1. How it all started

1445 Words
Little Thief's POV [2 hari yang lalu] Aku masih ingat jelas pertama kali aku bertemu dengannya, dengan sang iblis. Hari itu, semua siaran berita televisi menyiarkan lanjutan terbaru tentang kasus pembunuhan sadis seorang laki-laki di kotaku, Windenburg, San Myshuno. Termasuk televisi yang berada di atas kepalaku. Aku sedang mengutuk dalam hati perihal kinerja polisi setempat karena tak kunjung menemukan si pelaku yang telah melakukan hal bengis menjijikkan itu, ketika bel di atas pintu berdering: seorang pelanggan masuk dari pintu kaca. Taylor, rekan kerjaku, dengan gesit mengambil remote untuk mematikan saluran TV. Peraturan pertama di Hommes: TV hanya untuk permintaan pelanggan. "Selamat datang di Hommes. Ada yang bisa kami—Oh, ya Tuhan!" Taylor membungkam mulutnya dengan mata yang melotot, "Mr. Pereira." Semua orang di kota ini kenal siapa dia, Azrael Leviathan Pereira. Politisi muda yang saat ini menduduki kursi Parlemen, yang baru saja mengumumkan keikutsertaannya dalam pemilihan kandidat untuk calon Gubernur San Myshuno 2024. Selalu ada label tampan dan seksi jika menyebutkan namanya—dan mereka tidak bohong. Aku hanya pernah melihat pria ini melalui TV kuno di apartemenku dan aku setuju dengan semua label itu. Tapi melihatnya secara langsung, man oh man, aku tidak bisa bernafas. Gossip itu juga benar: Azrael Leviathan Pereira tidak pernah tersenyum. Bahkan ketika 3 karyawan Hommes lainnya mengerumuni, dia tidak sedikit pun menunjukkan ekspresi. Dari meja konter tempat aku berdiri, aku bisa merasakan hawa dinginnya. "Bolehkan aku berfoto denganmu, Mr. Pereira?" Taylor memandangi Azrael seperti melihat malaikat, menggenggam ponsel dengan kedua tangan di d**a, "Aku akan sangat beruntung jika bisa mendapatkan foto bersamamu." "Aku juga mau, Mr. Pereira." Lisa—karyawan yang bertugas untuk section sepatu—melakukan hal yang mirip, "Kau lebih tampan dari di kame—" "Tidak." Wajah ketiga temanku memutih dengan tubuh yang berubah kaku. Satu kata dari Azrael dan mendadak suhu ruangan menurun drastis. Bahkan aku bisa merasakan dari tempatku, "Aku tidak mereservasi tempat ini supaya kalian bisa mendapatkan foto bersamaku. Aku ingin privasi." Oh, aku sempat bertanya-tanya pagi ini kenapa atasan melarang kami membalikkan tanda buka-tutup toko. Ternyata ini alasannya: Azrael Leviathan Pereira mereservasi Hommes untuk dirinya sendiri agar dia bisa berbelanja ria tanpa gangguan. Orang gila kaya raya macam apa, sih, pria ini?! "Kau—yang di meja kasir." Jantungku hampir melompat keluar ketika merasakan mata hitamnya menusuk ke arahku, "Kau ikut denganku." Selama tiga detik Azrael menoleh padaku, selama tiga detik itu pula aku menahan nafas. Aku baru bisa kembali menghirup oksigen ketika mata hitamnya kembali membalur pada ketiga rekan kerjaku, "Dan untuk kalian, berikan aku privasi." Aku tidak tahu yang mana yang membuat ketiga rekan kerjaku memburu pergi untuk memasuki kamar istirahat. Entah itu tatapan mengerikan dari mata hitamnya, entah itu rahangnya yang mengatup, atau caranya yang berbicara dari giginya yang bergemeletuk—apa pun itu, berhasil membuat mereka bertiga mendapatkan trauma. Apa kalian ingat ketika tadi aku bilang mendadak suhu ruangan turun drastis? Sekarang kembali naik, bahkan terasa panas, ketika menyadari hanya tinggal aku dan Azrael. Seolah Hommes adalah neraka dan bukannya Luxury Departemen Store yang menjual busana kantoran pria. Mata hitamnya kembali padaku—sama sekali tidak terlihat ramah, "Apa kau akan berdiri di sana sepanjang hari atau akan menunjukkan aku koleksi dasi terbaru kalian?" "Oh, benar!" Aku terlonjak, mulai mendapatkan kesadaran, "I'm so sorry, Mr. Pereira." Aku bergerak lebih dulu memasuki section dasi, sedangkan Azrael mengekor di belakang, "Sebelah sini, Tuan." Azrael menjatuhkan bokongnnya ke kursi sofa yang dikelilingi etalase dasi. Kakinya terlipat dan menumpu pada satu lutut, terlihat agung dan sombong dalam waktu bersamaan, "Perlihatkan aku koleksi dasi terbaru. Aku butuh selusin." Aku sudah terbiasa melayani pesohor yang sombong—yang memberi perintah alih-alih meminta dengan baik. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari cara Azrael melakukannya. Dia tegas, penuh percaya diri, dingin, dan angkuh. Kau tidak punya pilihan selain menuruti kemauannya. Seolah perintah darinya datang langsung dari mulut Mr. President atau Yang Mulia Raja—tidak heran pria ini menduduki kursi panas parlemen dan akan menjadi calon Gubernur San Myshuno. "Baik, Mr. Pereira." Aku mengambil koleksi dasi yang menurutku cocok dengan kepribadiannya—tegas, percaya diri, dingin, dan angkuh. Ketika aku selesai, koleksi itu kebanyakan berwarna midnight blue, burgundy, smoke grey, dan hitam. Azrael sedang berkutit dengan ponsel ketika aku menghampirinya. Dia mengalihkan tatapannya untuk melihat pilihanku. Untuk pertama kalinya sejak dia memasuki toko, sudut bibirnya tertarik kecil, hanya sebelah—membentuk senyuman tipis yang lebih mirip seringaian. "Kau punya selera yang bagus..." Mata hitamnya berlabuh pada papan nama di atas dadaku, "Miss Harlow." Pipiku merona tanpa izin dariku hanya karena pujian kecilnya, "Thank you, Mr. Pereira. Apa kau ingin mencobanya?" Sudut bibirnya tertarik lebih tinggi, membentuk seringaian sempurna. Azrael meletakkan ponsel ke meja di sebelahnya. Bersandar lebih dalam pada busa sofa, sebelum melebarkan kedua kaki dan lengannya. "Pakaikan untukku, Miss Harlow." Jika aku tidak bisa bernafas sebelumnya, sekarang aku sesak nafas. Azrael terlihat angkuh seperti itu. Dan sialnya, dia juga terlihat sangat menggiurkan—dan aku hanya seorang wanita normal. Aku bisa merasakan sesuatu di antara kedua kakiku bergemuruh hanya membayangkan menyentuhnya. Aku meneguk ludah, "Baik, Mr. Pereira." Meletakkan nampak berisi koleksi dasi di meja sebelahnya, aku perlahan mencondongkan tubuh padanya untuk melepaskan dasi yang ia kenakan. Azrael punya aroma seperti yang aku bayangkan—tegas dan jantan. Harumnya masuk ke rongga pernafasan dengan begitu sopannya, aku takut sekali akan kecanduan. Dari jarak sedekat ini, aku bisa merasakan nafasnya yang berhembus di leherku. Menggelitik dan membuatku jemariku bergetar di dasinya. Pipiku semakin panas menyadari tatapannya. "Apa kau hanya gugup atau kau selalu seburuk ini dalam melayani pelanggan, Miss Harlow?" Azrael berbisik dengan suara beratnya. Dia tidak terdengar dingin—dia terdengar menggoda. Aku memberanikan diri untuk bertemu tatapannya. Penyesalan yang instan, karena dari jarak sedekat ini dia bahkan lebih menggiurkan. Aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melirik bibir merahnya, "Apa kau selalu belanja secara privat seperti ini?" Azrael menyeringai, "Hanya jika aku tidak bersama pengawalku." Aku segera mengalihkan tatapanku begitu berhasil melepaskan dasinya. Aku menjauh untuk mengambil pilihan dasi lainnya, dan saat itulah aku menyadari jemarinya mencengkram sofa dengan erat hingga buku jarinya memutih. Aku mengambil dasi berwarna midnight blue yang senada dengan jas dan dalaman kemeja yang saat ini ia kenakan. Lalu kembali mendekat untuk memakaikan padanya. Azrael mungkin tidak sedingin saat pertama kali dia datang, tapi berada begitu dekat dengannya masih punya efek yang sama pada tubuhku—panas dan berdenyut. Syukurnya, dia tidak bertanya apa-apa lagi hingga dasinya selesai terpasang. Membuat pekerjaanku menjadi lebih mudah tanpa mendengar suara beratnya yang mendebarkan. Aku bangkit berdiri untuk mengambil cermin kecil dan menghadapkan padanya, "Bagaimana, Mr. Pereira? Apa kau suka?" Mata hitamnya mengunci tatapanku, sepenuhnya mengabaikan cermin dalam genggamanku saat Azrael berbisik kecil, "Ya, aku ambil semua pilihanmu." Aku mencoba untuk tidak berpikir berlebihan, tapi pipiku kembali terasa panas, "That's... that's wonderful." Aku meletakkan kembali cermin untuk membawa nampan berisi koleksi dasi lainnya, "Ada lagi yang bisa kubantu?" Azrael bangkit dari sofa sembari membenarkan letak jasnya, "Tidak, untuk sekarang." Aku tidak mengerti apa maksudnya 'untuk sekarang'. Aku hanya akan mengasumsi bahwa dia akan kembali lagi untuk berbelanja. "Alright. Kalau begitu, mari kita lanjutkan ini ke meja kasir." Aku sudah bekerja di Hommes selama hampir enam bulan, tapi aku masih terkejut setiap kali ada transaksi dengan nominal yang bombastis. Ketika aku menyebutkan total nominal pada Azrael, pria itu tidak sedikit pun menunjukkan ekspresi. Dengan santainya, memberikan Black Card padaku. Kurasa Azrael Leviathan Pereira memang orang gila kaya raya. Setelah menggesek kartu pada mesin, aku memberikan padanya untuk mengisi kata sandi. Tidak seperti kebanyakan orang yang menutupi kata sandi mereka—terlebih pada kartu yang memungkinkanmu untuk berbelanja tanpa limit nominal—Azrael mengetik kata sandinya secara terbuka seperti sedang menekan tombol pada telepon genggam. 1-9-7-3-6-4 Bertepatan dengan lelaki itu menyelesaikan kata sandinya, ponselnya berdering, "Bagaimana hasilnya?" katanya, pada orang di seberang sambungan. Apa tidak ada yang mengajarkan orang-orang kaya ini mengenai sapaan saat mengangkat telpon? "Apa?!" Azrael memekik, hampir membuat jantungku berhenti. "Apa maksudmu kampanye itu tidak bekerja?!" Ekspresinya berubah mematikan, "Aku tidak peduli, temukan solusinya!" Azrael mematikan sambungan ponselnya. Tatapannya tajam ke arahku, "Are we done here?" Aku mengangguk, terlalu terkejut untuk berbicara. Tanpa sepatah kata pun, Azrael meraih tas belanjaan dari atas meja. Lalu berburu keluar dari toko. Baru ketika tubuhnya sepenuhnya hilang dari balik pintu kaca, aku menyadari sesuatu. Dia meninggalkan Black Card-nya! Aku tidak berpikir dua kali untuk mengejarnya. Tapi sebelum aku sempat membuka pintu toko, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. dr. Marcus: Waktumu tidak banyak, Miss Harlow. Kau harus menemukan $150.000 segera atau kau akan kehilangan adikmu jika dia tidak segera di operasi. Langkahku terhenti sepenuhnya. Jemariku terlepas dari gagang pintu. Black Card itu terasa berat di tanganku. Begitu saja, perasaan mual mengocok perutku. 1-9-7-3-6-4 Oh, Tuhan. Tolong maafkan aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD