First Kiss at First Meet

1627 Words
"Dis...." "Hmmm." "Dis...." "Iyaaa?!" Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Saat ini, aku dan Satya sedang berada di sebuah kafe. Melakukan pekerjaan masing-masing, sambil menikmati suasana santai di akhir pekan. Santai bagi sebagian orang, tapi tidak untuk kami. Aku sibuk dengan naskah orang yang harus diedit, sementara dia mengerjakan tugas kuliah. "Cinta banget ya lo ama naskah orang? Sampe gue dikacangin gini," ucapnya sedikit mencibir dengan suara yang terdengar lemah dan putus asa. Aku menghela napas, lalu menggeser laptop. Bertopang dagu, dan fokus melihat sosok pemuda kelewat ganteng yang tengah bermalas-malasan di depanku. Dia bahkan merebahkan kepala di atas meja, dan tangannya mengaduk-aduk minuman tanpa niat. "Ada apa?" tanyaku penuh kesabaran. Berteman dengannya terkadang membuatku merasa memiliki adik laki-laki yang manja. Walau tinggi badannya jauh di atasku, tapi usianya tiga tahun lebih muda, jadi aku selalu menganggapnya seperti seorang adik. "Gue lagi galau." Dia mengangkat kepala, pandangan kami berada pada satu garis lurus. "Cewek yang gue suka, sama sekali nggak peduli ama perasaan gue. Menurut lo, gue mesti gimana?" "Gimana apanya? Tinggal bilang ke dia, ngapain pusing-pusing. Kamu kan cowok, diterima, kalian bisa pacaran. Ditolak, tinggal nyari yang lain. Gitu aja kok repot." "Itulah salahnya kaum cewek. Kalian pikir, hanya karena kami cowok, terus bisa segampang itu nyari cewek lain kalo ditolak. Justru, sebagai cowok, penolakan itu lebih ngeri dari kematian." "Bhaks!" Aku nyaris tersedak mendengar penuturan lebay dari anak itu. Apaan banget sih, masa ditolak cewek aja sampe disamain sama kematian segala. "Lebay, Lu!" Aku kembali pada laptop, dan melanjutkan editing. Senin besok, naskah ini sudah harus masuk percetakan, sementara editingnya malah belum ada lima puluh persen. Ngalamat lebur ini nanti malem. "Gue serius, Disty." "Iya, iya, aku percaya," jawabku sambil tersenyum sedikit meremehkan. Cowok macam apa dia itu, takut ditolak cewek sampai galau. Apaan? "Ish! Bisa nggak sih, lo jangan selingkuhin gue ama naskah? Gue di sini, woi!" Terpaksa aku kembali berhenti karena Satya menggeser laptopku dengan kesal. Dia menatapku dengan bola mata yang nyaris tak bisa kukenali. Seolah ada luka dan kecewa di sana. Entah karena apa. "Ya apa? Aku tuh harus selesein ini dulu, naskahnya-" "Naskah, naskah, naskah terus. Apa gunanya lo libur kalo ujung-ujungnya tetep kerja gini? Kapan lo bisa liat gue?" "Sat-" "Lo nggak tau, apa pura-pura nggak tau sebenernya?" Dia terdengar sedikit emosi, walau masih mempertahankan nada bicaranya. "Gue sayang sama lo, Dis. Gue nggak pernah ngerjain tugas kalo weekend. Semua ini cuma alesan biar gue bisa deket ama lo, tapi lo nggak pernah liat perasaan gue sama sekali. Apa karena gue lebih muda dari lo? Atau karena-" "Sat," Aku memotong ucapannya. "Aku tahu. Dan menurutku, rasa sayang atau apa pun itu, nggak harus dikatakan. Aku nyaman saat bersamamu, dan jujur, aku juga sayang sama kamu. Itulah kenapa aku selalu percaya sama kata-katamu. Aku selalu datang dan menemuimu, walau sebenernya mengerjakan semua ini di rumah pasti jauh lebih cepet karena lebih fokus. Tapi aku dateng ke sini, dan ketemu sama kamu. Karena aku selalu suka di dekatmu. Aku menyukai kebersamaan kita." "Itu doang?" "Lalu apa lagi?" Dia berdiri, memasukkan semua barang-barangnya ke tas hitam, lalu menggendongnya. "Temui gue di restoran rooftop gedung ini entar malem. Kalo lo dateng, kita pacaran, tapi kalo lo nggak dateng, gue nggak bakalan pernah nemuin lo lagi." "Ngancem?" "Terserah lo mau anggep ini apa. Yang jelas, gue nggak mau kalo hubungan kita cuma gini-gini aja. Gue perlu mutusin, apa gue perlu nyari cewek lain apa enggak. Kasian juga, kan, mereka yang udah pada ngantri buat bisa jadi cewek gue?" Aku nyaris tertawa mendengar perkataannya. Satya memang selalu punya stok percaya diri yang menggunung. Dan aku suka itu. Anak itu membalik tubuh bersiap pergi, tapi baru beberapa langkah, Satya kembali berhenti. "Gue juga udah mulai belajar nulis novel kayak yang lo bilang. Dan gue yakin, sebentar lagi gue bakalan bisa nerbitin novel itu," ucapnya tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkah. Aku hanya memandangi kepergiannya sampai dia menghilang di balik pintu. Irham Satya, sejujurnya aku juga merasakan hal yang sama. Aku menyukainya, dan mungkin juga ... cinta. Hanya saja, aku tidak ingin menjalin hubungan pacaran, karena takut semua akan berakhir dengan buruk. Aku tidak ingin kehilangan orang seperti dirinya. Akan tetapi, dia juga selalu menepati kata-katanya. Kalau aku tidak datang, bukan tidak mungkin kalau dia akan benar-benar menghilang. Satya satu-satunya orang yang bisa membuatku mempercayakan hati setelah sekian lama. Meski dia lebih muda, tapi terkadang sikapnya jauh lebih dewasa dariku. Dia juga selalu menjaga dan melindungiku dengan caranya sendiri. Aku mencintainya. Iya. Sangat. Saking cintanya, aku takut kecewa kalau harus berpacaran dengan anak itu. Dan sekarang, setelah dia mengunkapkan semuanya, haruskah aku menerima pernyataan itu dan menjadikannya seorang kekasih? Ya, mungkin memang ini saatnya. Tahun depan dia wisuda, dan dia pernah membicarakan tentang rencana menikah muda. Mungkin memang benar, aku harus jujur pada diri sendiri, bahwa aku juga menginginkan sebuah status dalam hubungan kami. Pacar, mungkin untuk saat ini, nama itu tidak terlalu buruk. Sementara saja. Sampai kami memutuskan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius, setidaknya sampai dia wisuda nanti. Setelah berdebat dengan akal dan hati, akhirnya aku memutuskan untuk datang ke sana. Tempat yang dia inginkan untuk menemuiku. Aku mematut diri di depan cermin. Terkadang aku sangat bersyukur kerena postur tubuh yang mugil. Setidaknya dengan hal ini, aku tidak perlu merasa risi dengan tatapan orang lain, saat berjalan bersamanya yang lebih muda. Tinggiku hanya sebatas pundak Satya, dan bahkan sering kali orang yang melihat kami berjalan bersama mengira kalau aku adalah adiknya. Benar, garis wajah kami sedikit mirip. Dan hal itu membuat orang-orang yang paham dengan kedekatan kami, selalu meledek dengan kata jodoh. Mereka bilang, jodoh sering kali mirip satu sama lain. Semoga saja. Semoga aku memang berjodoh dengannya sampai tua nanti. Aku mengharapkan hal itu. Pukul delapan malam. Sebelumnya dia mengirim pesan dan bilang akan datang pukul tujuh, tapi sampai sekarang belum juga datang. Bahkan nomor hapenya juga tidak bisa dihubungi. Ada apa sebenarnya? Apa dia marah karena tanggapanku tadi siang? Udara malam semakin mengusikku. Lengan yang hanya berbalutkan kain tipis mulai terasa menggigil, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau dia akan datang. Aku berjalan ke pinggiran gedung, melihat ke bawah. Lalu-lalang kendaraan di sana terlihat kecil dari gedung lantai dua puluh tiga ini. "Satya, kamu di mana?" Aku mengeratkan genggaman ponsel saat beberapa kali mencoba menghubunginya, tapi tetap tidak tersambung. Kanapa harus seperti ini? Aku siap mengungkapkan perasaan padanya, kenapa malah dia yang tidak datang? Ini yang aku takutkan. Saat aku mulai percaya, yang kudapat justru kekecewaan. Saat aku mulai yakin untuk melangkah lebih, keyakinan itu malah diremukkan dengan begitu mudah. Satya tidak juga datang. Bahkan sampai pengunjung restoran menghilang satu-satu, dia tetap tidak muncul. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Teman-teman kampusnya juga tidak ada yang tahu ke mana perginya seorang Satya, karena nomer ponselnya juga sama sekali tidak bisa dihubungi. Lalu hari ini, setelah hampir setahun dia menghilang tanpa jejak seperti makhluk astral, tiba-tiba dia muncul lagi. Kenapa baru sekarang? "Temui gue di restoran yang sama seperti waktu itu," begitu pintanya saat menelepon tadi pagi. Bodohnya, aku menuruti keinginan bocah itu. Bahkan buru-buru datang ke tempat ini setelah pulang kantor. Dan persis seperti dulu, dia juga tidak ada di sini. Ya, Tuhan, kenapa aku selalu sebodoh ini. Untuk apa aku datang ke sini lagi? Untuk merasakan patah hati dan kecewa lagi karena dia tidak datang? Tubuhku luruh di salah satu kursi pengunjung yang terletak tepat di tepi gedung. Lantai tempat ini terbuat dari kaca, sehingga jalanan di bawah sana terlihat jelas saat aku menunduk. "Dasar bodoh! Kenapa selalu sebodoh ini?" gumamku lirih sambil memukul pelan bagian samping kepala yang mulai terasa pusing. Sudah jam delapan, tapi dia masih belum datang. Mungkinkah, semuanya akan terulang kembali? "Dis ...." Suara itu ... Satya? Aku mengangkat wajah, berusaha mencari keberadaan sumber suara yang ternyata tengah berdiri tak jauh dariku. Dia menatapku dengan mata yang sulit kuterjemahkan. "Sat ...." Aku baerdiri dengan gerakan cepat. Dia segera menghampiriku, dan memelukku erat. Sesuatu yang dulu tidak pernah berani dia lakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ada apa sebenarnya? "Dis, gue kangen banget sama lo," ucapnya lirih. Aku terdiam. Tangisku semakin menderas, dan dia terus memelukku sampai beberapa saat. "Kenapa kamu terlambat, aku pikir kamu tidak akan...." "Sttt!" Dia merenggangkan pelukan, kini jari telunjuknya menempel di bibirku. Memberikan isyarat agar aku diam. Tangisku kembali pecah, sampai bahu bergetar tak bisa menahan isak. "Maaf. Gue minta maaf atas semuanya. Mulai sekarang, gue pasti akan selalu ada buat lo." Mendengar ucapannya, bukan berhenti, air mataku malah semakin menderas. Aku kecewa karena apa yang dia lakukan dulu. Karena dia menghilang tanpa penjelasan, tapi juga bahagia karena bisa melihatnya lagi saat ini. "Kamu jahat, Sat. Jahat," ucapku pelan di antara isak. Dia kembali menarik tubuhku ke dalam pelukan. "Gue tau. Maafin gue. Gue janji nggak akan pernah ngulangin semuanya lagi." Haruskah aku percaya padanya kali ini? Hatiku semakin rapuh sejak hari itu. Sejak dia membuatku menunggu tanpa kabar, rasanya sulit untuk percaya lagi pada orang lain. Bahkan pada Dokter Vhir, aku juga selalu memberikan batasan. Meski sejujurnya dia adalah pemuda yang sangat baik. "Jadi, kenapa dulu kamu tidak datang?" tanyaku penuh selidik. Aku ingin tahu semuanya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, sampai membuatnya harus menghilang selama ini. Satya terdiam. Dia hanya memandangku dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Sesuatu yang tidak bisa kuterjemahkan dengan mudah. Ada rindu dan juga luka di sana. Mata itu membuatnya terlihat sangat tak berdaya. "Sat? Kena-" Kalimatku tak mampu terucap. Dia membungkamku dengan bibir manisnya. Ya, Tuhan, apa yang dia lakukan? "Mmm-Satya, ap-apa yang kamu lakukan?" Aku berusaha melepaskan diri dengan mendorongnya agar menjauh. Matanya menatapku sejenak dengan tatapan yang entah, melepaskanku beberapa saat. Sebelum tangannya kembali meraih tengkuk dan menciumku lebih dalam dari sebelumnya. Aku tidak bisa mundur atau membatalkan, karena pergerakanku terkunci oleh tengan kekarnya. Ada sesuatu yang terasa hangat dan asin, ketika bibirnya menekan bibirku lebih dalam, seakan menuntut agar aku membalasnya. Hingga aku menyadari, bahwa dia tengah menangis. Ada rindu yang begitu dalam, berusaha dia sampaikan lewat ciuman ini. Satya, apa yang sebenarnya sudah terjadi padamu selama ini? LoveRegards, MandisParawansa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD