PROLOG

906 Words
Andra duduk diam di salah satu kursi panjang yang beranda di sebuah gedung pemerintahan. Di luar sana langit menumpahkan deras air matanya. Apa mungkin karena merasa iba pada pria itu? Atau justru meledeknya? Ia terkekeh, lucu dengan kelebat pikirannya sendiri. “Tidak perlu pacaran lama-lama! Yang Papa dan Kakekmu butuhkan adalah seorang pewaris sah keluarga Bhadrika!” Noah, sang Ayah, memberi ultimatumnya pekan lalu. “Clara masih muda, Pa. Dia sedang menikmati puncak karirnya.” “Kamu seorang Bhadrika!” “Andra paham, Pa.” “Kalau dia khawatir publik mencium kabar pernikahan kalian dan menghancurkan kesempatannya melanglang buana, ajak dia menikah di KUA saja! Kakek tidak peduli di mana kamu menikah. Yang Kakek tekankan pasanganmu harus sah baik itu secara hukum ataupun agama. Tidak semua pasangan langsung memiliki keturunan, apalagi di keluarga kita! Lagipula, jika dia sudah menjajal Milan, apa kamu pikir dia akan kembali jika kamu tidak mengikatnya?” Chairi, sang Kakek, ikut membuat Andra pening di tempat. “Ajak dia menikah, Andra! Batasmu sampai hari ulang tahunmu yang ke-30. Jika tak berhasil, Kakek akan jual semua aset Kakek ke publik. Cari sendiri hartamu!” lanjut Chairi. Andra memejamkan kedua matanya. Sebuah kotak mungil berwarna hitam masih berada dalam genggamannya. Sudah lebih dari tiga jam dan kekasihnya tak jua datang. “Nona Clara menuju Milan, Pak,” ujar Seto, pria yang sudah lima tahun terakhir menjabat sebagai asisten pribadi Andra. Ia baru saja mengusaikan panggilan telponnya ke beberapa orang yang ia daulat mencari keberadaan Clara dan ayahnya. “Dan Nona Clara tidak pernah menyampaikan perihal pernikahan pada ayahnya,” tambah Seto lagi. Andra mengangguk. Ia kembali melamun, meratapi nasibnya. Apa yang harus ia katakan pada orang tua dan kakeknya? Sesak. Betapa bodoh ia membiarkan Clara menipunya. Andra pikir keberadaannya sebagai seorang Bhadrika cukup untuk membuat perempuan muda itu mengikuti kemauannya. Ternyata, Andra salah besar. Ia merogoh saku jasnya untuk kesekian kali, menatap layar, membuka kunci, lalu berselancar di aplikasi pesan singkat. Tak ada. Clara tak mengiriminya pesan sama sekali. ‘Sadar dirilah, Ndra! Lo 30 tahun, dia 21 aja belum. Mana mau dia jadi bini lo sementara tawaran modeling lagi banyak-banyaknya masuk.’ ‘Gue harus bilang apa sama Kakek dan Papa? Calon pengantin gue kabur gitu? s**t!’ “Permisi?” tegur seorang perempuan. Andra menaikkan pandangan, menatap sosok yang berdiri menghadapnya. Ia mengenal wanita cantik itu. Diana Maya, mantan model, jika boleh dikatakan demikian. Ia menghentikan karirnya yang tengah memuncak tiga tahun lalu. Kabar yang tersiar saat itu adalah ia ingin fokus menyiapkan pernikahannya. Namun seingat Andra, perhelatan sakral gadis itu tak kunjung ia dengar kembali. “Ya?” “Boleh saya duduk di samping Anda?” Andra menganggukkan kepalanya. “Apa pasangan Anda tidak datang?” tanya Diana lagi. “Anda menguping?” kekeh Andra, tak habis pikir. “Tidak, hanya saja saya duduk di kursi itu,” jawab Diana seraya menunjuk kursi yang berupa sama beberapa langkah dari tempat Andra duduk. “Saya tidak sengaja mendengar.” “Betul, pasangan saya tidak datang,” lirih Andra, lalu tersenyum simpul. Diana ingin sekali bertanya, mengapa orang sekelas Andra, pewaris tunggal Arabella Entertainment justru menginginkan pelaksanaan pernikahan di KUA? “Kenapa Anda di sini?” Andra balik bertanya. “Sama seperti Anda. Pasangan saya tidak datang.” Andra menatap Diana. Ia pernah mendengar, gadis itu adalah seorang yatim piatu. Andra lalu menyapukan pandangannya, mendapati seorang pria yang duduk di kursi tunggu lainnya dengan tatapan lekat pada mereka berdua. Apakah dia akan menjadi wali Diana? Atau hanya seorang pendamping sekaligus saksi pernikahan yang tak jadi itu? Pria itu bahkan terlihat lebih muda dari gadis di sampingnya ini. “Dia asisten saya,” ujar Diana, menjawab pertanyaan di benak Andra. “Saya ajak untuk menjadi saksi pihak saya.” “Hmm.” “Pak Andra?” “Anda mengenal saya?” “Tentu saja, Pak.” Diana mengatur napasnya, memberanikan diri menuturkan apa yang ada di benaknya. “Apa... Bapak mau menikahi saya? Sekarang.” Andra terpegun. Shock! Bisa saja ia berhalusinasi bukan? “Apa?” “Apakah Bapak mau menikahi saya? Sekarang.” “Anda tidak salah bicara?” tanya Andra, meyakinkan pendengarannya tak salah. “Tidak, Pak.” Mulut Andra terbuka, mengatakan ‘Wah!’ tanpa suara. “Kenapa Anda mau kita menikah?” tanya Andra kemudian. Masih tak habis pikir. Apa perempuan itu sudah gila? “Karena kita saling membutuhkan,” jawab Diana, tenang sekali. “Kenapa Anda berpikir begitu?” “Jika pernikahan ini tidak mendesak, mana mungkin seorang Andra Bhadrika ada di kantor KUA? Menikah seperti ini tidak cocok bagi Anda, Pak.” “Lalu untuk Anda cocok? Diana Maya, seorang top model.” “Itu dulu, Pak.” “Terserah!” “Tunangan saya bilang ia belum bisa mengadakan pernikahan megah karena jadwal kerjanya amat sangat padat. Akhirnya ia memberi solusi, agar kami menikah di KUA dulu. Yang penting sah di mata hukum dan agama. Namun ternyata, ia tak datang. Barusan saya dengar ia sedang mengurus selingkuhannya yang tak sengaja tekilir.” “Apa?” tanya Andra, terkesiap. “Saya akan memberikan Anda tiga penawaran dan tiga syarat. Saya yakin Anda tidak akan rugi,” ujar Diana lagi. Kali ini Andra tertawa renyah. Perempuan ini benar-benar membuatnya takjub. “Bagaimana, Pak?” Sepertinya menikah begitu mendesak bagi Diana. Ya, Andra pun tak bisa menampik jika ia juga terdesak untuk segera memiliki pasangan resmi. Andra terus menatap lekat manik mata Diana, tak ada gentar di sana. “Baik. Ayo kita menikah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD