Sekarang

1355 Words
            Anggap saja saat ini sedang nonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi nggak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih.             Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat nggak tepat!             “Iya, Ali si kutub es paling mempesona.”             “Lo panggil gue?”             Dua kalimat yang muncul dari dua alumni, dua kalimat yang nggak sengaja di dengar oleh beberapa murid. Seketika Lintang menelan ludahnya, sorot matanya berubah menegang, dia nggak berani menoleh. Dia nggak butuh menoleh untuk memastikan suara siapa itu. Delapan tahun berlalu bukan berarti dia lupa suara itu, suara berat yang selalu membuatnya takut.             Lintang menarik napas dalam-dalam, mencoba memasang raut muka sewajarnya, pelan dia menoleh. Degup yang dulu pernah ada, kenapa sekarang hadir lagi? Lintang rasa kakinya jadi lemas, gagal kalau dia mau bersikap sewajarnya. Wajah dingin itu menatapnya lagi, setelah delapan tahun berlalu.             “Hah? Ada apa?” Lintang pura-pura nggak mendengar.             Ali berdehem, memasukkan tangannya ke saku celana, kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini hampir sebagian murid sudah mengerubungi mereka. Nggak bisa dipungkiri, jarang sekali Ali mau menampakkan dirinya di sekolah saat jam istirahat. Maka dari itu, murid-murid khususnya kaum hawa nggak akan menyia-nyiakan kesempatan langka untuk menikmati pesona alumni pentolannya Gajah Mada ini.             “Lo panggil gue?”             “Panggil? Ali? Ah, itu ....” Lintang menunjuk poster yang untungnya tertempel di dekat jendela UKS. Sepertinya Lintang harus berterimakasih deh sama orang yang sudah ikhlas pasang poster itu.             “Aliando, cakep, hehehe ....” ***             Kalau dulu Ada Ali, Wahyu, Eza, Miko, Angga, Aji dan Marcel. Tahun ini juga ada yang dinobatkan jadi pentolan sekolahnya SMA Gajah Mada, Saka namanya. Saka Arya Putra, cowok dengan kegantengan di atas rata-rata, muka ciri khas jawa banget, pintar dalam hal akademik juga non akademik, dan hobi cari ributlah yang menjadikan dia murid nomor wahid di Gajah Mada. Untung saja Ali lah sekarang yang punya sekolah ini, nggak akan ada lagi yang namanya tawuran. Ali masih jadi pimpinan yang ditakuti, dan Saka nggak akan sebebas jamannya Ali maupun Miko. Kalau pentolan jaman dulu anti deket sama yang namanya cewek, atau bisa dibilang cuma jatuh cinta dan menikah dengan cinta pertamanya, berbeda dengan Saka. Dia satu-satunya pentolan SMA Gajah Mada yang punya cap playboy kelas kakap. Perangainya yang ramah walaupun kadang gampang emosi, membuat banyak kaum hawa menempel setiap hari di sekitarnya. Meski begitu nggak ada satu pun yang benar-benar bisa mencuri perhatiannya, sampai penghuni baru datang pagi ini.             Saka nggak jauh beda dengan Miko. Dia juga sama cerdasnya, apalagi di bidang fisika. Nilainya nggak pernah di bawah 90. Untuk itu, atas keberaniannya, dia melewatkan jam pelajaran fisika, karena berdalih dia akan tetap dapat nilai baik meskipun nggak mengikuti mata pelajarannya. Dan saat ini dia sedang menghabiskan waktunya tiduran di gedung yang akan dibongkar. Mendengarkan lagu rocket rockers favoritnya sejak setahun lalu.             Baru beberapa menit dia tiduran, ada suara langkah kaki yang masuk ke dalam gedung. Juga berkali-kali suara jepretan foto yang terdengar begitu jelas. Saka mendesah berat, kesal mematikan musiknya, memutar badannya ke samping, melihat dari balik celah triplek berlubang yang ada di depannya. Benar ada seseorang yang sepertinya sedang sibuk mengambil foto.             Satu lagi, mungkin memang sudah tabiat. Hampir semua pentolan sekolah punya tempramen yang buruk. Mereka lebih cepat marah untuk hal yang mengganggunya. Termasuk saat ini, Saka mengira kalau orang itu murid kelas satu, cewek, yang diam-diam sedang mengambil fotonya.             BRAKKKK             Kasar, Saka menendang triplek yang ada di depannya. Dia bangun, langkahnya cepat, menghampiri gadis yang terkejut melihat tiba-tiba ada Saka disana. Tanpa ijin, dan kejadiannya begitu cepat, Saka merampas kamera dari tangan gadis itu lalu membantingnya.             PRAKKK             “KAMERA GUE!” gadis itu berteriak histeris, panik buru-buru mengambil kembali kameranya, tapi telat. Lensa kameranya sudah pecah.              Saka tersenyum sinis, “Jadi itu kamera punya lo?”               “Lo gila hem? Banting kamera orang seenak jidat? Lo pikir lo siapa? Lo harus ganti rugi!” cerocos gadis itu jengkel. Mukanya sudah memerah marah. Belum pernah seumur-umur dia sekesal ini dengan orang. Apalagi bocah ingusan seperti yang ada di depannya saat ini? Dia benar-benar harus bikin perhitungan.             Saka yang dapat omelan malah mengabaikannya, dia pergi meninggalkan gadis itu begitu saja. Tapi baru beberapa langkah, gadis itu menarik lengan Saka kasar. Membuat Saka terpaksa balik badan.             “Bener-bener nggak punya sopan santun ya? Ganti rugi sekarang juga, gue bilang!” tandasnya lagi.             Astaga, bukannya merasa bersalah si pentolan yang memang super duper resek ini tertawa keras, mengelus sebentar kepala gadis yang ada di depannya. Baru kali ini ada gadis yang berani membentaknya.             “Bilang apa tadi? Ganti rugi?”             Gadis itu cuma diam menepis tangan Saka dari kepalanya kasar. Serius, saat ini dia benar-benar sedang menahan emosi, nggak paham kenapa harus berurusan dengan cowok nggak waras. Ah iya, kenapa bisa di SMA Gajah Mada ada cowok nggak waras?             “b***k lo?”             “Lo bilang apa? b***k?” Saka menarik kerah baju gadis itu, membuat gadis itu lebih dekat dengannya. Mood Saka beneran buruk saat ini, matanya menatap tajam gadis yang sekarang ada di cengkramannya, mencoba mengintimidasi dengan tatapannya. Tatapan yang biasanya sukses membuat lawan bicara takut, nggak berkutik.             “Lepasin gue!”             “Lo anak baru?”             “Gue bilang, lepasin!”             Saka semakin mengeratkan cengkraman. Akibatnya gadis itu terangkat sedikit, sejajar dengan Saka yang jauh lebih tinggi darinya.             “Lo nggak sadar berurusan dengan siapa? Lo datang kesini dan ambil foto gue? Kalo mau jadi cewek gue bilang aja! Gue nggak suka ada orang yang tanpa ijin ambil foto gue!” ganti Saka yang mengomel, membuat gadis itu terdiam.             Untuk beberapa saat gadis itu menatap Saka, bingung. Pelan dia mengartikan ucapan Saka, dan langsung tertawa. Dia hempas begitu saja cengkraman Saka yang sudah nggak terlalu kencang. Saking merasa lucunya, gadis itu masih terus tertawa menatap Saka, memegangi perutnya.             “Jadi lo kira gue ambil foto lo? Emang lo siapa, bocah?”             “Apa lo bilang? Bocah?” Saka semakin geram.             Gadis itu mengangguk mantap, sambil berusaha menghentikan tawanya. Kesalahpahaman ini benar-benar lucu. Membuatnya jadi agak lupa dengan insiden kameranya yang rusak.             “Hmmm ...” gadis itu menujuk tepat di hidung Saka, “Iya bocah, ahhh lebih tepatnya, bocah ing-us-an!”             Saka berdecak kesal, rahangnya mengatup keras, kembali mendekat ke arah gadis itu dan berniat mencengkram lagi kerah bajunya. Tapi belum sempat dia lakukan, suara keras menggema ke seluruh ruangan.             “SAKA ARYA PUTRA!”             Kompak Saka dan gadis itu menoleh ke arah sumber suara.             “Apa-apan lo? Bikin ulah lagi?”             Saka yang tahu siapa itu, langsung lesu pasang muka memelas, merengek seperti anak kecil yang coba cari alasan ke ayahnya. Orang itu nggak lain adalah pemilik SMA Gajah Mada yang baru, Ali Ferdiansyah.             “Bang, lo tahu sendiri kan gue nggak suka ada orang yang foto gue tanpa ijin. Dan dia ...,” Saka menunjuk gadis itu balik, “Anak baru beraninya ambil foto gue, ngatain gue bocah ingusan.”             Ali cuma diam, dingin menatap gadis yang ada di depannya, tapi masih bicara dengan Saka, “Emang lo bocah ingusan. Ganti kameranya, dan minta maaf ke dia. Dia penanggungjawab gedung ini. Dia bukan murid baru. Usianya tujuh tahun lebih tua dari lo. Fani Lintang Larasati, bener kan?”             Fani Lintang Larasati. Mendengar namanya disebut Ali, rasanya Lintang pengen kabur saja. Dia pengen keluar dari pekerjaannya dan kembali ke Cilegon jadi penjual kerupuk lagi. Masa bodoh deh dengan bonus besar sebagai penanggungjawab gedung Gajah Mada ini. Pikiran Lintang semakin kacau, semrawut. Ali hafal namanya, Ali nggak melupakannya. Ali masih ingat dia, gadis yang pernah memata-matainya delapan tahun lalu.             “Masih inget gue kan?” tambah Ali.             “Iya mas, Mas Ali, lama nggak bertemu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD