh ribu melayang." "Siapa suruh kamu taksi?" "Ya, kan buat menghindari Ryan." "Oh pacar kamu namanya Ryan." Za mengangguk lantas menunduk. "Tapi sepertinya sudah bukan pacarku lagi." "Kalian bertengkar dan putus?" Za mengangguk lagi. "Semalam saat kita makan malam, aku melihatnya bersama wanita lain." El jadi ingat. Pantas saja wajah lelaki itu tidak asing. Iya, El juga melihatnya. "Mungkin saja itu temannya 'kan?" "Apa kamu berpikir begitu?" El meringis. Orang awam juga tahu teman tidak akan saling mengelus tangan seperti itu. Dia dan Za baru yang disebut murni berteman. Za bersandar pada kursinya. Itu tadi melelahkan. Menguras emosi sekaligus isi dompet. "Mau ke apartemenku?" Za menoleh malas. Sejak bertemu kembali dengan El, dia belum pernah menyambangi tempat lelaki itu. Jaman masih sekolah juga seperti itu sih. El yang lebih sering main ke rumahnya. "Nanti aku masakin." Za kontan menegakkan kepala. Ini bisa jadi solusi menyelamatkan isi dompetnya yang sekarat. "Boleh juga." El tersenyum dan mengarahkan kemudi ke jalan menuju apartemennya. *** Za terperangah melihat bangunan megah di hadapannya. Serius si El tinggal di salah satu unit di gedung ini? Za tahu betul, ini adalah salah satu bangunan apartemen termahal ibu kota. Harga sewa yang tipe studio saja dia tidak sanggup bayar. Za menurut saja saat El mengajaknya berjalan melewati lobi super mewah apartemen ini. Ryan juga tinggal di apartemen, cuma tidak semewah bangunan ini. El tinggal di salah satu unit pada lantai dua puluh. Lorong-lorong yang menghubungkan tiap unit mirip hotel berbintang. Lantainya beralaskan karpet yang memanjang. Za tidak tahu apakah setiap lantainya dibuat seperti ini atau hanya terdapat di lantai unit El berada. "Yuk, Za, masuk." Tidak perlu masuk ke dalam untuk tahu seberapa lux unit yang El punya. Dari pintunya saja sudah tampak kelihatan. Dan, Za makin dibuat takjub dengan interiornya setelah menginjakkan kaki di lantai marmer yang berkilau. "Nah, Za kamu duduk aja dulu, ya. Aku ambilin kamu minum." El beranjak menuju dapur. Bukannya duduk, Za malah traveling. Pantas kalau harga sewa di sini mahal, bukan hanya letaknya yang strategis, tapi juga bangunannya bikin Za berdecak. Dari tempatnya berdiri, Za bisa melihat langsung lanskap kota dari ketinggian. Ini seperti sebuah layar lebar yang menampilkan background downtown. Za yakin kalau malam pemandangannya pasti jauh lebih indah. Mata Za bergeser ke dinding yang warnanya sangat maskulin. Perbaduan abu, hitam, dan putih. Ketahuan sekali kalau penghuninya itu lelaki. Tapi tunggu, El kan lelaki istimewa, lain daripada yang lain. Masa iya, sih, seleranya sama seperti lelaki pada umumnya? _____________________ Ayo ramaikan. Jangan lupa tap love ya, Gaes. Happy weekend.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD