Gadget Baru

1115 Words
Untuk ketiga kalinya Za mengirimi Ryan pesan w******p. Dan selalu saja sama hasilnya, cuma dibaca tanpa ada balasan. Dia mengembuskan napas. Apa kesalahannya nggak bisa dimaafkan? Za hanya meminta waktu, tapi Ryan malah ngambeknya berhari-hari. Za keluar dari lift. Dari sini dia bisa melihat, El tampak sedang menunggunya di salah satu single sofa yang berada di lobi. Lelaki itu tengah sibuk mengotak atik ponsel jadulnya, sehingga tidak sadar kalau Za sudah berdiri di depannya. "Lagi ngapain, sih? Sibuk amat." Lelaki beralis tebal itu mendongak, dan tersenyum manis mendapati Za ada di depannya. "Eh, kamu udah datang. Aku cuma lagi main tetris." Dengan percaya diri El menunjukkan games jadulnya itu. Sontak itu membuat Za tertawa. "Astaga, El. Sebaiknya kamu ganti ponsel aja deh. Biar kamu bisa main PUBG, minimal. Masa hari gini mainnya tetris. Itu mah games jaman emak bapakku masih kecil," ejek Za. El sama sekali nggak terpengaruh dengan ucapan Za. Dulu dia sering mendapatkan ejekan seperti ini. Jadi, tidak kaget. "Sebenarnya ponselku bisa mendownload games itu, sih. Cuma harus di-upgrade dulu memorinya." "Jaman sekarang nggak harus mahal juga bisa kok dapat ponsel canggih. Aku rasa gaji kamu satu bulan di sini juga lebih dari cukup untuk membeli ponsel baru." El berdiri. "kalau gitu nanti kamu temani aku mencari ponsel baru. Soalnya jaman sekarang aku nggak tahu ponsel yang bagus itu keluaran apa." "Boleh." Sebenarnya untuk urusan membeli gadget El bisa saja menyuruh Desi untuk mencarikannya. Dia nggak peelu repot-repot mencari sendiri. Namun, karena ingin berlama-lama dengan Za, dia tentu saja mau melakukan hal yang paling tidak dia sukai. Belanja. Jadi, setelah mereka makan siang. Lelaki itu melajukan mobilnya menuju salah satu mal terelit di Jakarta. "El, kenapa kita cari ponsel di sini, sih? Kalau di sini itu nggak akan bisa ditawar. Semua pakai harga net," ujar Za saat mereka akan memasuki lobi mal. "Terus, di mana kita nyarinya? Tanah Abang?" Za berdecak. "Kita akan ke tanah Abang kalau kamu berniat nyari daleman sepuluh ribu tiga." Mata El melebar. "Emang masih ada daleman harga segitu?" Za mengerang. "Kenapa jadi bahas daleman, sih?" "Kan kamu yang mulai." Za mengabaikan ucapan El, dia melangkah lebih dulu mendahului lelaki itu. Mereka menuju lantai tiga mal, di sana terdapat counter resmi beberapa merk ponsel. El menuju salah satu gerai ponsel yang terkenal memiliki desain kece dan harganya yang mahal. "Kamu serius mau beli ponsel di sini?" tanya Za. Dia sebenarnya suka dengan produk merk ini. Cuma karena harganya seolah bisa mencekik leher sendiri, dia menelan mentah-mentah keinginan untuk memeluk salah satu tipe-nya. Za menatap mupeng, varian ponsel yang berjajar rapi di etalase gerai. Ada juga produk terbaru keluaran mereka yang lagi digandrungi kaum hedonis. Melirik bandrolnya saja sudah bikin Za bergidik. "Selamat siang, Pak, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" Mereka langsung disambut ramah oleh pegawai gerai. "Kami mencari gadget. Ada rekomendasi?" tanya El langsung tanpa basa-basi. "Ada, Pak. Mari ikut saya." Pegawai itu membawa mereka ke etalase tengah dan menunjukkan produk keluaran baru yang harganya wow itu. Sekilas El tampak tertarik. Pegawai itu menjelaskan fitur apa saja yang digunakan pada gadget tersebut. Za menarik lengan El, begitu pegawai tadi selesai menerangkan spesifikasi gadget yang berhasil menarik perhatian El. "Ada apa?" tanya El pelan. "Kamu yakin mau beli ponsel itu? Harganya bikin bola mataku menggelinding ke lantai." "Kalau gitu, kamu pungut aja. Terus pasang lagi." "Aku serius," decak Za kesal. "Aku juga serius, Za." "Emangnya nggak sayang? Mending uangnya pinjemin ke aku buat beli motor." "Kamu mau beli motor?" "Iya, nanti kalau punya duit." "Kalau gitu nan—" "Bagaimana, Pak? Jadi, ambil yang ini?" Suara pegawai tadi menginterupsi. El langsung menoleh. "Bentar, ya, Mbak. Lagi diskusi sama istri." Za melotot. Istri dari Hong Kong! "Kasian tuh pegawainya nungguin. Kalau dia berhasil menjual barang itu ke kita, dia bisa dapat bonus loh." Za menghela napas. Lagi pula dia nggak berhak mengatur pengeluaran El. Mau dipakai buat apa toh itu uang dia. Za mengangkat bahu. "Ya, udah terserah kamu. Uang juga uang kamu." El tersenyum dan menghampiri pegawai tadi. "Saya jadi ambil, ya, Mbak." "Baik, Pak. Saya buatkan notanya dulu, ya. Mau cash atau debit card, Pak?" tanya pegawai itu. "Pakai ini saja." El mengeluarkan sebuah black card dari dalam dompetnya, dan menyerahkannya pada pegawai itu. Za yang menyaksikan itu nggak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya melihat banyak kartu sakti dari dompet El sesaat. "El, card lo banyak banget. Itu aktif semua?" tanya Za dengan mata bulatnya. El tertawa. "Ya, kalau nggak aktif ngapain aku simpan? Kenapa? Kamu mau minta satu?" Za langsung menggeleng. "Nggak." Dia juga punya debit card punya Ryan. Dan nggak pernah dia pakai. Selama menganggur, dia mengais dari sisa tabungannya. Sembari menunggu El melakukan t***k bengek pembayaran, Za berkeliling etalase. Gila, semua produknya bikin Za menelan ludah doang. "Silakan, Bu. Barang kali ada yang disuka." Suara manis seorang SPG terdengar. Za tersenyum seraya menggeleng. "Teman saya sudah membeli, Mbak." Za menoleh pada El yang tengah menerima sebuah paper bag. Kelihatannya lelaki itu sudah selesai bertransaksi. "Terima kasih sudah berbelanja di gerai kami. Ditunggu kedatangannya lagi," ucap pegawai gerai itu ramah. "Sama-sama." El tersenyum ramah sebelum mengajak Za keluar dari gerai. Diam-diam Za mengulum senyum melihat tatapan kagum para SPG wanita di gerai itu kepada El. Ya, siapa sih yang tidak tertarik dengan pria setampan El? Dulu El boleh cupu, tapi sekarang? Chris Hemsworth saja lewat. Namun, sayang. El bukan pemuja kue apem. Seenak apa pun kue apem yang disuguhkan, Za yakin El tidak akan tertarik. "Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya El dengan tatapan aneh. "Kamu tahu nggak, El? Pegawai toko tadi liatin kamu sampai nggak kedip loh." Za terkikik. Itu sudah hal yang biasa. Lalu kenapa Za tertawa? Memang ada yang lucu? "Masalahnya apa? Hanya wanita nggak normal yang nggak tertarik sama aku." Za mencibir. "Kayak yang ngomong normal aja." "Aku jelas nor—" El tertegun. Percuma juga memberi tahu Za, wanita itu hanya akan tertawa menanggapinya. Sebelum ada bukti, Za pasti akan terus menganggap dirinya gay. Menghela napas, dia membiarkan Za melangkah lebih dulu. Pandangannya dia edarkan ke penjuru bangunan mewah ini. Dia lantas menemukan sebuah outlet yang menjual es krim aneka rasa. "Za!" panggilnya pada Za yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Wanita itu menoleh. "Apa?" "Mau es krim?"El menunjuk sebuah outlet. Za melirik ke arah yang El maksud. Tidak dipungkiri dia suka makanan manis itu, tapi... Za menengok pergelangan tangannya. "Lain kali aja deh, El. Nanti kita telat." Telat? Ah, El lupa, Za adalah salah satu pegawainya. Dia tidak akan membuat Za kesulitan hanya gara-gara mengajak wanita itu makan es krim. ____________________ Meskipun ini judulnya Jodoh EL dan ZA, tapi belum tentu mereka berjodoh ya Gaes. Masih ada Ryan pacarnya Za. Btw mereka pacaran berapa tahun ya? Kok aku lupa, *tepok jidat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD