***
"Lari woy lari! Alify Alify sini b**o!"
Seorang perempuan dengan badan kurus dan rambut merahnya berlari kencang mengikuti arahan teman lelakinya. Tangannya digenggam dan diajak berlari menjauhi musuh yang sedang mengejar mereka.
"Belok! Belok! Sembunyi!"
"Anjir jangan disini! Penuh!"
"b**o! Si Alify cewek ini!"
"Udah sih, gue cari tempan lain!"
Alify melepaskan genggaman tangannya lalu berlari menjauhi teman-temannya yang malah bertengkar. Ia berlari tak tentu arah. Mengikuti nalurinya. Memasuki gang gang sempit dan sesekali melihat keadaan belakangnya.
Ia berhenti sejenak saat menginjakkan kakinya di pos depan komplek rumahnya sendiri. Cukup takjub dengan dirinya sendiri yang bisa berlari sejauh ini sekalipun jarak antara rumah dan sekolah tidak bisa dibilang dekat.
Alify kembali melanjutkan jalannya menuju rumah dengan senyum penuh kemenangan. Iya, hari ini kelompoknya kembali berhasil memancing keributan.
***
"Permisi, Paket!"
Ucapan seseorang dibelakangnya membuat Alify yang baru saja menutupi pagar rumahnya berbalik.
"Atas nama Bapak Gunawan?" Tanya kurir tersebut.
"Saya anaknya."
"Mohon tanda tangannya dulu sebagai tanda penerima." Kurir tersebut menyerahkan ponselnya.
"Ini barangnya ingin saya bantu bawakan atau tidak? Berat soalnya."
"Bawain deh, sampai pintu ya."
Kurir tersebut mengangguk lalu menjalankan tugasnya. Setelah itu ia pamit untuk mengantarkan paket lainnya.
Alify menatap dus yang ukurannya lumayan besar dan berat. Dus itu polos, membuatnya tidak dapat mengetahui isinya. Riwayat pembeli dan penjual pun tak menyertakan jenis barang yang dikirim.
"Buka aja kali ya, paling Ayah beli alat fitness baru."
Alify mendorong paket itu untuk masuk ke rumahnya dengan susah payah. Setelah tiba di ruang tengah, ia langsung membukanya dengan cutter.
"Undangan?"
"Anjing."
Alify langsung mengambil ponselnya dan menelepon tersangka yang membuatnya mengumpat kasar.
"Halo sayang?"
"Maksud Ayah apa?! Nikah lagi tanpa bilang ke aku?!"
"Kamu tau dari mana? Kamu buka paket ayah?"
"Iya, emang kenapa? Aku gak boleh sentuh barang-barang Ayah?"
"Bukan gitu maksud Ayah, nak. Hari ini niatnya Ayah mau mengenalkan kamu dengan beliau. Selama ini dia menemani Ayah semenjak ibumu tiada."
"Aku punyanya Bunda, bukan Ibu!"
"Iya sayang iya. Kamu jangan marah-marah dulu. Ayah jelaskan-"
"Marah?! Ayah bilang aku marah-marah?!"
"Say-"
"Ayah gak tau gimana hampir setiap hari aku kangen Bunda! Ayah juga gak tau gimana cara aku untuk ngalihin pikiran aku biar gak inget Bunda terus?! Dan Ayah gak akan tau gimana rasa menyesal yang terus-terusan muncul padahal ini semua salah ayah!!"
"Ayah yang bikin Bunda mati!! Dan sekarang Ayah dapat seseorang yang akan gantiin posisi Bunda? Ayah waras? Hah!"
"Alify!!!"
"Kalau Ayah mau hapus nama Ify dari daftar warisan, silahkan. Ify gak peduli dan gak butuh Ayah lagi."
Piipp
Alify menghapus air matanya yang hampir keluar dengan kasar lalu beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia membanting pintu kamarnya dengan keras lalu menguncinya. Mengurung dirinya hingga tak seorangpun dapat mengganggu.
***
Dio tersenyum kala teman tersayangnya mulai terlihat sedang berjalan di koridor. Tandanya bahwa doinya itu masuk kelas hari ini. Bukan hal yang aneh ketika teman-teman sekelasnya melihat Dio berdiri diambang pintu menghalangi jalan. Pria itu sudah terbiasa menunggu kedatangan Alify yang selalu dipujanya.
"Alify, kemaren lo kemana? Mabal ya? Padahal kemaren lo official punya temen sebangku loh." Dio langsung melaporkan apa yang terjadi kemarin saat teman tersayangnya itu tepat memasuki kelas.
"Siapa?"
"Namanya Rio. Anaknya tinggi banget, lebih dari gue."
"Lo kan emang pendek. Tinggi kita aja sama."
"Yaelah, Fy. Jangan diperjelas dong. Malu gue."
Alify tersenyum remeh. "Biasa malu maluin juga lu mah."
"Jahat lo, tapi tetep aja gue sayang."
"Cih, najis dengernya."
"Nah itu temen sebangku lo! Pagi Rio.." ujarnya dengan senyum yang mengembang.
Alify dan Rio saling berpandangan beberapa saat. Keduanya sama-sama menilai penampilan mereka satu sama lain. Dan tentu saja penilaian mereka tak jauh dari kata buruk.
"Eh kok malah diem sambil tatap-tatapan? Gue cemburu loh."
Alify memutuskan kontak matanya lebih dulu. "Lo balik deh ke meja lo. Gue mau tidur."
Dio memasang wajah sedihnya, tetapi dia tetap menuruti perintah teman tersayangnya itu. Dasar bucin.
"Kemarin lo kemana?" Adalah kalimat pertama yang Rio ucapkan kepada teman sebangkunya.
"Bukan urusan lo."
"Ya emang sih, tapi gue ingetin aja. Sebentar lagi lo dipanggil wali kelas ke kantor untuk mempertanggung jawabkan keabsenan lo kemarin."
Dan benar saja, tepat setelah Rio berucap demikian, ada seseorang yang memanggilnya untuk pergi ke ruang BK.
"Alify, dipanggil ke ruang BK tuh. Geng lo juga udah pada ngumpul disana."
Dengan langkah malas, Alify beranjak menuju ruang BK yang berada diujung sekolah. Benar saja, disana sudah terdapat teman-temannya yang ikut menyerang kemarin. Mereka telah berbaris tepat didepan ruang BK membuat Alify mau tak mau ikut masuk kedalam barisan.
"Eh Alify, sini kedepan. Kamu kan pemimpinnya?"
Alify berdecak kesal. "Bukan, Bu. Saya mah anggota biasa."
"Lalu kenapa kamu bisa kabur sedangkan teman-temanmu ini babak belur diserang SMA sana?!"
"Ya saya lari lah! Lagipula mana ada yang berani nyerang saya." Jawabnya santai.
"Keterlaluan kamu! Pokoknya hari ini kalian absen lagi! Bersihkan gudang sampai bersih dan saya sendiri yang akan mengawasinya! Cepat!"
Mereka langsung bubar menuju gudang yang ada di gedung sebelah. Ya namanya gudang. Ukurannya luas dan besar serta banyak debu disana.
"Ayo mulai bersihkan. Jangan malah lihat-lihat doang!"
Semuanya langsung bergerak membersihkan dengan alat-alat yang telah disediakan. Beberapa ada yang mulai menyapu, mengepel bahkan merapihkan barang.
Alify, perempuan satu-satunya yang dihukum mendapat perlakuan yang lebih. Ia yang notabennya tidak pernah membereskan rumah, mulai bersin-bersin akibat debu-debu tebal yang mulai berhamburan di udara. Ruam-ruam kemerahan perlahan muncul di kulit pucatnya. Rasa gatal tak tertahan ikut ia rasakan seiring berjalannya waktu.
"Anj-" ia hampir mengumpat ketika menyadari tangannya yang sudah memerah.
"Tangan gue kenapa ya?" Pertanyaan lugu Alify membuat Gibran yang berada tak jauh darinya menoleh.
"Anjir lo alergi debu apa gimana? Ayo ke uks. Kok lo malah diem aja?!" Ujar Gibran yang langsung menyadari segera menarik tangannya keluar dan menuju UKS.
"HEI! MAU KEMANA KALIAN?!!"
"SEBENTAR BU! ALIFY SAKIT!" Balas Gibran dengan berteriak mengabaikan tatapan sang guru yang telah berapi-api.
"Dasar anak jaman sekarang. Lihat saja nanti saya persulit nilainya!"
"Jangan dipersulit, Bu. Sesungguhnya barangsiapa yang menyulitkan orang lain, maka akan disulitkan oleh Tuhan diakhirat nanti." Ujar salah satu rekan Alify yang kebetulan berdiri disamping sang guru.
"Sok menggurui kamu! Cepat sana kerja lagi!" Suruh sang guru dengan nada menyentaknya hingga membuat murid itu mendumel.
***