Makan Siang di Kantin

1062 Words
"Za! Sini!" Rangga memanggil Za. "Maaf, Pak. Saya lupa memberitahu, dari tadi pekerjaan numpuk." Za berjalan mendekat. Dia sadar di situ ada El. Yang jadi pertanyaannya adalah kenapa lelaki itu ada di sini? "Za, ini Pak Kusno manajer kita." Rangga mengenalkan manajernya kepada Za. "Selamat siang, Pak. Maaf belum sempat menyapa." Za tersenyum canggung. Matanya beberapa kali melirik keberadaan El. "Dan ini Pak Ellard, dia–" "Saya staf direksi," potong El langsung. Namun, itu sukses membuat Rangga dan Pak Kusno bingung dan saling tatap. El menengok pergelangan tangannya. "Sepertinya ini sudah waktunya istirahat. Lebih baik istirahat dulu saja." Dia menoleh ke arah Za. "Ayo, Za. Kita makan siang." "Ayo." Za tersenyum lebar. Dia senang bisa bertemu El kembali di sini. "Pak Rangga dan Pak Kusno, mau ikut makan bersama kami?" tanya El membuat keduanya terkesiap. "Ah, nggak, Pak. Nanti saya makan siangnya sebentar lagi. I-iya kan, Ga?" Pak Kusno menyenggol pelan lengan Rangga. Lelaki itu tersadar dan mengangguk. "I-iya, Pak. Silakan, Bapak duluan saja." Rangga ikutan tergagap. "Kalau gitu, kami duluan, ya." El dan Za keluar dari kantor divisi. Keduanya terlihat begitu akrab. Dan pemandangan itu membuat Rangga dan Pak Kusno saling pandang kembali. "Apa mereka pacaran?" tanya Pak Kusno masih belum melepas pandang punggung mereka yang menjauh. "Nggak tahu saya, Pak." Rangga juga masih melongo di tempat. "Sebaiknya kamu hati-hati Rangga sama staf baru itu. Dia kelihatannya akrab dengan Pak Ellard." "Iya. Tapi aneh deh, Pak. Kenapa Pak Ellard tidak mau Za tahu dia sebenarnya, ya?" Pak Kusno menoleh. "Jangan gosip. Itu bukan urusan kita." Kemudian Pak Kusno memutar arah kembali ke ruangannya. Rangga pun melakukan hal yang sama. Mengangkat bahu, dia pun kembali ke mejanya. *** "Aku pikir kamu ada di staf direksi?" tanya El begitu keluar dari kantor divisi. "Tadinya iya. Tapi mendadak personalia menempatkanku di purchasing. Katanya di sana lebih membutuhkan tenaga. Ya, udah. Aku kan baru di sini, nggak bisa nolak juga karena aku butuh," jawab Za seraya memasuki lift. "Tapi kamu suka enggak di situ?" tanya El lagi. Tangannya menekan tombol lift. "Suka, suka aja, sih. Meskipun kerjaannya terbilang berat. Tapi karena orang-orangnya baik, aku kayaknya suka." El tersenyum. Baguslah, dia berharap Za akan betah bekerja di perusahaannya. "Eh, kok kamu ada di purchasing tadi? Bukannya kamu bilang ada di bagian direksi? Mau apa ke divisiku?" El menggaruk pelipisnya. "Mencari kamu. Buat ajak makan siang," jawab El malu-malu. Za sontak tertawa mendengar itu. "Ya ampun, El. Kamu bisa meneleponku kali, nggak perlu sampai turun ke bawah." Za tahu kantor direksi ada di lantai teratas gedung ini. "Aku kayaknya belum menyimpan nomor ponsel kamu." "Masa, sih? Oke, sini pinjam ponsel kamu." El menyerahkan ponselnya. "Astaga, ponsel seorang staf direksi emang beda, ya." Za terkekeh melihat jenis ponsel yang El berikan. Ponsel El itu sudah sangat ketinggalan jaman banget. Memang, sih. Sudah layar sentuh, hanya saja dia menggunakan ponsel Android dengan versi yang sudah jadul. Za tidak habis pikir, biasanya seorang guy sangat mementingkan pencitraan, tapi El sama sekali tidak peduli. "Kenapa tertawa? Hp-ku jelek, ya?" tanya El mengulum senyum. "Siapa bilang? Ini Hp terkeren yang aku lihat. Pada jamannya, aku nggak mampu beli, loh." Za tertawa lagi, dan langsung menulari El. Dia mengetik angka-angka di ponsel El, lalu menghubungkannya. "Nih, simpan. Tadi aku udah miskolin ke HP-ku." Za mengembalikan ponsel jadul El. "Terima kasih, ya." Kemudian El mulai menggerakkan jarinya memberi nama pada nomor Za. Dia berpikir sejenak sebelum menuliskan sebuah nama. Dia tidak ingin menulis nama asli Za di sana. Ketika sudah menemukan nama yang pas, dia mengetiknya kembali. Dia tersenyum sendiri membaca nama yang tersimpan untuk nomor ponsel Za. Baginya nama adalah doa. Jadi, tidak masalah 'kan, kalau dia memberi nama Za sesuai doanya? "Kita makan di mana?" tanya Za begitu mereka keluar dari lift. "Di kantin aja, yuk. Nggak usah di restoran mahal. Nanti aja kalau aku udah gajian." Za menggeret lengan El, membuat lelaki itu terkekeh. "Oke, kita ke kantin." Demi Za, El rela, deh, makan di kantin perusahaan. Biasanya dia suka makan di luar. Sudah dia duga, kantin penuh di jam makan siang. Za mendesah, karena tidak mendapatkan tempat. Namun, justru itu membuat senyum El terbit. "Gimana kalau kita makan di luar aja. Aku punya rekomendasi tempat makan yang bagus," ujar El memberi usul. "Enggak, ah. Mahal. Tuh, El. Kita beruntung. Ada kursi kosong, tuh. Pas buat dua orang. Ayo, kita ke sana keburu diserobot orang lain." Hmm, tidak sesuai harapan. Za cukup jeli melihat peluang. Wanita itu menarik lengan El. Dia tidak sadar kalau banyak mata yang memandang ke arahnya. Mereka duduk di depan sebuah meja panjang yang berisi sekitar sepuluh orang. Yang sudah lebih dulu duduk di sana sebelum mereka, kontan tersenyum canggung melihat kedatangan El. Apalagi lelaki itu duduk bergabung dengan meja mereka. "Tidak apa-apa, kalian lanjut makan saja," ucap El saat melihat ekspresi tak enak mereka. Kehadirannya dan Za di kantin cukup menyita perhatian. Namun, dasar Za saja yang cuek. Dipelototi pun tidak ngeh. El memesan menu yang sama dengan Za, gado-gado. Mulut El sampai megap-megap karena kepedasan. "Padahal tadi aku pesan buat kamu yang nggak pedas loh. Sini, coba aku cicipi." Tanpa canggung, Za menyendok isi piring El, dan mencobanya. "Nggak pedes kok." El menatap Za ngeri. Pedas begitu dia bilang tidak. "Ini pedes, Za." El meminum lagi teh dinginnya. Wajahnya mengeluarkan keringat, sehingga dia harus mengelapnya dengan tisu beberapa kali. "Kamu mau coba punyaku? Ini baru yang namanya pedas." Za tersenyum. El tidak mau ambil resiko. Dia tahu dari dulu Za penyuka pedas. Kalau belum sampai level iblis, Za tidak akan berhenti memberi sambal pada makanannya. El heran, apa wanita itu tidak sayang pada lambungnya? El mendorong piringnya ke tengah. Dia tidak sanggup melanjutkan makan. Dia harus mencari sesuatu untuk meredakan rasa pedasnya. "Sayang, loh, El. Nggak dihabisin." "Aku nggak kuat, Za." Lelaki itu beranjak menuju stand yang menjual menu es campur. Dia memesan satu mangkok. Tidak lama dia kembali ke mejanya, dan mulai menyantap es campurnya. Mulutnya yang tadi terasa terbakar, sudah lebih adem sekarang. "Ya, Tuhan. Akhirnya hilang juga rasa pedas di mulutku. Lain kali aku nggak akan memintamu memesankan makanan untukku," katanya mendelik kepada Za. Bukannya prihatin, wanita itu malah tertawa. Seolah-olah dia menikmati keadaan El yang dari tadi sudah seperti ikan kehabisan air. _____________________ Masih slow update ya Gaes. Brownies soalya belum tamat. Oh, ya. Brownies ngadain GA di IG loh. Ditunggu partisipasinya sampai tgl 10 Juli. Cek IG @yuli_f_riyadi ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD