2. Pertemuan di Pantry

2023 Words
"Kenapa kabur?" tanya pria itu dengan suara khasnya yang sialnya, Jennie tidak akan pernah bisa lupa. "Siapa yang kabur?" jawab Jennie sebal. Jennie tidak suka berdekatan dengan Chandra, ia hanya mau berdekatan dengan pria itu untuk masalah pekerjaan. Tidak peduli meski hampir semua orang di kantor menyebut Chandra sebagai orang tertampan nomer satu di kantor, Jennie tetap enggan berdekatan dengan Chandra. Bagi Jennie, pria seperti Chandra adalah pria berbahaya, pria yang akan membuat wanita melayang tinggi lalu dijatuhkan di jurang sampai remuk redam. Seperti itulah Chandra di balik wajah tampan dan postur atletisnya yang membuat banyak wanita terpesona dan Jennie tidak berencana menjadi korban Chandra selanjutnya. Jennie tidak akan sebodoh itu, ia bukanlah keledai yang akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, oleh karena itu, Jennie berusaha menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Chandra. Jennie menenggak tequila-nya dan beranjak dari tempat duduknya, menghindari Chandra yang duduk di sisinya. "J! Tunggu!" Chandra mencengkeram lengan Jennie sebelum Jennie menjauh darinya. "Apaan sih? lepas!" Jennie berusaha menghempaskan cekalan Chandra di lengannya. "Jen, aku mau ngomong," lirih Chandra, tanpa melepaskan cekalan di lengan Jennie. "Urusan kita cuma di kantor aja Pak. Jangan kira karena aku nurutin bapak di kantor, Bapak jadi sok ngerasa kuasa, di luar kantor, kamu nggak punya kuasa apa-apa atas diri aku." Jennie menggerakkan lengannya, mencoba menghempaskan jemari Chandra yang memegang erat. "Lepasin Pak, atau aku teriak?" ancam Jennie dan hal itu membuat Chandra melonggarkan cengkramannya. Jennie merapikan blazer hitamnya yang kusut akibat cengkraman Chandra dan meninggalkan pria itu tanpa kata. Chandra hanya bisa memandang Jennie  menghilang dari pandangannya, mungkin Jennie yang ditemuinya sekarang bukan Jennie yang pernah dikenalnya, dahulu. *** Beha menghirup kopi yang masih mengepul di deket pantry. Rasa manis kopi hangat itu, pada saatnya akan menjadi dingin dan berakhir pahit, seperti memiliki sebuah perasaan cinta, tapi tidak dianggap. Sebuah rasa yang kini bertengger dalam hati Beha. Beha menyeruput kembali kopinya dan tersenyum kecut, perasaan yang dimilikinya ini, adalah sebuah perasaan mengada-ada yang harus disimpan dalam hati saja. "Nggak pulang Beh?" tanya Layanto temen seperjuangan Beha. Beha menggeleng. Sudah beberapa kali Beha nginep di kantor, untuk menghemat biaya transport ke kontrakannya yang sempit. Selain juga, karena Beha agak sungkan pulang ke kontrakan, karena kontrakan itu dihuni bersama kawan sekampungnya, Umam dan anak istrinya. Beha ngerasa cuma menuhin tempat aja kalau pulang, nah kebetulan karena kantor menyediakan ruang tidur buat driver, security dan sebangsanya yang lembur dan jaga kantor, maka Beha milih buat tidur di kantor aja. "Gue pulang ya Beh, si nyonya besar sejak hamil suka kangen," kata Layanto sambil mengambil tas dan helm dari loker. "Seneng ya Lay punya istri ada yang bisa dikangenin," komentar Beha. Lay tersenyum sambil megang pundak Beha. "Makanya lo cepetan cari istri." "Eh tapi, sebenarnya nikah itu bukan suatu pertandingan sih Beh. Kalau lo udah ada jodoh yang cocok, ya dijalanin, tapi kalau belum, nggak usah maksain. Biar aja flow aja men." "Flow apaan Lay?" tanya Beha tidak mengerti. "Flow artinya mengalir. Ikutin aja alurnya, nggak usah maksain harus sama kayak temen-temen yang lain. Tau nggak, pernikahan tuh ada yang bilang kayak sangkar emas. Burung-burung pada rebutan, saingan pengen masuk, pas udah di dalam, pada frustasi pengen keluar." Layanto tertawa. "Seserem itu?" "Bisa ya, bisa nggak." Layanto tersenyum simpul. "Tergantung lo sama pasangan lo gimana." Lalu Layanto berlalu dari pandangan Beha. Beha menghela nafas. Kata-kata Layanto membuat otaknya berpikir. Di usianya yang sekarang, ia merasa sudah waktunya berkeluarga, pengen sih punya istri, tapi siapa yang mau sama dia? Hanya seorang office boy dengan penghasilan pas-pasan di kota yang kejamnya melebihi ibu tiri. Lebih gawatnya lagi, dia merasa jatuh cinta pada orang yang nggak bakalan dia dapetin. Orang yang kastanya jauh di atasnya  dari segi apapun. Jennie Clayrine. Namanya aja udah menunjukkan kelasnya. Beda banget sama namanya, Beha, lawak, konyol dan mungkin dianggep m***m karena mirip nama pakaian dalam. Nama panggilan Beha itu diambil dari nama panjangnya, Benny Harapan. Nama Benny, diambil dari nama Benyamin Sueb, pelawak kawakan era lawas idola ayahnya. Harapan, karna orangtuanya menaruh harapan besar pada Beha, jadi orang sukses, membuat orangtua bahagia dan bangga, tapi sayang, kedua orangtua Beha meninggal saat Beha belum bisa bahagiain mereka. Ayah Beha meninggal saat Beha umur lima tahun dan ibunya meninggal saat Beha kelas tiga sekolah menengah atas. Mengenang orangtua yang telah tiada membuat Beha merasa mellow, merasa menyesal sebagai anak belum mampu mewujudkan harapan orangtuanya. Beha menghela nafas, mencoba melegakan perasaan duka yang mendesak batinnya akibat mengingat almarhum orangtuanya. Beha merogoh saku seragamnya, berniat mengambil rokok untuk membantu meredakan rasa tidak nyaman yang dirasakannya. Saat jemarinya merogoh kantong pakaiannya, ujung jarinya menyentuh sebuah kertas, Beha mengambil kertas itu, sebuah lembar pas foto wajah Jennie yang tersenyum. Pasfoto itu diambil dari ruangan Lisa saat menyapu dan menemukan pas foto Jennie jatuh di lantai. Mungkin Lisa menjatuhkannya saat membereskan berkas karyawan. Beha tahu mengambil berkas itu adalah perbuatan salah, meski cuma sekedar pasfoto sekalipun, tapi, Beha nggak punya pilihan lain, itu satu-satunya cara biar bisa terus memandang Jennie. Seseorang yang menyusup dalam hatinya tanpa permisi dan Beha hanya bisa menatap dalam diam. Beha masih ingat bagaimana tatap matanya bertemu dengan tatap mata Jennie untuk pertama kali dan Beha merasa ada yang lain di senyum dan tatapan Jennie. Beha tanpa sadar terus menatap wajah Jennie dalam lembar tiga kali empat, dan jemarinya mengusap wajah yang sedang tersenyum itu dengan jemarinya. *** Mobil merah Lisa berhenti di basement parkir kantor, dan Jennie keluar dari mobil. "J, lo nggak apa-apa nih sendiri?" tanya Lisa khawatir. "Nggak apa-apa lo duluan aja, gue cuma ambil berkas bentar doang." "Tapi kan ruangan lo di lantai atas, yakin lo kuat jalan?" tanya Lisa lagi. Lisa mengkhawatirkan keadaan Jennie yang agak mabuk karena ia mengkonsumsi cosmo dalam jumlah lumayan banyak saat di X2 tadi. "Kan pake lift, dah sana pulang, gue baik-baik aja." "Kalau ada apa-apa lo panggil sekuriti ya, trus tar mending pulangnya lo minta dianterin sama driver kantor aja." "Gampang Lis, thanks a lot." "Gue cabut ya, lo beneran gapapa nih gue tinggal?" "Im fine, thankyou." "Ya udah, gue cabut ya," ucap Lisa, dan mobil yang dikemudikan Lisa meninggalkan basement. Jennie menatap mobil Lisa menjauh dan berjalan pelan ke pintu lift, menuju ke ruangannya untuk mengambil dokumen yang harus ditanda tangani nasabah besok pagi sebelum nasabah prioritas itu berangkat ke Hongkong untuk bisnis. Jennie menghela nafas, seandainya ia tahu besok pagi ia harus menemui nasabah, ia tidak akan pergi clubbing dan minum terlalu banyak. Masalahnya, sekretaris Mr Tjong Xiumin baru menghubunginya pada pukul sebelas malam saat Jennie sudah terlanjur minum terlalu banyak dan mulai tipsy. Jennie menekan tombol lift menuju lantai dua belas di mana ruangannya berada dan saat lift terbuka, Jennie merasa kepalanya mulai terasa berat. Jennie merutuk dalam hati, jika saja bukan karena Mr Xiumin, nasabah prioritas yang nilai transaksinya mencapai ratusan milyar, Jennie tidak akan mau bersusah payah pergi ke ruangannya dengan keadaan tipsy. Ia masuk ke ruangan, mengambil dokumen yang disimpan di laci dan berjalan perlahan keluar ruangan, tubuhnya benar-benar terasa tidak nyaman. Jennie pikir mungkin segelas minuman panas bisa membuatnya lebih baik, karena itu, ia berjalan ke pantry untuk mengambil minuman panas yang diharapkannya bisa meredakan efek mabuk yang dirasakannya. Beha sedang mengusap wajah Jennie dalam foto saat Beha mendengar langkah kaki mendekati pantry. Beha terburu-buru mengantongi foto Jennie, ia tidak ingin orang mengetahui jika ia menyimpan foto Jennie dan berasumsi macam-macam, Beha masih ingin terus bekerja sebagai OB di perusahaan ini, jadi dia tidak bisa membiarkan kejadian yang tidak terlalu penting membuatnya terdepak dari pekerjaannya sekarang. Sesosok tubuh wanita mungil berjalan memasuki pantry, dan mata Beha membulat saat melihat wanita itu. Jennie yang tadi hanya bisa ditatapnya di foto, kini nyata di hadapannya. Wajahnya terlihat cantik  meski gurat lelah tercetak jelas di wajahnya dan makeup yang biasanya terlihat segar kini sudah tidak sempurna menghias wajahnya yang cantik alami. Jennie secara mendadak membuat jantung Beha terasa meloncat tidak karuan dari tempatnya, ia sendiri tidak mengerti mengapa jantungnya mendadak bereaksi berlebihan seperti ini saat bertemu Jennie. Beha mulai berpikir apakah degupan jantungnya yang tidak biasa ini adalah tanda-tanda bahwa ia sedang jatuh cinta pada sosok Jennie yang ada di hadapannya? Jennie memang mengalihkan perhatian Beha sejak pertama kali mereka berjumpa, dan sejak saat itu, tanpa Beha sadari, ia kadang dengan sengaja menemui Jennie dengan berbagai alasan, mengingatkan untuk makan siang, misalnya, dan semakin lama, detak jantung Beha semakin tidak terkendali saat Jennie berada di dekatnya. Ah, sebuah perasaan yang hanya khayalan semu bagi Beha. Hatinya mencelos saat mengingat ia dan Jennie bagaikan langit dan bumi. "Hem... kamu belum pulang?" tanya Jennie saat melihat Beha di pantry. "Belum, bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya Beha menahan rasa gugup karena Jennie berdiri hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Ini adalah jarak terdekat antara Beha dan Jennie, biasanya, Beha berdiri lebih jauh dan dihalangi meja kerja. "Aku agak nggak enak badan, bisa beliin s**u ke minimarket?" tanya Jennie. "Oh iya bu. s**u apa?" "Merknya apa aja bebas, yang low fat ya," ucap Jennie sambil menyerahkan uang seratus ribu ke tangan Beha. Sesaat tangan mereka bersentuhan dan Beha merasakan tubuhnya merinding hanya karena bersentuhan dengan Jennie. Sungguh berlebihan sekali. "Aku nunggu di sini nggak apa-apa kan? kepala aku pusing banget nih," ucap Jennie sambil mendudukkan diri di sofa yang ada di pantry. Sofa usang itu juga merupakan tempat tidur Beha saat ruang istirahat yang tersedia sudah penuh ditempati driver atau sekuriti yang lembur dan kelelahan. "Iya Bu, silahkan." "Jangan pake lama ya!" ucap Jennie lagi. "Siap, bu!" tegas Beha sambil berjalan keluar pantry untuk membelikan pesanan Jennie di mini market terdekat. Sementara Beha keluar ruangan, Jennie mengamati ruangan pantry di mana ia berada. Pantry ini cukup luas dan rapi, sebuah kitchen set modern terpasang, dispenser terletak di sebelahnya, dua buah meja kecil dan enam bangku tersedia, biasanya digunakan karyawan yang ingin sekedar nongkrong sambil sarapan di pantry. Jennie ingat dia tadi ingin minum sesuatu yang hangat untuk meredakan mual dan pusingnya, tapi sekarang rasanya hanya berjalan ke kitchen set untuk mengambil minuman hangat saja Jennie tidak berdaya. Tubuhnya sangat tidak nyaman dan terasa panas, mungkin juga karena hujan rasanya sebentar lagi akan datang, Jennie bisa mendengar suara guntur yang bersahut-sahutan. Jennie berpikir, apakah Beha membawa payung? Bagaimana jika pria itu tidak membawa payung dan kehujanan? Jennie merasa tidak enak, apalagi jika sampai Beha sakit. Pada akhirnya Jennie hanya bisa berbaring di sofa tapi sama sekali tidak bisa memejamkan mata untuk istirahat meski ia ingin. Ia menunggu Beha dan berharap Beha tidak kehujanan. Sementara itu, di luar hujan mulai turun dengan deras, Beha yang sedang berjalan kembali dari mini market menuju kantor, terpaksa harus berlari, berusaha mempersingkat waktu tempuh agar tidak semakin kuyup. Tapi apa daya, Beha bukanlah The Flazz yang bisa berlari secepat kilat, secepat apapun Beha berlari, tetes deras hujan tetap menghampiri tubuhnya dan membuat pakaiannya basah. "Lho dari mana Beh basah gitu?" sapa pak Jony pada Beha saat Beha sampai di basement. Pak Jony adalah sekuriti yang sedang berkeliling gedung kantor untuk memastikan keadaan aman terkendali. "Dari mini market pak." "Buruan ganti baju, minum anget, biar ga masuk angin!" suruh pak Jony. "Iya pak, ini juga mau ganti baju ke atas." "Oh iya deh, sana!" Beha segera masuk ke lift dan kembali ke pantry di mana Jennie menunggunya. Beha mengetuk pintu pantry dan membukanya perlahan, menengok ke dalam, netra Beha menemukan Jennie jatuh tertidur di sofa. Perlahan Beha berjalan masuk ke pantry meletakkan s**u di meja, mengambil handuk dan pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang terkena air hujan. Usai mandi, Beha menjerang air panas dan membuat teh hangat, menghampiri Jennie yang tertidur. "Bu...Bu Jennie...," Beha memanggil nama Jennie pelan. Kepala Jennie tampak sedikit bergerak, lalu kelopak matanya terbuka. "Oh...kamu, kenapa?" tanya Jennie serak, masih tidak fokus karena baru saja terbangun. "Maaf menganggu istirahatnya bu, ini s**u pesenannya. Mau diminum sekarang? atau bu Jennie mau diantarkan pulang sama driver?" tanya Beha dan Jennie alih-alih menjawab pertanyaan Beha, malah menatap wajah Beha yang terlihat segar. Benar apa yang dikatakan Sherly, Beha memiliki wajah tampan, terawat dan glowing menurut istilah gaul jaman sekarang. Beha tidak terlihat seperti OB biasa, bahkan Jennie berpikir jika Beha memakai jas, ia bisa menyaingi ketampanan Chandra, si direktur tampan high quality.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD