Surprise!"
Satya turun dari mobil dengan senyum semringah. Dia bahkan membawa sebuket mawar putih kesukaankaanku.
Di saat yang bersamaan, Dokter Vhir juga sedang berjalan ke arahku.
"Sudah siap?"
Aku melihat ke arah dua makhluk itu bergantian.
"Dok, saya—"
"Lo siapa?" Suara Satya terdengar tidak bersahabat.
"Oh, kenalin, saya Abiyan. Dokternya Adisty. Kamu?" Dokter Vhir mengulurkan tangan ke arah Satya.
"Oh, cuma dokter. Gue kira siapa." Satya mengabaikan uluran tangan Dokter Vhir dan malah meraih pergelangan tanganku. "Dia pulang bareng gue. Kita mau KENCAN," ucap Satya penuh penekanan pada kata kencan.
Ini bocah apa-apaan, sih? Perasaan hari ini sama sekali tidak ada rencana apa-apa, kenapa dia mendadak bersikap aneh begini? Dasar, Mahkluk Astral!
"Dis?"
Dokter Vhir ganti menatapku penuh tanya.
"Maaf, Dok, saya—"
"Udah gue bilang, dia pulang sama gue. Lo urusin aja sana pasien-pasien lo yang lain. Gue bisa jagain pacar gue sendiri."
Mata dokter itu memancarkan luka ketika aku melihat ke arahnya. Kalau diterjemahkan dengan bahasa Satya, mungkin dia sedang mengatakan, "Kalo lo mau kencan ama dia, kenapa nggak nolak pas gue bilang mau jemput?"
Akan tetapi dia hanya diam. Melangkah lebih dekat, lalu membetulkan letak syal yang menggulung di leherku.
"Inget baik-baik, ya. Kulitmu sensitif dengan udara dingin, jadi jangan pulang terlalu malam." Tangan kekarnya menepuk-nepuk kecil puncak kepalaku.
Entah kenapa, malam ini dia bersikap sangat hangat. Seperti seorang kakak yang sesungguhnya. Aku tahu kalau dia memang selalu baik, tapi kali ini, kebaikannya membuatku merasa bersalah. Orang sebaik dia, tidak seharusnya terluka hanya karena gadis seperti diriku.
***
"Kenapa kamu bilang kalau kita mau kencan? Dan ... sejak kapan aku jadi pacar kamu?"
Satya dan Abiyan, mereka berdua memiliki sifat yang sama-sama ajaib dan menyebalkan. Selalu berbuat seenak sendiri.
"Karena gue emang mau ngajakin lo kencan," jawabnya sambil satu tangannya meraih tanganku.
Jakarta malam ini masih seramai biasanya. Jalanan didominasi oleh kendaraan pribadi yang berlalu-lalang.
"Tapi sejak kapan kita pacaran? Dokter Vhir pasti akan salah paham."
Satya menepikan mobilnya, lalu berhenti di pinggir jalan. Pandangannya benar-benar fokus padaku, dan kini jemari tangannya merangkum jemariku dengan sempurna.
"Sejak hari itu. Lo inget perkataan gue waktu itu, kan? Kalo lo dateng, kita pacaran. Gue tau lo nungguin gue di sana, jadi sejak hari itu kita pacaran, dan selama ini kita LDR."
"Kamu masih berhutang penjelasan."
Aku menarik tanganku dari genggamannya, bersedekap, lalu melempar pandangan ke luar jendela.
"Gue janji, suatu saat nanti gue pasti bakal jelasin semuanya ke elo. Sekarang, lo cuma perlu tau kalo lo adalah orang yang sangat berarti dalam hidup gue."
Aku tersenyum kecil. Entah mengapa, kata-katanya seakan mengambang. Sama sekali tidak bisa menghapus ketakutanku. Takut kalau dia akan menghilang lagi, dan aku harus tersakiti lagi karenanya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku merasa harus menjaga jarak.
Selanjutnya tidak ada lagi percakapan di antara kami. Aku memilih diam, sampai Satya menghentikan mobilnya di sebuah apartemen mewah.
"Kenapa kita ke sini?"
"Gue tinggal di sini."
"Terus?"
"Ada yang perlu gue tunjukkin ke lo."
"Tapi—"
"Lo tenang aja, gue nggak bakalan macem-macem, kok."
Aku mengembuskan napas berat. Jujur, apa yang dia lakukan kemarin malam, membuatku takut kalau sesuatu yang tidak seharusnya bisa saja terjadi. Apalagi kalau hanya berdua saja di dalam sebuah ruangan. Imanku masih terlalu rapuh.
Aku tersenyum sekilas menanggapi ucapannya yang seakan bisa membaca pikiranku.
"Dis...."
Dia menghentikan pergerakan tanganku yang hendak membuka pintu mobil. Satya mencondongkan tubuh, wajahnya begitu dekat denganku, sampai-sampai embusan napasnya terasa menerpa kulit wajah.
"Lo nggak bakalan bisa keluar, kalo sift belt-nya nggak dilepasin," ucapnya dengan senyum geli, seakan menertawakan kebodohanku.
Aku memalingkan wajah, membuang jauh-jauh pikiran aneh yang sempat terlintas, tentang apa yang akan dia lakukan padaku.
"Kenapa mukanya tegang gitu? Lo pikir gue bakalan cium lo?"
Pipiku terasa panas mendengar ucapannya. Apa-apaan ini? Kenapa mendadak malah salah tingkah begini, sih?
"Ak—aku...."
"Lo tenang aja, gue nggak bakalan ngapa-ngapain tanpa persetujuan dari lo."
Dia segera turun setelah mengucapkan kalimat pendek itu.
"Hello, mau sampai kapan duduk di sini?"
Aku tergagap mendengar ucapannya, lalu segera turun sambil membetulkan letak syal.
Apartemen Satya berada di lantai lima belas. Sepanjang menuju ruangan itu, pikiranku masih saja dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi selama Satya menghilang.
Sebelum masuk, Satya menyerahkan kunci apartemen yang berupa kartu kepadaku. Dia menunjuk ke arah pintu menggunakan dagu, sementara tangannya dia sembunyikan ke dalam saku.
"Me?"
"Yess."
"Tapi—"
"Tanggal lahir orang yang paling berarti dalam hidup gue."
Aku mengerutkan kening ketika mendengar ucapannya, yang lagi-lagi seperti bisa membaca pikiranku.
"Tanggal lahir?"
"Iyess, tanggal lahir lo."
Pandanganku tertuju pada beberapa tombol angka yang menempel di pintu. Setelah meletakkan kartu di tempatnya, aku segera memasukkan sandi yang berupa deretan angka kombinasi tanggal, bulan, dan tahun kelahiranku.
Dalam sekejap, pintu terbuka, lampu juga otomatis menyala begitu daun pintu terbuka lebih lebar.
"Selamat datang di rumah impian."
Satya masuk mendahuluiku, dan membungkuk seperti seorang pelayan yang mempersilakan ratunya.
Begitu masuk ke ruangan ini, aku langsung dibuat takjub dengan desain interiornya. Terkesan elegan, lembut, dan hangat dengan cat putih dan lampu-lampu dinding yang semakin memberikan kesan hangat.
Di salah satu pojok ruangan yang dekat jendela, ada kursi mirip telur yang terlihat empuk, juga sebuah lemari berisi buku-buku. Di sebelahnya ada meja bundar kecil, dan juga sebuah laptop.
Ada dua kamar di lantai bawah. Dan sepertinya masih ada lagi di atas. Aku tidak tahu sebesar dan semewah apa tempat ini sebenarnya. Bahkan di dekat pintu kamar yang tertutup itu, juga ada lift kaca yang kutebak terhubung ke lantai dua.
Aneh sekali, apa gunanya tangga kalau di dalam rumah ini bahkan ada lift? Hahaa!
"Lo pernah bilang kalo lo pengen punya rumah kekgini, kan?"
"Sat, ini—"
"Iya, ini adalah rumah masa depan kita. Aku udah siapin semuanya buat kamu. Aku sendiri yang menata interiornya agar sesuai dengan rumah impianmu."
"Aku? Kamu?"
Dia tersenyum penuh arti, dan kurasa dia tahu persis maksud pertanyaanku, yang sedikit terkejut dengan cara bicaranya. Selama ini dia selalu menyebut dirinya dengan kata 'gue' dan sekarang tiba-tiba berubah jadi aku. Jelas ini sesuatu yang aneh di telingaku.
"Kamu nggak suka kan, kalau aku terus ngomong sama kata gue? Mulai sekarang, aku akan menggunakan kata aku-kamu saat berbicara denganmu."
"Satya."
"Dis," Dia meraih kedua tanganku. "Aku selalu serius dengan perasaanku sama kamu. Hanya saja untuk saat ini, kita memang belum bisa bersama. Tapi setelah semuanya selesai, aku janji, kita pasti akan sama-sama terus," ucapnya sambil mengecup tanganku lembut.
"Kamu masih belum cerita tentang kenapa kamu menghilang selama ini."
Dia hanya tersenyum sekilas sebelum menarikku ke dalam pelukannya.
"Aku pasti akan menceritakan semuanya. Nanti."
Tangannya bergerak-gerak lembut di punggung dan kepala, memberikan kenyamanan yang luar biasa padaku. Aku merasa terlindungi saat Satya memelukku seperti sekarang.
"Dis...."
Aku mendongak demi melihat wajahnya saat berbicara.
Pandangan kami bertemu. Ada sorot memuja yang terpancar dari bola mata itu. Bola mata yang kini seakan berkabut entah karena apa.
"Kalau aku menciummu, apa kamu akan marah?"
Aku berkedip cepat, ketika otak bekerja super kilat untuk memproses informasi yang barusan masuk lewat gendang telinga.
Yang menjadi reflek selanjutnya adalah gerakan tanganku yang mendorong tubuhnya agar menjauh.
"Dasar m***m! Katanya nggak mau macem-macem, kenapa sekarang malah ngomong gitu?"
"Justru aku nggak mau macem-macem, Disty. Aku cuma pengen cium aja, satu macem. Dan itu pun kalau kamu setuju."
"No no no, nggak ada cium-ciuman sebelum sah. Emangnya kamu pikir aku ini cewek apaan?"
Aku memukulnya dengan sebuah buku yang tergeletak di atas meja.
"Cewek galak."
"Enak aja galak. Kalo aku galak, kamu udah habis sama aku sejak kemarin."
"Sejak aku cium kamu?"
"Satya!"
Dia malah tertawa. Sepertinya sangat bahagia melihatku salah tingkah sekaligus marah karena kelakuannya.
"Yaudah, peluk aja sini."
Satya menarik tubuhku dalam satu entakkan, dan kembali memelukku.
Aku hanya menyandarkan kepala di d**a bidangnya. Bocah ini, kenapa dia selalu bisa membuatku nyaman, bahkan saat aku sendiri masih ragu tentang semua ini. Benarkah yang sedang terjadi ini? Benarkah dia tidak akan menghilang dan membuatku kecewa lagi?
LovRegards,
MandisParawansa