Trauma...

1487 Words
Kikan mengusap selimut berwarna pink yang baru ia naikkan, tangannya lalu membelai pipi putrinya yang mulai tidak sepucat minggu lalu, setelah dapat perawatan dan akhirnya bisa pulang. Jemarinya menggenggam jemari kecil Felora, “kekuatan Bunda, jangan menyerah ya sayang… Tanpa Felo, Bunda tidak akan sanggup menjalani hidup ini lagi. Bunda akan lakukan apa pun agar Felo bisa bertahan lebih lama, tetap bersama Bunda.” Kikan menyeka air mata yang jatuh, sebelum ikut berbaring dan memeluk malaikat kecilnya. Di saat semua orang meninggalkannya, Felo bersamanya, walau dengan kelainan jantung yang membuatnya lebih lemah dari anak-anak normal lainnya. Mata itu perlahan tertutup, ia menarik napas dalam dan tidak ingin menangis lebih lama hingga membangunkan anaknya. Ketika ia memejamkan mata, kilasan tragedy yang membawa trauma begitu saja muncul secara nyata, tengelam pada kenangan buruk yang tidak pernah bisa dia hilangkan. “Tanah yang mengubur jasad kedua orang tuaku masih basah, Ka. Di mana hati kamu?!” Malam itu langit gelap sedang tanpa binar-binar bintangnya, tampak kilat-kilat cepat terlihat dari jendela yang tertutup tirai. Masih hitungan hari Kikan mendapati kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan besar, malam ini pria yang ia cintai, ayah dari bayi yang sedang ia kandung, ternyata tidak setia pada pernikahan mereka. Hanan Luham... nama Pria yang katanya begitu mencintainya. “Siapa wanita ini? Yang mengirimi pesan mesra, bahkan memanggilmu sayang.” Dia menuntut. “Dia hanya temanku!” “Teman tidak akan menginap di hotel beberapa kali!” Kikan yakin ia mulai bisa memojokkan suaminya. “Ka Hanan, jawab aku!” “Aku hanya butuh hiburan, Kikan! Belakangan kamu terlalu sibuk, larut dalam kematian orang tuamu!” “Hiburan kamu bilang?!” Kikan tidak terima, “sebagai suami harusnya kamu yang menenangkan aku, agar aku bisa melewati masa sulit ini. Bukannya kamu pergi ke nightclub, bersenang-senang!” “Kamu masih mau terus bicara?” tantang Hanan. Dia membalas tatapan Kikan dengan tajam, kemudian tangannya terulur dan Kikan mendesis sakit ketika sebuah cengkeraman erat di rambutnya. “Sekarang kamu cuman sendirian, cuman punya aku. Aku bisa bersikap semauku—” “Arghh! Ka, lepas! Sakit shh!” Kikan mendesis sembari memegangi tangan yang mencengkeram rambutnya. Hanan memang punya pengendalian emosi yang buruk. Bukan kali ini saja Kikan mendapati sikap kasar tersebut, hanya ia menutupi dari orang tuanya, meski begitu, Kikan masih saja mencintai Hanan dan bertahan, tidak lebih karena kini ia tengah mengandung anak pertama mereka. Hanan malah kian mendekatkan Kikan, “kamu yang mulai, aku paling benci wanita yang sangat banyak bicara sepertimu. Kamu berisik sekali!” “Ka, aku sedang ha-hamil…” lirihnya, air mata Kikan jatuh. “Jangan ikut campur urusan di luar rumah, termasuk bila aku ingin jalin hubungan dengan wanita mana pun yang kumau—” “Kalau begitu ceraikan aku, Ka—Argh!” Sebuah dorongan kasar membuat tubuh Kikan terpental, tindakan refleks Hanan dalam kemarahan. “Dasar gadis manja! Aku menikahimu hanya karena orang tuamu saja! Aku hanya berpura-pura mencintaimu!” Aira mata Kikan kian luruh, bersamaan itu ia berteriak begitu kesakitan memegangi perutnya, “Ka… perutku, bayiku..” “Jangan berakting!” Hanan hendak berbalik, sampai suara kesakitan Kikan kian terdengar. Hanan berbalik dan melihat ke arah kaki Kikan, “Kikan!” “Tidak!” Kikan seketika membuka mata, bersamaan dengan napas yang memburu dan keringat dingin di pelipisnya. Kikan segera duduk, “Felo…” bisiknya menoleh dan lega mendapati putrinya tersebut tidur pulas, hanya ia seorang yang mimpi buruk itu. Sebenarnya bukan mimpi, kenyataan yang menyusup hingga ke bawah alam sadarnya saking membuatnya trauma. Perbuatan suaminya dulu, membuat Kikn harus melahirkan putrinya dengan premature, sebelum waktunya. Semesta masih berbaik hati dengan membiarkan putrinya bertahan hidup, walau dengan kenyataan kelainan jantung yang dimiliki. Kikan kembali berbaring, kembali memeluk Felo, menciumi wajahnya. Felo adalah segalanya bagi Kikan. *** “Morning, Bun!” Seruan itu membuat senyum Kikan mengembang. Felo sudah bangun lebih dulu darinya. “Morning Beautiful, semangat sekali.” Felo terkekeh, Kikan tentu tahu alasan yang buat putrinya semangat pagi ini. Mengajaknya jalan-jalan pagi, sambil sarapan di cafe dengan menu waffle favorit Felo. “Hari ini setengah Waffle bagian Bunda, buat Felo!” katanya dengan ceria. Kelainan jantungnya, membuat Felo memang lebih lemah dari anak seusianya tetapi perkembangan lainnya justru lebih dulu. Felo bisa memanggil ‘Bunda’ bahkan sejak usia sebelum satu setengah tahun. Mudah belajar bicara, hafal lagu dengan nada yang pas walah bagian lirik hanya ujung-ujungnya saja. Dan kini setelah memasuki usia jalan empat tahun, dia semakin pintar. Sudah sekolah. “Memang akan habis?” “Iya, habis! Kata Uncle dokter, Felo harus nurut sama Bunda. Mam obat teratur, makan banyak.” Kening Kikan mengernyit, “Uncle dokter?” “Iya, itu lho Bunda yang kembaran Uncle teman bunda, orang Jakarta.” Jawabnya dengan polos dan lengkap. Buat Kikan tersenyum. “Oh, Uncle dokter Halim?” “Iya, Uncle dokter baik.” Angguk Kikan. “Kok Felo bisa langsung nilai baik sih?” Kikan ingin tahu jawaban putrinya. Felo menyengir, “tidak tahu!” sambil segera turun dan mengambil sisir, memberikan pada Kikan untuk menyisirnya. Selama jalani perawatan di Norbert Hospital, hampir empat hari, Halim, pria yang belum begitu akrab tetapi tidak lagi asing buat mereka itu memang kerap mengunjungi. Halim terlihat lebih pendiam, irit bicara dibanding kembarannya, tetapi saat bersama Felo, Halim menanggapi semua pertanyaannya. Awal mula mengenalnya karena Kikan menjual rumah peninggalan orang tuanya di Jakarta pada pasangan muda, Hamish dan Lea, beberapa bulan lalu mereka mengunjungi Halim yang sedang tinggal di sini, lalu Kikan menerima ajakan bertemu dan terjadilah perkenalannya. “Ayo, Bunda. Bangun!” Felo berdiri dan menarik tangan ibunya, “Mandi,” “Felo memang sudah mandi?” “Sudah, sama Oma.” Suster Felo datang saat Kikan butuh bantuannya menjaga, pas Kikan ada pekerjaan yang penting. Tabungan yang ia punya semua untuk kebutuhan dan pengobatan Felo yang tidak murah, Kikan juga akhirnya bekerja disebuah Wedding Planner. “Coba sini Bunda periksa, kalau harum berarti sudah mandi.” Kikan menarik putrinya, memeluknya dan mencium aroma segar yang manis. Sampai Felo terkikik geli. “Wah, iya ih udah wangi sekali. Pasti pakai banyak-banyak parfumnya!” “Iya dong!” Selain tinggal berdua, ada orang tua yang mereka panggil ‘Oma’, bukan orang tua langsung dari mendiang Ayah atau pun Ibu dari Kikan. Dia merupakan adik angkat mendiang Nenek Kikan. Usianya baru enam puluh lima tahun, jarak usianya memang cukup jauh dengan nenek kikan sendiri, sekitar lima belas tahun. Masih Bugar, walau sudah tidak pergi ke mana-mana sendiri, ia menikah mendapatkan orang asli Jerman, dan menetap jadi warganegara Jerman. Oma punya anak semata wayang, jatuhnya seperti bibi untuk Kikan, sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di Berlin, beda kota. Sebulan sekali mereka datang. Alasan Kikan memilih tinggal di Jerman, ia ingin memulai hidup barunya dengan Felo setelah perpisahannya. Alasan lainnya ia ingin mendapatkan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Oma tidak ikut jalan-jalan, hanya Kikan dan Felo. Tidak jauh-jauh, Felo lebih suka naik kereta cepat atau kendaraan umum lainnya. Setiap jalan-jalan begini Kikan membawa perlengkapan penting untuk Felo dalam keadaan darurat, termasuk alerginya. Mereka turun di pemberhentian bisa berikutnya, berjalan sambil berpegangan tangan ketika tatapan mata Kikan dan Felo melihat seorang pria dengan sepedanya, berhenti di tempat khusus sepeda. Menguncinya. “Dokter Halim—” “Uncle Dokter!” Felo melepaskan diri dari genggaman tangan Kikan, dia berlari menuju Halim. “Felo!” “Sayang, jangan lari!” Teriak Kikan dan Halim bersamaan, dari arah depan ada orang yang bersepeda sambil memasang earphone. “Felo, awas!” Jantung Kikan detik itu terasa hampir lepas saat menyaksikan putrinya hampir di tabrak sepeda, tetapi terselamatkan oleh Halim yang berlari dan meraup tubuhnya. Memeluk erat meski agak terguling dan ia yang terserempet oleh sepeda itu. Pengendara sepeda itu malah mengomel dan lanjut berjalan. Tidak ada rasa bersalah. Kikan berlari, lalu mematung menyaksikan Halim yang terluka tetapi lebih dulu memastikan Felo baik-baik saja, “Felo, ada yang sakit?” “Felo, ya ampun… Bunda bilang kan jangan lari!” Kikan datang dengan raut sangat tegang. Halim berdiri sambil mengendong anak itu, “maaf,” “Tidak apa, terpenting Felo tidak terluka.” “Lalu kamu?” Tangan Kikan refleks menyentuh lengan Halim yang bebas, “terluka,” “Ini hanya lecet.” Halim menunduk menatap tangan Kikan yang masih memegangi pergelangan tangannya. “Walau cuman lecet, tetap harus segera dibersihkan, diobati!” “Saya bisa lakukan nanti—” “Sekarang! Kenapa menunggu nanti sih? Saya tahu kamu seorang dokter, tapi kalau terluka tetap harus diobati, kan?” Halim menarik napas dalam, ‘hadeh… wanita ini benar-benar banyak bicara sekali!’ batinnya. Felo yang melihat ibunya memarahi dan kesal pada Uncle dokternya, malah terkikik geli terutama melihat ekspresi Halim. Tawa Felo buat Halim dan Kikan menoleh. “Felo, kenapa?” tanya Kikan berhenti mengomel. “Bunda dan Uncle dokter lucu!” kata anak itu dengan dua satu tangan menutup mulut. Halim dan Kikan saling pandang sebelum salah tingkah sendiri, mereka berdebat dan lupa disaksikan oleh si gadis kecil, Felora.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD